Aku tahu yang kau pikirkan saat melihatku. Ada kilatan dingin di mata itu. Aku cukup membacanya dari ekspresi gelimu.
Kamu merendahkanku. Bagimu, aku hanyalah satu dari kutu-kutu. Kamu yang kupu-kupu. Aku sedang mencoba menjadi sepertimu: satu dari kutu-kutu yang ingin menjadi kupu-kupu.
“Elo ke sini sama siapa?” tanyamu siang itu, yang rasanya seperti basa-basi palsu. Senyummu juga begitu. Aku sudah tahu.
“Sendirian,” jawabku jujur. Rasanya, aku tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa pun, bahkan kamu yang siang itu tampak ramping dan gaya dengan gaun rancangan desainer terkenal. Aku hanya datang untuk memenuhi undangan seorang teman. Makan siang di restoran favoritnya bersama teman-teman kami…dan pasangan mereka bila ada yang punya.
“Oh.” Wajahmu tampak kaget. Perhatianmu terarah pada sekumpulan lelaki bule yang semeja dengan kita. “Kirain kamu datang dengan salah satu dari mereka.”
Kamu menganggukkan kepala ke arah Ant dan Paddy, kedua temanku. Ant sudah beruban, sementara Paddy gondrong dan brewokan dengan rambut coklat. Selain aku, keduanya juga datang tanpa pasangan.
Aku menggeleng. Natalia, teman baru di sampingku yang siang itu datang dengan Cole, pacarnya, tampak jengah. Kuduga perasaannya sama denganku akan hadirmu di hadapan kami. Apalagi begitu kamu kembali menatap kami berdua, kali ini dengan pandangan menilai yang sudah kentara sekali. Entah kenapa.
“Kamu sekantor juga sama mereka, kayak Vanya sama suaminya?” tanyamu lagi, meski entah hanya padaku atau juga Natalia. Begitu aku kembali mengangguk sambil tersenyum sopan, kamu melanjutkan: “Jadi sekretaris juga, kayak Vanya? Atau staf admin?”
Sekarang aku ingin tertawa. Bukannya mau merendahkan profesi tersebut, seperti yang sayangnya masih dilakukan banyak orang. Nada bicaramu juga menyiratkan demikian. Ibuku pensiunan sekretaris korporat dan beliau sosok luar biasa.
“Bukan, Maura.” Sekali lagi aku menggeleng, masih dengan kesopanan yang sama. “Aku pengajar juga. Natalia juga, cuma dia beda sekolah.”
“Kamu ngajar juga??” Aduh, wajahnya nggak usah kaget banget gitu deh, Mbak!pikirku, tambah geli sekaligus sedikit keki. Kamu bahkan juga bingung saat menatap Natalia. “Kamu juga?”
“Iya,” jawab Natalia halus. Akhirnya, kamu mati gaya juga. Sempat kamu bercerita cukup banyak – dengan mata berbinar-binar bangga – bahwa kamu baru datang dari New York ke Jakarta dengan suami bulemu, Sal. Kamu ingin berbisnisfranchise tempat kursus dan sedang berusaha mencari tahu. Pertanyaan terakhirmu adalah:
“Kamu tahu nggak, gimana caranya?”
Lagi-lagi, aku dan Natalia sama-sama menggeleng. Akhirnya kamu menyerah. Kamu meninggalkan kami dan bergabung dengan para lelaki bule yang merokok, termasuk Sal, suamimu. Kulihat kamu hanya menggelendot manja pada lelaki bule bermata sayu dan berhidung mancung. Kamu juga ikut merokok.
Natalia dan aku saling berpandangan dengan geli, sebelum kembali mengobrol. Sesekali kuperhatikan pantulan diriku sendiri di cermin.
Hanya seorang gadis gemuk dengan wajah tanpa make-up dan pakaian semi-casual: jeans dan kaos. Tidak seperti perempuan lainnya siang itu di meja yang sama, tapi aku bukan kepompong…apalagi kutu.
Kupu-kupu? Ah, tak perlu. Bukan aku yang putus-asa ingin menjadi kupu-kupu. Aku tahu, aku lebih baik dari itu…
R.
(Prompt#121: “Kutu-kutu yang Hendak Menjadi Kupu-kupu” – Monday Flash-fiction)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H