"I thought you loved meee!!"
I thought so too, pikirku, sesaat sedih. Kuhampiri kamu yang megap-megap meregang nyawa di atas genangan darahmu sendiri. Mata hazelmu tampak ketakutan saat melihat senyum dinginku.
"It's your fault, Paddy,"Â ucapku tenang, hampir setenang malaikat maut sendiri yang saat itu kuyakin siap menjemputmu. "You should never have hurt any of us. Die, cheater, die..."
-***-
Malam itu aku terbangun dengan banjir keringat dingin. Aku megap-megap sekaligus menggigil, teringat senyum kejiku sendiri di dalam mimpi tadi.
Astaga, mengapa aku begitu senang melihatmu mati?
Kuharap kau tak pernah kembali. Aku ngeri. Bisa saja kau berakhir mati di tanganku sendiri, Ally, atau Tamara, si mata zaitun yang juga memberitahuku bahwa bukan aku saja yang telah menjadi korban manipulasi cintamu.
Lalu...ah, Lolita. Si rambut merah yang pernah mengaku di Twitter telah kau hamili, meski pada akhirnya keguguran. Entah karena apa, jujur aku sudah tidak mau tahu.
Sial. Aku harus menghubungi dr.Iva untuk sesi konsultasi berikutnya...
R.
![Photo source: Jacob Morch (unsplash.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/10/jacob-morch-357120-unsplash-5bbda20e677ffb273452ec76.jpg?t=o&v=555)