Sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, kenaikan harga bahan pangan dipengaruhi oleh alur distribusi, kuantitas, dan cuaca. Semakin sulit alur distribusi bahan pangan, semakin mahal juga harga bahan pangan tersebut, seperti beras. Maka tidak heran, harga beras di Indonesia lebih mahal dibandingkan Myanmar, padahal Myanmar lebih miskin dari Indonesia. Selain itu, kuantitas juga memengaruhi harga bahan pangan, apabila menggunakan teori supply and demand. Apabila permintaan naik sementara stok barang yang dimiliki hanya sedikit, harga barang tersebut akan naik. Faktor terakhir adalah cuaca, namun faktor ini bisa disiasati dengan berbagai riset yang berkaitan dengan pertanian (agroteknologi).Â
Tidak cukup sampai di situ, perubahan sistem ekonomi Indonesia yang sebelumnya hanya berkutat pada ekonomi agraris menjadi ekonomi industri dan jasa, membuat sawah-sawah hilang satu per satu, digantikan dengan bangunan-bangunan pencakar langit maupun pabrik-pabrik. Bahkan, ada juga yang tergantikan dengan perkebunan besar yang dikelola oleh perusahaan perkebunan besar, baik yang berbasis di Indonesia maupun investor asing.Â
Dengan demikian, Indonesia yang dipuja-puja sebagai salah satu 'negara agraris' selama ini, hanyalah omong kosong belaka. Ketika harga bahan pangan naik, justru yang disalahkan adalah alam dan rakyat. Padahal, masalah tersebut berasal dari mismanajemen dan minimnya anggaran riset dan pengembangan teknologi pertanian (agroteknologi).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H