Aku benci gagal. Benci sekali. Entah kapan terakhir kali aku merasa bagai pecundang.
Kata mereka, memilih calon pasangan hidup harus hati-hati. Tapi juga jangan terlalu picky. Entah mana yang benar. Tidak pernah jelas.
Singkat cerita, pada akhirnya aku selalu ditinggalkan. Dasar sial. Kata orang beragam. Teman-teman yang baik bilang, ini bukan salahku. Ini bisa terjadi sama siapa saja.
Yang kurang simpati akan menyebutku macam-macam. Bodoh. Tolol. Kepedean. Nggak hati-hati.
Mama, seperti biasa, menghiburku dengan ucapan yang sama:
"Belum saatnya."
Ya, sudah. Kuputuskan untuk fokus dengan yang bisa kulakukan. Bekerja, mencari uang sebanyak-banyaknya. Sebut aku workaholic, tapi inilah adanya. Perusahaan terakhir juga menipuku. Meskipun kutahu hakku, aku enggan mengemis.
Biar saja mereka hidup dengan uang haram sialan itu. Aku tidak peduli. Mungkin ini masalah harga diri. Yang kutahu, aku masih bisa cari uang sendiri dengan cara lain.
-***-
Kedua sahabatku datang dari luar negeri dalam rangka liburan. Meskipun senang dengan kehadiran mereka, ada yang terasa kosong dan dingin dalam hatiku.
Kosong. Dingin. Gelap.
Seperti jalanan di depanku malam itu. Kuakui, kadang aku suka aneh. Sengaja berlama-lama memandangi ke luar jendela dapur. Aku baru tersentak saat Winn, sahabatku, mendesis:
"Kamu ngapain?!"
Momen yang tepat baginya untuk menarik tanganku. Telapakku sudah berdarah-darah. Winn merebut pisau itu dari tanganku.
Tanpa sadar, aku telah menggenggam mata pisau itu erat-erat dan terlalu lama.
Dre, sahabatku yang satu lagi sekaligus suami Winn, tampak pucat di belakang istrinya. Sementara itu, Winn dengan sigap menyingkirkan pisau dan berusaha menahan pendarahan di tanganku.
"Honey,"Â perintahnya pada Dre. "Get the first aid kit. Quick!"
Segera setelah mengobati dan membebat tanganku, mereka menyuruhku duduk. Dre langsung mengepel dapur. Winn duduk dan menyentuh bahuku. Wajahnya tampak prihatin.
"Rana..."Â Dia langsung memelukku saat aku menangis. Malam itu, aku benar-benar membenci diri sendiri.
Apa yang telah kulakukan? Mereka ke sini untuk berlibur, bukan untuk kurepotkan.
"It's okay...sshhh...it's gonna be okay..."
-***-
Seminggu setelah Winn dan Dre pulang, aku menemui dr.Iva. Beliau baik dan sangat keibuan. Pendengar yang tidak menghakimi.
Setidaknya, ini baru sesi pertama. Semoga diagnosisnya tidak terlalu mengerikan.
Keluar dari ruangan dr.Iva, kuputuskan untuk ke sayap lain bangunan RS itu. Ada kafe yang menyediakan ragam menu yang cukup enak.
Kubaca lagi WA dari kedua sahabatku:
Winn:
"You need help, Rana. No need to feel ashamed."
Dre:
"We'll always support you. Okay?"
Â
"Rana, kamu ngapain di sini?"
Aku terperanjat. Mama sudah ada di depanku. Di tangan beliau ada tas besar berlabel 'Radiologi'. Keningku berkerut. Perasaanku tidak enak.
"Itu hasil apaan, Ma?"
Untunglah, beliau langsung mengajakku duduk di kafe dan memesan minuman. Cappuccino untukku dan air mineral untuk beliau.
Aku deg-degan. Apa yang harus kuceritakan pada Mama? Untunglah beliau langsung menunjukkan hasil x-ray-nya. Aku langsung lemas.
"Hipertensi Mama sudah kena jantung." Beliau tampak tidak senang, namun berusaha keras tidak menunjukkannya. Beliau selalu begitu: tegar luar biasa.
Tidak manja dan lemah seperti anaknya. Tapi kata Winn aku tidak boleh terlalu keras sama diri sendiri.
"Kamu ngapain ke sini?"Â tanya Mama lagi. "Tahu gitu kita barengan tadi."
Aku tersenyum. Tegakah aku? Kurasa, sekarang bukan waktu yang tepat.
"Cuma medical check-up, Ma."
R.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H