Akhir tahun 2016 adalah waktu liburan yang datang bersamaan dengan kosongnya jadwal perkuliahan saya. Saya sangat ingin untuk melakukan perjalanan yang berbeda dari biasanya. Perjalanan yang tak pernah saya lakukan sebelumnya, sesuatu yang baru, sebuah terobosan. Target saya kali ini adalah menjejakkan kaki di Pulau Bali, namun untuk mencapai tempat itu saya menantang diri saya untuk tidak boleh menggunakan pesawat.Â
Pulau Bali saya pilih karena Bali mempunyai banyak sekali tempat wisata yang tak pernah habis untuk digali keindahannya. Akhir tahun pun merupakan waktu yang tepat dimana seluruh orang dari penjuru dunia pergi ke Pulau Bali untuk liburan, sehingga rasanya akan menyenangkan untuk pergi kesana sembari bertemu banyak orang baru.
Saya lebih menyenangi liburan di Indonesia karena saya ingin sekali mewujudkan mimpi saya untuk bisa menjejakkan kaki ke seribu pulau di Indonesia. Orang-orang Indonesia sangat ramah, dan makanannya juga terkenal paling enak di dunia, tidak ada alasan untuk tidak menghabiskan waktu berpetualang di tanah air kita tercinta ini.
Seperti banyak quote bilang "Bukankah ketika traveling itu yang lebih penting adalah perjalanannya bukan tujuannya", ya kan?. Ketika menjadi fleksibel, terkadang kita dipertemukan dengan hal-hal yang tidak terencana namun memberikan kesan yang sangat mendalam, dan menambah seru sebuah perjalanan.
Saya menaiki kereta menuju Malang. 8 jam perjalanan saya tempuh. Saat dini hari baru saya sampai di kota yang sangat terkenal dengan buah apelnya itu. Setibanya di kota Malang, saya lalu mencari tempat wisata apa yang menarik. Pilihan pertama jatuh kepada Kampung Warna Jodipan. Kampung ini baru saja dibuka sebagai tempat wisata, kurang lebih 6 bulan lalu.
Walaupun terhitung belum lama, pengunjung yang datang ke Kampung Wisata Jodipan sudah sangat ramai. Daya tarik dari tempat ini adalah rumah warga yang dicat dan dilukis sedemikian rupa. Tak kurang dari 125 kepala keluarga sepakat rumahnya untuk diperbaharui warna temboknya. Program ini bisa terlaksana dikarenakan kerjasama yang apik dari pihak sponsor, warga, serta stakeholder lainnya.Â
Biaya yang dikeluarkan untuk programpun ini besarannya cukup fantastis yaitu 3 Miliar Rupiah. Dampaknya sekarang Jodipan banyak dikunjungi, serta banyak kegiatan kreatif dilakukan disini. Jodipan menjadi tempat wisata murah meriah di tengah kota Malang, retribusinya tak mahal, Rp. 2000 per orang. Puas berjalan, saya pun pulang ke Hotel di pusat kota Malang untuk beristirahat dan memikirkan tujuan perjalanan esok harinya.
Terletak di kaki Gunung Kawi, pemandangan yang sungguh indah dapat kita nikmati, Jalan berkelok, cuaca yang cerah namun sejuk, tebing di kanan kiri yang saling menunjukkan kegagahannya. Tiket masuknya Rp. 4000 rupiah, dari loket kami masih harus trekking menyusuri jalan setapak sekitar 30 menit. Sesekali saya harus sedikit merangkak, dan meraba raba dinding tebing dikarenakan jalurnya agak sulit dan licin dikarenakan air yang melintas. Suara air pun mulai terdengar dan bergemuruh, semakin berjalan semakin jelas terdengar ditelinga.Â
Jalanan pun mulai berbentuk turunan dan tibalah saya di air terjun itu. Airnya dingin dan sejuk, suasana disini masih sepi sehingga terasa sangat alami, tidak banyak sampah, daun bergesekan dan sekali diselingi suara burung bersahutan. Walaupun minim fasilitas namun air terjun ini benar-benar indah, tak rugi menghabiskan waktu berjam-jam untuk sekedar belihat dan bermain airnya.
Memang kedua kota ini tidak seterkenal Bali namun kedua kota ini punya daya tariknya masing masing. Jombang terkenal dengan kota santri, saya ingin sekali ziarah ke makam GusDur dan kalau bisa ingin menyempatkan mengunjungi rumah tokoh idola saya CakNun di daerah Sumobito. Mojokerto terkenal dengan peninggalan bersejarah kerajaan Majapahit.
Saya lalu berangkat ke Jombang menggunakan bis dari terminal Landungsari Malang, 3 jam perjalanan. Sesampainya disana, ada seorang teman yang berbaik hati mengajak saya berwisata kuliner. Saya sebenarnya cukup penasaran dengan menu makanan khas daerah ini, karena ini kali pertama saya mengunjungi Jombang dan tidak pernah searching mengenai apapun tentang daerah ini. Dibawalah saya menuju suatu gang sempit dan buntu, diujung gang itu terdapat sebuah pikulan dan seorang bapak yang selalu melayani pelanggannya tanpa henti.Â
Warung Soto Cak Di, begitulah nama tempat yang saya datangi itu. Seporsi soto berisi nasi, kol, tauge, suwiran ayam dan potongan telur ayam rebus, disiram dengan kuah kuning hangat. Sembari meracik dan melayani para pelanggan, sesekali beliau menghisap rokoknya dan menimpali pembicaraan para pelanggan. Suasana riuh rendah, lalu rasa sotonya pun mantap, penuh bumbu ! ditambah secangkir teh hangat maka sempurnalah acara makan kami pada hari itu. Sayangnya, saya tidak sempat untuk mengunjungi makam GusDur maupun rumah CakNun dikarenakan, Jombang selalu diguyur hujan saat itu.
Besok harinya, perjalanan berlanjut ke Mojokerto. Mengendarai skutermatik, perjalanan kami tempuh sekitar hampir 1 jam perjalanan. Pemberhentian pertama adalah Buddha tidur. Tempat ini memang menjadi salah satu tempat wisata favorit wisatawan ketika mengunjungi Mojokerto. Patung dengan panjang 22 meter, lebar 6 meter, tinggi 4,5 meter dan berwarna keemasan ini tak pernah sepi pengunjung, terlebih saat akhir pekan. Tiket masuknya tak terlalu mahal Rp. 3000. Banyak pengunjung melakukan selfie ketika berada disini. Tak perlu jauh-jauh ke Thailand atau Myanymar untuk bertemu Budda tidur. Mojokerto pun ada !
Selanjutnya kami berpindah untuk menikmati wisata candi. Mojokerto memang terkenal akan candi-candinya. Kerajaan Majapahit yang dulu sangat berkuasa berasal dari sini daerah Trowulan, Mojokerto tepatnya. Tak lengkap rasanya kalau ke Mojokerto tetapi tidak mampir ke salah satu peninggalan sejarahnya.
Kali ini, Candi yang kami datangi adalah Candi Bajangratu. Candi Bajangratu erat kaitannya dengan Raja Jayanegara dikarenakan saat dinobatkan beliau masih "bajang" atau kecil/muda. Fungsi dari candi Bajangratu selain menjadi penghormatan untuk Jayanegara adalah menjadi pintu keraton dari kerajaan Majapahit. Setelah puas berkeliling dan menikmati keindahan arsitektur candi ini, kami pulang dan berpisah. Saya harus ke Banyuwangi untuk menyeberang ke Bali.
Akhirnya, saya memutuskan untuk tidur didepan stasiun. Ternyata banyak juga backpacker yang melakukan hal yang sama. Pulas saya tertidur, dan terbangun tepat pukul 5 pagi. Bergegaslah saya menuju pelabuhan yang jaraknya tidak jauh dari stasiun kereta itu. Tarif menyebrang untuk perorangan seharga Rp. 7000, dan perjalanan ditempuh dalam 1 jam perjalanan.
Beruntungnya saya, ketika saya menyeberang tepat saat matahari terbit, sehingga saya mendapatkan pemandangan yang sangat indah. Langit berubah menjadi jingga, perlahan matahari naik dari balik bukit, lalu refleksi pun terpancar dari atas permukaan air.
Hari-hari saya di Bali dihabiskan dengan mencari tempat yang belum pernah saya kunjungi. Pertama kali saya datang ke Bali, saya sudah mengunjungi beberapa tempat seperti Elephant Park, menyelam di Tulamben, menikmati perkebunan jeruk di Kintamani, dan beberapa pantai. Tempat pertama yang pertama saya kunjungi adalah Campuhan, sebuah bukit di daerah Ubud dimana sering digunakan untuk trekking. Hamparan padang rumput dan suara air mengalir dari sungai sekitar menemani kita ketika sedang berjalan. Siang itu, langit sangat biru dan matahari bersinar cerah, sembari berjalan dan berkenalan dengan beberapa wisatawan mancanegara (bule) saya dapat mengabadikan pemandangan yang indah itu.
Selanjutnya, saya berniat untuk mencari pantai untuk melihat matahari terbenam. Teman saya lalu merekomendasikan Kuta. Memang benar kalau Kuta adalah pantai yang terkenal dengan sunsetnya, tetapi saya ingin mencari yang lain, pantai yang lebih sepi, yang belum banyak didatangi orang. Akhirnya saya menyusuri satu per satu pantai sisi barat (agak keselatan) dari Pulau Bali.Â
Berawal dari Pantai Kuta, saya lalu perlahan naik ke arah utara, mencicipi beberapa pantai seperti Watu Bolong, Canggu, dan akhirnya sampailah saya ke pantai yang membuat saya berhenti dan menikmati keindahan matahari terbenam disana. Pantai tersebut adalah Pantai Mengerning. Pantai ini berpasir hitam, terdapat pura di pesisir pantainya, dan karang karang besar di belakang pura tersebut.Â
Angin dan ombak sore itu cukup kencang tetapi tidak menyurutkan niat saya untuk menunggu momen sunset itu. Matahari akhirnya turun menghilang perhalan tepat didepan mata saya. Sore itu indah sekali, dan tidak terlalu ramai orang. Saya hanya melihat tak lebih dari 10 orang menikmati pemandangan itu bersama saya. Salah satu "hidden paradise" yang harus dikunjungi ketika di Bali.
Setelah sampai Pulau Lombok, saya masih diharuskan untuk berkendara sekitar 30 menit untuk menuju pusat kota. Untuk menginap, saya menghabiskan malam di sebuah homestay yang terletak di pusat kota mataram bernama Puri Mama. Setelah beristirahat, saya lalu berangkat menuju sisi selatan Pulau Lombok. Tujuan pertama adalah mengunjungi sebuah desa adat bernama Sasak Ende.Â
Saya pun berkeliling dan terkesima dengan masyarakat pada desa tersebut yang sangat mahir menenun. Rumah adatnya juga unik, alasnya terbuat dari tanah dengan campuran kotoran kerbau. Seminggu sekali mereka mengepel lantai rumah itu dengan campuran tadi. Para laki-laki tidur diluar dan para wanita tidur di dalam rumah. Terdapat juga sebuah rumah yang digunakan untuk menyimpan padi, dibuat sedikit agak tinggi dari tanah supaya tikus tidak bisa masuk dan menghabisi simpanan pangan mereka.
Hujan turun saat itu, sembari saya berteduh dan menikmati nasi campur di sebuah warung dekat desa Sasak, saya merencanakan mau kemana saya setelah ini. Tak perlu waktu lama untuk berpikir, saya akhirnya menuju pesisir selatan dimana terdapat banyak pantai yang menyegarkan mata. Pilihan pertama saya adalah pantai Selong Belanak. Pantai ini dipenuhi oleh para wisatawan mancanegara yang ingin belajar berselancar. Pantai dengan air hijau kebiruan, diapit bukit besar, berpasir halus ini memang tepat jika dijadikan tempat belajar dikarenakan ombaknya yang tidak terlalu sulit ditaklukan.
Pantai berikutnya yang saya datangi adalah pantai Kuta Lombok. Daya tariknya dari pantai ini adalah ayunan yang disediakan oleh pihak pengelola pantai. Sangat bagus ketika matahari tenggelam dan kita berpose di ayunan tersebut bersama pasangan kita. Sangat romantis. Tak lama setelah itu, saya memutuskan untuk pulang. Esoknya, saya pergi ke daerah utara Pulau Lombok, mendekati Gunung Rinjani.Â
Air Terjun adalah tujuan saya saat ini, Lombok memang terkenal dengan keindahan pantai dan pulaunya, tetapi Lombok juga punya air yang tak kalah indah. Air terjun tersebut bernama Benang Stokel, tarif masuknya Rp. 10.000, dari pintu masuk, saya masih harus trekking sejauh 300an meter. Melelahkan memang, tetapi ketika sampai, kelelahan tersebut terbayar dengan indah dan sejuknya air terjun tersebut.
Perjalanan saya pun telah usai, berbagai tempat indah yang menjadi hidden paradise sudah saya datangi. Sudah saatnya untuk pulang ke rumah, mengembalikan tenaga, bertemu keluarga, menabung lagi, karena perjalanan selanjutnya sudah ada di ujung kepala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H