Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia --akhirnya terpilih, malah dua periode-- harapan publik kepada beliau untuk membawa Indonesia yang lebih baik, luar biasa besarnya. Beliau diyakini mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang melilit Indonesia ketika itu. Tetapi yang terjadi kemudian adalah rentetan kekecewaan yang tidak berujung hingga habis masa jabatannya. Beliau sukses turun secara terhormat dan konstitusional. Kekecewaan terhadap SBY ketika itu adalah karena banyak kebijakan yang diputuskannya dianggap tidak memihak kepadamasyarakat. Sebagian masyarakat menganggap beliau sebagai presiden membawa sial karena semasa pemerintahannya banyak terjadi peristiwa seperti banjir, gunung meletus, kecelakaan udara, darat dan laut, menaikkan harga BBM, persoalan politik dan sebagainya.
Begitu juga ketika Jokowi Widodo (Jokowi) mencalonkan presiden, dan juga akhirnya juga terpilih, harapan masyarakat kepada beliau juga luar biasa. Apalagi bila dikaitkan dengan penggambaran oleh media tentang keberhasilannya memimpin Kota Sola selama dua periode ditambah memimpin DKI Jakarta--walaupun belum terlalu lama. Sepanjang yang kita baca, lihat dan dengar dari media massa maupun buku-buku, boleh dikatakan beliau akan membuat gebrakan cepat dan hasilnya akan segera dirasakan rakyat Indonesia.
Sama juga dengan SBY, bulan madu antara Jokowi dengan masyarakat pendukungnya yang mengelu-elukannya juga tidak berlangsung lama. Belum genap pemerintahannya seratus hari, berbagai kejadian juga terjadi di Tanah Air seperti gunung meletus, kecelakaan udara, darat dan laut, banjir, kenaikan BBM (bahkan kenaikannya dua kali dalam rentang waktu yang relatif singkat, walaupun diturunkan kembali, tetapi harga barang-barang sudah terlanjur naik dan tipis harapan untuk turun kembali), terakhir dan yang paling hangat adalah terjadinya pemasalahan antara KPK dengan Polri. Bahkan kemungkinan bisa panjang karena presiden Jokowi kesannya membiarkan dua lembaga itu "berperang".
Sekarang, berbagai pihak mulai mengecam Jokowi, termasuk mereka yang dulunya mendukung pencalonannya sebagai presiden (walaupun dalam hati). Setali tiga uangdengan itu, media massa juga mulai “menghantam” Jokowi. “Pembelaan” yang dilakukan partai pengusungnya tidak mampu membendungnya. Demikian juga dengan pembantu-pembantu dekatnya (menteri-menterinya). Bahkan ada kesan menteri-menterinya tidak/belum mampu menterjemahkan visi-misi dan gaya kepemimpinannya. Ada pula menteri yang terkesan asal-asalan membela presiden, tanpa mempertimbangkan sosiologi masyarakat.
Yang mengkiritik Jokowi mengatakan: Jokowi memang belum pantas menjadi presiden. Keberhasilannya memimpin Kota Solo dan menjadi gubernur DKI Jakarta yang tidak lama itu tidak serta-merta akan berhasil pula diterapkan ketika memimpin Indonesia. Kota Solo adalah kota kecil, penduduknya relatif homogen, beretnis Jawa yang pembawaan masyarakatnya lembut karena masih kuat memegang adat dan tradisi. Kepemimpinannya di Jakarta terlalu dini untuk dinilai karena kememimpinannya di daerah itu hanya sebentar.
Kekuatan kepemimpinanan Jokowi antara lain dapat dilihat dari sikapnya yang rendah hati, dekat dengan masyarakat masyarakat yang ditandai dengan seringnya melakukan blusukan. Gaya kepemimpinan seperti itu memang cocok diterapkan di tingkat lokal (kab/kota),(apalagi di pulau jawa). Tetapi itu belum tentu efektif diterapkan ketika memimpin ibukota, apalagi di tingkat nasional. Sangat tidak mungkin presidenmelakukan blusukan seperti ketika beliau memimpin Kota Solo.Di sisi lain, bila presiden sering melakukan blusukan berarti manajemen pemerintahan nasional tidak berjalan. Bukankah Presiden mempunyai menteri-menteri yang pekerjaannya lebih teknis-opersioanal? Belum lagi bila dikaitkan dengan penjenjangan pemerintahandi bawahnya berdasarkan konsekwensi negara kesatuan: di bawah presiden ada gubernur, di bawah gubernur ada bupati/walikota.Yang punya rakyat itu sebenarnya bupati/walikota. Tidak demikian halnya dengan Gubernur, tupoksinya mengkoordinasikan pemerintahan lintas kabupaten/kota (barulah di UU Pemda yang baru, yang saat ini diberlakukan, peran gubernur diperkuat: disamping sebagai kepala daerah, gubernur juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah).
Lalu, siapapun kelak yang jadi presiden di Republik ini sedikit-banyak akan mengalami hal yang sama dengan pendahulunya. Presiden adalah pemimpin negara. Pemimpin tentu harus siap menerima kritikan dan tidak boleh bertelinga tipis. Keberhasilan kepemimpinan seseorang adakalanya—meminjan istilah SBY dalam bukunya yang berjudul Selalu Ada pilihan—baru dikenang orang setelah beliau tidak lagi menjabat.
SBY tidak keliru: perhatikan apa yang terjadi dengan Mantan persiden mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga SBY.Terlepas dari kekurang beliau-beliau tersebut, banyak juga prestasi yang diukirnya dan karena itu banyak pula yang memujinya. Soekarno, misalnya, dinilai berjasa besar memerdekakan Indonesia, Soeharto membangun Indonesia, SBY membuat dasar-dasar pemerintahan yang demokratis dan reformis.
lalu, siapa yang berminat jadi presiden, berikutnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H