Mungkin banyak yang menganggap topik ini membosankan setengah-mati. Mungkin juga karena mulai semakin banyak perempuan yang lebih percaya diri, tidak lagi bertingkah bak kambing kebakaran jenggot hanya karena masih lajang di atas usia 30. Mungkin juga ada yang memilih tetap begitu. Apa pun alasan mereka, tak perlulah nyinyir dan sok ikut campur. Mau menasihati boleh, tapi tidak perlu sampai memaksa – apalagi sampai mencela dan menghina segala. Maaf, memangnya Anda siapa?
Ada beda tipis antara peduli dengan usil. Peduli adalah saat mereka rajin mendoakan yang terbaik bagi si lajang, tanpa ucapan yang membuat si lajang merasa kurang, tidak berharga, buruk rupa, dan hina. Ya, terlepas dari niat yang punya mulut, yang katanya “baik” itu. Padahal mendoakan yang baik-baik saja sebenarnya sudah lebih dari cukup.
Sementara itu, yang (kelewat) “usil” tidak pernah kehabisan cara untuk membuat si perempuan lajang merasa bersalah, HANYA karena di usianya yang sudah di atas kepala tiga belum juga menikah. Mulai dari mengomentari penampilan (dengan alasan klasik yang diamini sejuta umat: “Laki-laki ‘kan, mahluk visual!”), berat badan (“Kurusin dikit dulu deh, kalo mau cepet dapet pacar!”), hingga sikap (“Gimana kalo elo gak terlalu picky dan lebih membuka hati?” sama tambahannya “Tapi jangan gampangan juga, kali!”) Ada juga yang sampai bawa-bawa keluarga segala. (“Bokap lo sakit. Lo gak kasihan sama beliau?” Seolah-olah bila si perempuan lajang yang dituding itu buru-buru menikah – dengan siapa pun yang ASAL ADA – masalah akan selesai begitu saja dan sang ayah akan sembuh dengan ajaib.)
Ada beberapa kasus nyata mengenai hal ini:
Adik perempuan seorang rekan pernah sempat lama melajang, hingga di usianya yang ke-35. Saat keluarganya mencoba menjodohkannya dengan seseorang pilihan mereka dan gagal (karena si adik ternyata tidak punya ‘rasa’), jadilah dia yang di-bully:
“Mbok ya, ngaca dulu,” tegur mereka waktu itu. “Umurmu sudah berapa, cantik apa enggak...”
Akhirnya sang adik mengadu pada rekan saya sambil menangis. Jadilah sang abang membela sang adik mati-matian, melabrak keluarga besar. Eh, respon mereka hanya: “Kita ‘kan, maksudnya baik.”
“Niat baik harus pakai menghina adik saya?”
Aduuh!
Singkat cerita, adik rekan saya akhirnya menikah di usia 37 dan memiliki seorang anak. Apakah setelah itu masih juga dirongrong mereka, seperti dikatai ‘telat nikah’ hingga diajak ‘berandai-andai’ macam: “Kalo dari dulu udah nikah, pasti anakmu nggak akan hanya satu”?
Entahlah. Moga-moga tidak. Moga-moga mereka membiarkannya bahagia dengan pilihan hidupnya.