"Terus, kalau aku kerja di pemerintahan nanti, aku mau bikin UU yang bisa menarik banyak denda dari rakyat. Biar saja mereka protes. 'Kan aku yang berkuasa. Mereka menghina juga akan kumasukkan ke penjara."
"Iiih, Kenny kok begitu, sih?" protes Nita dan Amanda. "Jahat."
"Biarin," sergah Kenny. "Pokoknya aku yang berkuasa. Aku yang suka-suka."
"Kalau kamu masuk penjara?"
"Ah, 'kan cuma dua tahun ini," kata Kenny cuek. "Kata Papa, undang-undang yang baru sekarang begitu, kok. Bahkan, koruptor yang masuk penjara masih boleh jalan-jalan keluar ditemani pengawal. 'Kan keren, kayak jagoan di film-film."
Ya, Tuhan. Rasanya aku sesak. Takut-takut aku bertanya: "Kenapa kamu mau jadi koruptor, Kenny?"
Bocah gempal itu terdiam menatapku. Entah kenapa, sorot matanya masih tampak polos meskipun dia baru saja mengucapkan hal-hal yang mengerikan.
"Kata Papa, di negara ini percuma jadi orang jujur. Nggak akan dapet apa-apa."
Apa yang telah kami, generasi sebelum mereka, perbuat? Sekecil ini sudah apatis. Munafik sekali bila kami masih memaksa mereka untuk belajar dan percaya dengan budi pekerti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H