Mohon tunggu...
Ruby Astari
Ruby Astari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

"DARI RUANG BENAK NAN RIUH": Untuk menjelaskan perihal penulis yang satu ini, cukup membaca semua tulisannya di sini (dan mungkin juga di tempat lain). Banyak dan beragam, yang pastinya menjelaskan satu hal: Ruang benaknya begitu riuh oleh banyak pemikiran dan perasaan. Ada kalanya mereka tumpang-tindih dan bukan karena dia labil dan irasional. Seringkali daya pikirnya melaju lebih cepat dari tangannya yang menciptakan banyak tulisan. Penulis juga sudah lama menjadi ‘blogger yang kecanduan’. Samai-sampai jejak digital-nya ada di banyak tempat. Selain itu, penulis yang juga pengajar bahasa Inggris paruh-waktu, penerjemah lepas, dan penulis lepas untuk konten situs dapat dipesan jasanya secara khusus di Kontenesia (www.kontenesia.com). Bisa sekalian beramal lagi untuk setiap transaksi (terutama selama bulan Ramadan ini) : http://kontenesia.com/kontenesia-donasi-ramadan/ https://www.facebook.com/kontenesia/posts/287945154884094?__mref=message R.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan tentang Dendam

27 Mei 2016   17:29 Diperbarui: 27 Mei 2016   17:48 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan ini dibuat berdasarkan kedalaman luka dan besarnya amarah. Bumbunya pedih luar biasa. Bersyukurlah bagi mereka yang masih memiliki sabar yang besar. Racun itu tak pernah benar-benar menyentuh mereka, meski belum tentu juga mereka terbebas dari murka. Namanya juga manusia.

Apa yang bisa dilakukan oleh dendam? Banyak sekali, terlalu banyak. Lisanlah senjata tertajam, meski banyak yang meremehkan dampaknya. Ya, mungkin juga termasuk mereka yang pernah mengejek betapa perasanya Anda. Kadang mereka mengatakannya hanya untuk membela diri, mencari pembenaran, hingga sekedar menghindari murka.

Banyak yang cukup lama terjebak di dalamnya. Banyak yang akhirnya berhasil keluar, meski dengan susah-payah. Mereka yang akhirnya menyadari bahwa hanya tanpanya mereka bisa lebih berbahagia.

Ada juga yang memilih untuk tetap tinggal di dalamnya, meski dengan risiko semakin dalam melukai diri mereka. Kadang mereka tidak sadar atau bahkan sudah tidak peduli lagi.

Mungkin benar, mendendam ibarat meminum racun setiap hari, namun tetap berharap orang lain yang akan mati. ("The Secret") Mereka tidak sadar secara perlahan telah menyiksa diri, atas nama ego pribadi dan harga diri. Seperti luka yang enggan mereka obati - atau mungkin bekas yang selalu mereka pamerkan ke sana kemari, berikut sejarah penyebabnya. Mungkin sudah ada yang pernah mencoba membantu mereka, namun bukankah semua bertanggung-jawab merawat diri masing-masing - termasuk berusaha menyembuhkan semua luka lama?

Dendam adalah berharap dan berusaha keras membalas semua perbuatan menyakitkan mereka, kalau bisa beberapa kali lebih kejam. Tidak peduli bila mereka sudah meminta maaf dan bersedia bertanggung-jawab, bahkan meski kesalahannya tidak sampai melukai atau bahkan menghilangkan nyawa. (Kalau ini lain cerita, ya.) Ada sumpah-serapah serta doa dan harapan bahwa mereka juga akan menderita, lebih bagus lagi sampai dua kali lipatnya. Apakah lantas ada bahagia setelahnya? Tidak juga. Yang ada malah kekosongan jiwa, meski berhasil menghancurkan sasaran dendam. Tak heran, banyak pelaku kejahatan dengan alasan yang sama: dendam. Tidak hanya sasaran utama, semua yang termasuk dalam kategori yang sama juga (ingin) mereka hancurkan. Trauma menjadi alasan. Pasang kuda-kuda dan serang sebelum keburu terluka (lagi). Hati-hati dalam level tertinggi, hingga menjadi paranoia. Semua orang dicurigai.

Dendam adalah pembunuh kecantikan dan kebahagiaan. Teman-teman menjauh, kalah oleh takut dan habisnya kesabaran. Mereka lelah. Ada kisah-kisah kelam masa lalu yang selalu dibawa-bawa, bahkan sampai diulang-ulang. Sering ada hasutan untuk membenci, mengganggu, atau bahkan menyakiti pihak tertentu, meski yang diajak sama sekali tidak mengerti apa-apa - termasuk alasannya. Atas nama setia kawan? Haruskah selalu demikian?

Hati manusia mudah berubah, terutama bila tidak disertai dengan keteguhan. Hari ini kawan, bisa jadi besok lawan. Begitu pula sebaliknya. Tiada yang abadi, jadi mengapa dendam harus menetap di hati? Atas nama ego dan harga diri?

Dendam adalah penyempit hati. Lama-lama semua yang sayang dan tercinta akan lari karena akhirnya tidak tahan lagi, meninggalkanmu sendiri berkubang benci. Salahkah mereka yang tidak bisa lagi setia? Ada rasa ngeri saat nama sosok yang dibenci diucapkan dengan nada dengki, bahkan sampai berkali-kali. Aib mereka disebar di sana dan di sini. Gosip kejam tanpa henti, hingga banyak yang enggan untuk bertemu lagi. Untuk apa terus-terusan mendengarkan daftar 'dosa lama' seseorang yang disebarkan di social media, baik berupa status sindiran atau usaha menjatuhkan nama secara terang-terangan? Adakah harapan bahwa yang punya nama akan merasa ditelanjangi hingga terhina setengah mati?

Salahkah bila lama-lama semua menjauh akibat hati yang kian menggelap oleh kesumatnya dendam? Bagaimana bila suatu saat mereka juga berbuat salah, seperti layaknya manusia biasa? Akankah mereka diperlakukan serupa, meski yang mereka perbuat tidak sengaja dan sudah menyesalinya?

Akan kemanakah dendam kau bawa? Sanggupkah terus menanggungnya, meski sering tanpa sadar kamu pun sama, berpotensi menimbulkan dendam di hati mereka - baik lewat perkataan maupun perbuatan? Ada kalanya bukan kau yang selalu jadi korban keadaan. Mentalitasmu yang memilih tetap demikian. Coba pikirkan. Di luar sana, banyak yang senasib atau mungkin lebih parah saat disakiti. Tidak semua selalu ingin membalas atau melampiaskannya kepada semua orang. Semua tergantung pilihan.

Memang, lebih mudah meminta agar jangan sampai mendendam. Namun, pernahkah meminta agar jangan sampai berbuat maupun berucap yang dapat menimbulkan dendam, meskipun niatnya hanya bercanda atau semata-mata "atas nama kejujuran"? Hanya Tuhan yang Benar-Benar Maha Pengampun. Tidak semua manusia sesabar dan sepemaaf itu.

Semoga kita tidak pernah - atau tidak lagi - termasuk keduanya: sang pendendam maupun pemicu dendam. Wallahu alam.

Aamiin.

R.

(Jakarta, 24 Mei 2016 - 23:30)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun