Mohon tunggu...
Ruby Astari
Ruby Astari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

"DARI RUANG BENAK NAN RIUH": Untuk menjelaskan perihal penulis yang satu ini, cukup membaca semua tulisannya di sini (dan mungkin juga di tempat lain). Banyak dan beragam, yang pastinya menjelaskan satu hal: Ruang benaknya begitu riuh oleh banyak pemikiran dan perasaan. Ada kalanya mereka tumpang-tindih dan bukan karena dia labil dan irasional. Seringkali daya pikirnya melaju lebih cepat dari tangannya yang menciptakan banyak tulisan. Penulis juga sudah lama menjadi ‘blogger yang kecanduan’. Samai-sampai jejak digital-nya ada di banyak tempat. Selain itu, penulis yang juga pengajar bahasa Inggris paruh-waktu, penerjemah lepas, dan penulis lepas untuk konten situs dapat dipesan jasanya secara khusus di Kontenesia (www.kontenesia.com). Bisa sekalian beramal lagi untuk setiap transaksi (terutama selama bulan Ramadan ini) : http://kontenesia.com/kontenesia-donasi-ramadan/ https://www.facebook.com/kontenesia/posts/287945154884094?__mref=message R.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"After That One Night"

18 November 2017   21:52 Diperbarui: 18 November 2017   21:55 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heh, perhaps it's true. Not all, but still way too many, right? Just like you, for example. Free, careless. You always wanted to do all without rules or safety precautions. So bloody typical.

At least you'd never pretended to be all kind and dignified, just like those who demand a virgin at their wedding aisle, while they can do whatever the hell they like.

That morning, you were still asleep in your hotel bed. The night before, you'd told me that you were used to waking up late, probably around two p.m.

I quickly got dressed. Then I quietly exited your room and escaped through the fire escape in that building. No kisses, unlike the night before.

No goodbyes. No need to, for we both knew. We wouldn't be seeing each other again after that night. Perhaps you'll call me. Maybe I don't want you to. There's no use to me.

Only one thing that you still don't know...or perhaps won't give a damn. That night, I gave you a present from my ex-husband. Perhaps you've got it too already or perhaps a lot more than that.

No worries. We could've traded poison, killing each other in silence. No need to talk about it. Both of us had enjoyed that night anyway.

I hope you'll enjoy that forsaken gift from my ex-husband, who had also gotten it from only-God-knows-whom out there. The gift which is now and forever inside of my body, which had also killed the unborn baby that he and I had once made.

That gift I'd never asked was a token of his appreciation...for this once loyal, obedient, and more often, stay-at-home wife...

R.

(Jakarta, 12/11/2017 - 7:30 am - written for Jakarta's Couchsurfing Writers' Club Weekly Writing Challenge on 16/11/2017 at Caribou Coffee, Sarinah - Thamrin, Central Jakarta. Topic: "polyamorous".)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun