Mohon tunggu...
Ruby Astari
Ruby Astari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

"DARI RUANG BENAK NAN RIUH": Untuk menjelaskan perihal penulis yang satu ini, cukup membaca semua tulisannya di sini (dan mungkin juga di tempat lain). Banyak dan beragam, yang pastinya menjelaskan satu hal: Ruang benaknya begitu riuh oleh banyak pemikiran dan perasaan. Ada kalanya mereka tumpang-tindih dan bukan karena dia labil dan irasional. Seringkali daya pikirnya melaju lebih cepat dari tangannya yang menciptakan banyak tulisan. Penulis juga sudah lama menjadi ‘blogger yang kecanduan’. Samai-sampai jejak digital-nya ada di banyak tempat. Selain itu, penulis yang juga pengajar bahasa Inggris paruh-waktu, penerjemah lepas, dan penulis lepas untuk konten situs dapat dipesan jasanya secara khusus di Kontenesia (www.kontenesia.com). Bisa sekalian beramal lagi untuk setiap transaksi (terutama selama bulan Ramadan ini) : http://kontenesia.com/kontenesia-donasi-ramadan/ https://www.facebook.com/kontenesia/posts/287945154884094?__mref=message R.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belum Saatnya

13 Agustus 2018   13:24 Diperbarui: 13 Agustus 2018   13:38 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku benci gagal. Benci sekali. Entah kapan terakhir kali aku merasa bagai pecundang.

Kata mereka, memilih calon pasangan hidup harus hati-hati. Tapi juga jangan terlalu picky. Entah mana yang benar. Tidak pernah jelas.

Singkat cerita, pada akhirnya aku selalu ditinggalkan. Dasar sial. Kata orang beragam. Teman-teman yang baik bilang, ini bukan salahku. Ini bisa terjadi sama siapa saja.

Yang kurang simpati akan menyebutku macam-macam. Bodoh. Tolol. Kepedean. Nggak hati-hati.

Mama, seperti biasa, menghiburku dengan ucapan yang sama:

"Belum saatnya."

Ya, sudah. Kuputuskan untuk fokus dengan yang bisa kulakukan. Bekerja, mencari uang sebanyak-banyaknya. Sebut aku workaholic, tapi inilah adanya. Perusahaan terakhir juga menipuku. Meskipun kutahu hakku, aku enggan mengemis.

Biar saja mereka hidup dengan uang haram sialan itu. Aku tidak peduli. Mungkin ini masalah harga diri. Yang kutahu, aku masih bisa cari uang sendiri dengan cara lain.

-***-

Kedua sahabatku datang dari luar negeri dalam rangka liburan. Meskipun senang dengan kehadiran mereka, ada yang terasa kosong dan dingin dalam hatiku.

Kosong. Dingin. Gelap.

Seperti jalanan di depanku malam itu. Kuakui, kadang aku suka aneh. Sengaja berlama-lama memandangi ke luar jendela dapur. Aku baru tersentak saat Winn, sahabatku, mendesis:

"Kamu ngapain?!"

Momen yang tepat baginya untuk menarik tanganku. Telapakku sudah berdarah-darah. Winn merebut pisau itu dari tanganku.

Tanpa sadar, aku telah menggenggam mata pisau itu erat-erat dan terlalu lama.

Dre, sahabatku yang satu lagi sekaligus suami Winn, tampak pucat di belakang istrinya. Sementara itu, Winn dengan sigap menyingkirkan pisau dan berusaha menahan pendarahan di tanganku.

"Honey," perintahnya pada Dre. "Get the first aid kit. Quick!"

Segera setelah mengobati dan membebat tanganku, mereka menyuruhku duduk. Dre langsung mengepel dapur. Winn duduk dan menyentuh bahuku. Wajahnya tampak prihatin.

"Rana..." Dia langsung memelukku saat aku menangis. Malam itu, aku benar-benar membenci diri sendiri.

Apa yang telah kulakukan? Mereka ke sini untuk berlibur, bukan untuk kurepotkan.

"It's okay...sshhh...it's gonna be okay..."

-***-

Seminggu setelah Winn dan Dre pulang, aku menemui dr.Iva. Beliau baik dan sangat keibuan. Pendengar yang tidak menghakimi.

Setidaknya, ini baru sesi pertama. Semoga diagnosisnya tidak terlalu mengerikan.

Keluar dari ruangan dr.Iva, kuputuskan untuk ke sayap lain bangunan RS itu. Ada kafe yang menyediakan ragam menu yang cukup enak.

Kubaca lagi WA dari kedua sahabatku:

Winn:

"You need help, Rana. No need to feel ashamed."

Dre:

"We'll always support you. Okay?"

 

"Rana, kamu ngapain di sini?"

Aku terperanjat. Mama sudah ada di depanku. Di tangan beliau ada tas besar berlabel 'Radiologi'. Keningku berkerut. Perasaanku tidak enak.

"Itu hasil apaan, Ma?"

Untunglah, beliau langsung mengajakku duduk di kafe dan memesan minuman. Cappuccino untukku dan air mineral untuk beliau.

Aku deg-degan. Apa yang harus kuceritakan pada Mama? Untunglah beliau langsung menunjukkan hasil x-ray-nya. Aku langsung lemas.

"Hipertensi Mama sudah kena jantung." Beliau tampak tidak senang, namun berusaha keras tidak menunjukkannya. Beliau selalu begitu: tegar luar biasa.

Tidak manja dan lemah seperti anaknya. Tapi kata Winn aku tidak boleh terlalu keras sama diri sendiri.

"Kamu ngapain ke sini?" tanya Mama lagi. "Tahu gitu kita barengan tadi."

Aku tersenyum. Tegakah aku? Kurasa, sekarang bukan waktu yang tepat.

"Cuma medical check-up, Ma."

R.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun