Mohon tunggu...
Ruby Astari
Ruby Astari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

"DARI RUANG BENAK NAN RIUH": Untuk menjelaskan perihal penulis yang satu ini, cukup membaca semua tulisannya di sini (dan mungkin juga di tempat lain). Banyak dan beragam, yang pastinya menjelaskan satu hal: Ruang benaknya begitu riuh oleh banyak pemikiran dan perasaan. Ada kalanya mereka tumpang-tindih dan bukan karena dia labil dan irasional. Seringkali daya pikirnya melaju lebih cepat dari tangannya yang menciptakan banyak tulisan. Penulis juga sudah lama menjadi ‘blogger yang kecanduan’. Samai-sampai jejak digital-nya ada di banyak tempat. Selain itu, penulis yang juga pengajar bahasa Inggris paruh-waktu, penerjemah lepas, dan penulis lepas untuk konten situs dapat dipesan jasanya secara khusus di Kontenesia (www.kontenesia.com). Bisa sekalian beramal lagi untuk setiap transaksi (terutama selama bulan Ramadan ini) : http://kontenesia.com/kontenesia-donasi-ramadan/ https://www.facebook.com/kontenesia/posts/287945154884094?__mref=message R.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cita-citaku: Aku Ingin Jadi Koruptor

26 September 2019   07:09 Diperbarui: 26 September 2019   07:07 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepertinya sudah saatnya aku pensiun. Aku membaca tanda-tanda itu saat Senin pagi di jam pelajaran Bahasa Indonesia. Ya, aku gurunya.

Pagi itu, anak-anak kelas 4 SD diminta membacakan karangan mereka di depan kelas. Temanya harus sama, yaitu tentang cita-cita mereka saat sudah besar nanti.

Begitu giliran Kenny, sekelas terhenyak. Bocah lelaki bertubuh gempal itu dengan lantang dan penuh percaya diri memulai:

"Cita-citaku adalah menjadi seorang koruptor. Aku ingin belajar berusaha mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, dengan cara apa pun. Aku akan memulai bisnis seperti punya Papa, tapi untungnya harus dua kali lipat. Aku bisa minta dana sebesar sepuluh juta rupiah, padahal perlunya buat proyek cuma lima."

Sekelas langsung riuh. Ada yang tertawa sambil bertepuk tangan dan menyoraki. Ada yang marah-marah dan tampak kesal. Ada yang tampak bingung dan ngeri. Aku sampai harus membentak mereka semua agar kelas kembali tenang.

"Baik, Kenny," ujarku kemudian. "Lanjutkan."

"Yang lima juta buat biaya proyek bisnisku, lima-nya lagi buat aku," kata Kenny. "Habis itu kalau proyeknya lancar dan aku dapat uang, aku bisa makin kaya. Punya rumah besar, mobil mewah, ajudan banyak-"

"Awas, nanti masuk penjara!" celetuk Lila, salah satu anak perempuan di kelas kami. Kenny tetap cuek.

"Kalau aku masuk penjara, aku tinggal bayar pengacara," katanya. "Biar tidak usah masuk penjara. Polisi sama hakimnya juga aku bayar. Bahkan, kalau perlu aku bayar orang lain buat menggantikanku masuk penjara. Karena banyak yang butuh uang, pasti banyak yang mau."

"Kalau tidak ada yang mau?" tanya Dimas penasaran.

"Ya, aku bisa pura-pura sakit di depan hakim," lanjut Kenny bangga. "Aku bisa bayar dokter supaya dokter bilang kalau aku tidak bisa masuk penjara. Bapak-bapak koruptor banyak yang seperti itu, kok. Mereka lolos-lolos saja, tidak dipenjara."

"Terus, kalau aku kerja di pemerintahan nanti, aku mau bikin UU yang bisa menarik banyak denda dari rakyat. Biar saja mereka protes. 'Kan aku yang berkuasa. Mereka menghina juga akan kumasukkan ke penjara."

"Iiih, Kenny kok begitu, sih?" protes Nita dan Amanda. "Jahat."

"Biarin," sergah Kenny. "Pokoknya aku yang berkuasa. Aku yang suka-suka."

"Kalau kamu masuk penjara?"

"Ah, 'kan cuma dua tahun ini," kata Kenny cuek. "Kata Papa, undang-undang yang baru sekarang begitu, kok. Bahkan, koruptor yang masuk penjara masih boleh jalan-jalan keluar ditemani pengawal. 'Kan keren, kayak jagoan di film-film."

Ya, Tuhan. Rasanya aku sesak. Takut-takut aku bertanya: "Kenapa kamu mau jadi koruptor, Kenny?"

Bocah gempal itu terdiam menatapku. Entah kenapa, sorot matanya masih tampak polos meskipun dia baru saja mengucapkan hal-hal yang mengerikan.

"Kata Papa, di negara ini percuma jadi orang jujur. Nggak akan dapet apa-apa."

Apa yang telah kami, generasi sebelum mereka, perbuat? Sekecil ini sudah apatis. Munafik sekali bila kami masih memaksa mereka untuk belajar dan percaya dengan budi pekerti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun