Oleh Aldi M. Perdana
Selembar puisi, aku remas gemas untuk menahan kemelut dan deru dalam lakonku
Coretan yang tambal sulam itu menjadi tak sempurna
Dan memang tak pernah sempurna sejak aku mulai membuat penaku menari lembut
Seperti Dewi Malam yang tersisa dari purnamanya
***
Aku masih mengingatnya,
Enam belas ribu enam ratus tiga puluh empat jam yang terlarut dalam banyak peran
Ternyata aku masih menjadi lilin
Meski tersisa sumbu dalam cawan kini
Aku selalu mengingatnya,
Enam ratus sembilan puluh empat Raja Siang dan Dewi Malam yang menggantung selalu 'ku sapa
Ternyata bait-bait itu sanggup kembali lagi
Meski selalu ku tumpuk hingga lebur dalam mimpi
Namun, ada yang selalu luput dari kedua mataku
Seolah aku tertidur ketika terjaga
Dan mati saat aku terlelap seutuhnya
Aku bisu, tuli dan buta
***
Ribuan peran aku hadirkan melalui tubuh penuh dosa
Di atas panggung yang berlumut dan terbalut bercak noda
Dari seorang Don Juan hingga menjadi coré yang terkutuk
Dari sesosok Bach hingga sosok Astra Jingga sekalipun
Ribuan kisah aku ukir di atas nisan yang bertuliskan namaku : "JALU LALANA"
Puluhan dyah nan rupawan bagai ombak pasang-surut pada pantainya yang congkak
Membiarkan banyak pijakan-pijakan yang berlabuh
Namun, Aku mencintaimu kaum kanya, Aku mencintaimu kaum dhara
Pupus itu lumrah, biar luka ini memerih
Hingga karam oleh babad-babad bak kemarin
Diludahi dengan hina hingga duryasa
Dan karas dengan indah, didekap dengan hangat
***
Seisi sandiwara ini aku lakoni dengan hebat
Setiap ucap dan tingkah kubiarkan hanyut
Dalam kidung lembut yang merobek malam
Aku jadikan semuanya keruh
Ah! lagi-lagi 'ku hantam diriku bersama rasa takut yang 'ku banting ke lantai
Remuk redam semuanya, semuanya berkeping-keping
Namun mengapa semua penonton riuh bertepuk tangan?
Mungkin aku berhasil memerankannya
Lelucon ini aku bayar dengan kanin!
Tawa mereka lepas dan biar semua 'ku hibur
Dagingku robek, luka ini tak pernah pergi!
Tepuk tangan mereka riuh
Aku menangis!
Mereka berdiri dan menatapku rakus!
Aku berteriak LIRIH!
Mereka terbahak-bahak dan semakin riuh!
Menderu! Bising! Hingga siulan menyelinap di balik gema suara tepuk-tangan.
Aku membungkuk setiap kali sandiwara dalam kacamata mereka berakhir
Kakiku dipenuhi mawar-mawar merah
Begitu harum, sangat wangi
Aku musnah!
***
Hingga, hasrat pun menarik lenganku ke atas keranda
Membawa segala puisi-puisi yang tak pernah kian sempurna ini
Ditelan panggung dan kala
Aku pun kini tak mengenal siapa yang berada di balik cermin
Ada yang harus aku tebus
Maka, aku pamit
Setelah tirai menghempas kencang bersama debu
Mungkin aku sejenak duduk di sini
Memahami bahwa tak ada yang pernah berakhir
Tak ada yang harus diceritakan
Semuanya digulung indahnya mimpi
Maka, sisakan senyumu untukku, Dyah
Untukku..
Bandung, 5 Oktober 2011
N.B: Teruntuk sang Dyah yang tak sempat ku jabat tangannya dalam pergiku yang tanpa pamit ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!