Ada lagi kakak perempuan teman saya (lelaki) yang sudah berusia 31. Si kakak pernah didekati laki-laki di kampung mereka. Sebulan dekat, rupanya si kakak tidak sreg. Alasannya? Pertama, baginya laki-laki itu membosankan. Bahan obrolannya itu-itu saja. Kalau diajak ngobrol yang lain, laki-laki itu tampak malas menanggapi atau terlihat bingung. (Bahkan, yang parah bisa saja malah si perempuan yang dituding ‘sok pintar’ atau ‘pamer kecerdasan’. Biasa banget, ‘kan?)
Kedua, laki-laki itu langsung mendesaknya dengan ajakan menikah, dengan ancaman kalau si perempuan tidak menjawab ‘ya’ dalam sebulan, maka laki-laki itu akan berpaling melamar perempuan lain. Mirip-mirip cerita dongeng atau adegan sinetron alay, kalau dipikir-pikir.
Akhirnya mereka putus. Kakak teman saya tidak suka diancam-ancam segala (cara yang kekanak-kanakan dan tidak cerdas untuk melamar perempuan), tapi juga ingin membuktikan kebenaran ucapan si mantan.
Tidak hanya belum punya pengganti, namun si mantan malah kembali mencari-cari kakak teman saya. Diterima kembali? Pastinya tidak.
Masih banyak kasus serupa. Ada yang didekati laki-laki yang menurut saya cukup bodoh, tidak peka, dan kejam dengan berterus-terang begini: “Aku deketin kamu sebenarnya juga karena kasihan. Habis, sudah umur 30 masih juga belum menikah.” Ada juga laki-laki berego tinggi yang kesal ditolak, lantas memaki-maki: “Ngaca dulu, dong! Udah perawan tua, masih sok laku juga.”
Laku? Ngomongin barang dagangan apa orang?
Yang tidak mengerti (atau memilih enggan dan tidak mau peduli) mungkin akan langsung menganggap perempuan-perempuan ini sombongnya setengah-mati dan keras kepala lagi. Terserah, selama Anda ingat bahwa bukan Anda yang menanggung seluruh hidup mereka. Lagipula, bukankah manusia selalu punya pilihan? Memangnya hanya laki-laki yang boleh memilih, sementara perempuan tinggal duduk diam dan manis, terima jadi, dan nggak boleh menolak – atau harus siap dengan resiko dibilang ‘tidak tahu terima kasih’?
Ah, standar ganda, bukan? Sama seperti harapan bahwa ‘perempuan baik-baik’ itu yang harus duduk diam dan manis sambil menunggu laki-laki datang menawarkan cinta duluan, bukan sebaliknya. Eh, giliran si perempuan sudah berusia 30 tahun ke atas, malah dia yang dikejar-kejar agar segera menikah – entah dengan siapa atau apa pun caranya. Dituduh kurang usaha, namun giliran usaha malah dianggap agresif karena putus-asa. Aduh, maunya apa, sih?
Yang (memilih) tidak mengerti mungkin hanya akan menganggap penulis artikel ini ‘buta realita’, ‘anti pernikahan’, atau ‘perawan tua yang nyinyir karena nggak nikah-nikah juga’. Seperti biasa, terserah. Sudah baca contoh-contoh kasus di atas? Itulah stigma sosial yang – sialnya – hingga kini masih terus menimpa perempuan-perempuan lajang usia 30 tahun ke atas di Indonesia. (Mungkin juga berlaku di negara-negara lain, saya tidak tahu segalanya.) Padahal, kalau dipikir-pikir, apa gunanya sih, bermulut jahat sama mereka? Memang mereka pernah menyakiti Anda? Memangnya status lajang mereka segitu ‘ganggu’-nya bagi Anda? Jika mereka sendiri sudah cukup sabar dan menganggapnya cobaan, kenapa Anda harus merusaknya dengan hinaan? Memangnya Anda mau – atau mungkin sudah pernah – di posisi mereka?
Memangnya kalian bisa menjamin bahwa ucapan kalian tidak membuat mereka terserang depresi, ‘salah jalan’ dengan merebut suami orang, hingga malah jadi anti beneran dengan pernikahan itu sendiri?
Saatnya berhenti jadi social bully. Mendoakan yang baik-baik bagi mereka saja sebenarnya sudah lebih dari cukup menjadi bukti bahwa kalian benar-benar peduli. Tak perlu komentar sana-sini, apalagi sampai bikin mereka sakit hati.