Sepertinya sudah saatnya aku pensiun. Aku membaca tanda-tanda itu saat Senin pagi di jam pelajaran Bahasa Indonesia. Ya, aku gurunya.
Pagi itu, anak-anak kelas 4 SD diminta membacakan karangan mereka di depan kelas. Temanya harus sama, yaitu tentang cita-cita mereka saat sudah besar nanti.
Begitu giliran Kenny, sekelas terhenyak. Bocah lelaki bertubuh gempal itu dengan lantang dan penuh percaya diri memulai:
"Cita-citaku adalah menjadi seorang koruptor. Aku ingin belajar berusaha mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, dengan cara apa pun. Aku akan memulai bisnis seperti punya Papa, tapi untungnya harus dua kali lipat. Aku bisa minta dana sebesar sepuluh juta rupiah, padahal perlunya buat proyek cuma lima."
Sekelas langsung riuh. Ada yang tertawa sambil bertepuk tangan dan menyoraki. Ada yang marah-marah dan tampak kesal. Ada yang tampak bingung dan ngeri. Aku sampai harus membentak mereka semua agar kelas kembali tenang.
"Baik, Kenny," ujarku kemudian. "Lanjutkan."
"Yang lima juta buat biaya proyek bisnisku, lima-nya lagi buat aku," kata Kenny. "Habis itu kalau proyeknya lancar dan aku dapat uang, aku bisa makin kaya. Punya rumah besar, mobil mewah, ajudan banyak-"
"Awas, nanti masuk penjara!" celetuk Lila, salah satu anak perempuan di kelas kami. Kenny tetap cuek.
"Kalau aku masuk penjara, aku tinggal bayar pengacara," katanya. "Biar tidak usah masuk penjara. Polisi sama hakimnya juga aku bayar. Bahkan, kalau perlu aku bayar orang lain buat menggantikanku masuk penjara. Karena banyak yang butuh uang, pasti banyak yang mau."
"Kalau tidak ada yang mau?" tanya Dimas penasaran.
"Ya, aku bisa pura-pura sakit di depan hakim," lanjut Kenny bangga. "Aku bisa bayar dokter supaya dokter bilang kalau aku tidak bisa masuk penjara. Bapak-bapak koruptor banyak yang seperti itu, kok. Mereka lolos-lolos saja, tidak dipenjara."
"Terus, kalau aku kerja di pemerintahan nanti, aku mau bikin UU yang bisa menarik banyak denda dari rakyat. Biar saja mereka protes. 'Kan aku yang berkuasa. Mereka menghina juga akan kumasukkan ke penjara."
"Iiih, Kenny kok begitu, sih?" protes Nita dan Amanda. "Jahat."
"Biarin," sergah Kenny. "Pokoknya aku yang berkuasa. Aku yang suka-suka."
"Kalau kamu masuk penjara?"
"Ah, 'kan cuma dua tahun ini," kata Kenny cuek. "Kata Papa, undang-undang yang baru sekarang begitu, kok. Bahkan, koruptor yang masuk penjara masih boleh jalan-jalan keluar ditemani pengawal. 'Kan keren, kayak jagoan di film-film."
Ya, Tuhan. Rasanya aku sesak. Takut-takut aku bertanya: "Kenapa kamu mau jadi koruptor, Kenny?"
Bocah gempal itu terdiam menatapku. Entah kenapa, sorot matanya masih tampak polos meskipun dia baru saja mengucapkan hal-hal yang mengerikan.
"Kata Papa, di negara ini percuma jadi orang jujur. Nggak akan dapet apa-apa."
Apa yang telah kami, generasi sebelum mereka, perbuat? Sekecil ini sudah apatis. Munafik sekali bila kami masih memaksa mereka untuk belajar dan percaya dengan budi pekerti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H