Seperti jalanan di depanku malam itu. Kuakui, kadang aku suka aneh. Sengaja berlama-lama memandangi ke luar jendela dapur. Aku baru tersentak saat Winn, sahabatku, mendesis:
"Kamu ngapain?!"
Momen yang tepat baginya untuk menarik tanganku. Telapakku sudah berdarah-darah. Winn merebut pisau itu dari tanganku.
Tanpa sadar, aku telah menggenggam mata pisau itu erat-erat dan terlalu lama.
Dre, sahabatku yang satu lagi sekaligus suami Winn, tampak pucat di belakang istrinya. Sementara itu, Winn dengan sigap menyingkirkan pisau dan berusaha menahan pendarahan di tanganku.
"Honey,"Â perintahnya pada Dre. "Get the first aid kit. Quick!"
Segera setelah mengobati dan membebat tanganku, mereka menyuruhku duduk. Dre langsung mengepel dapur. Winn duduk dan menyentuh bahuku. Wajahnya tampak prihatin.
"Rana..."Â Dia langsung memelukku saat aku menangis. Malam itu, aku benar-benar membenci diri sendiri.
Apa yang telah kulakukan? Mereka ke sini untuk berlibur, bukan untuk kurepotkan.
"It's okay...sshhh...it's gonna be okay..."
-***-