Pada era reformasi, kebebasan akademik merupakan sesuatu yang harus dijaga dengan baik oleh institusi pendidikan tinggi (universitas maupun institut). Dalam peraturan perundang-undangan, seperti UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, kebebasan untuk berpikir diatur dalam Pasal 4, bersama dengan hak-hak dasar manusia lainnya, seperti hak untuk hidup dan kesetaraan dalam hukum.Â
Namun, akhir-akhir ini, kebebasan akademik semakin tergerus. Pelanggaran-pelanggaran terhadap kebebasan akademik dalam lingkungan perguruan tinggi justru semakin meningkat. Pada tahun 2022 misalnya, jumlah pelanggaran terhadap kebebasan akademik di Indonesia sendiri berjumlah 20 kasus, jika merujuk kepada data dari Amnesty International Indonesia.Â
Sebagai contoh, pada bulan Mei 2020 lalu, sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh para civitas academica Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang bertema 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan', yang kemudian dibatalkan karena banyaknya ancaman pembunuhan yang diterima oleh para panitia maupun peserta diskusi.Â
Yang lebih mengejutkan yaitu polemik Statuta UI baru yang diteken oleh Presiden Jokowi pada tahun 2021 lalu, yang tentunya dinilai menghilangkan independensi kampus, karena mengizinkan rektor UI untuk merangkap jabatan. Dalam hal ini, Ari Kuncoro, rektor UI saat itu, memiliki dua jabatan: rektor UI dan Wakil Komisaris Utama BNI. Selain itu, dalam statuta baru tersebut, anggota partai politik diizinkan masuk ke dalam Majelis Wali Amanat (MWA) UI serta mengurangi peran dari Dewan Guru Besar (DGB). Di kalangan akademisi di bidang ilmu hukum, statuta tersebut dianggap memiliki cacat hukum.Â
Masuknya kader-kader partai dalam jajaran MWA ini disinyalir akan mengulangi periode kelam dalam sejarah pendidikan Indonesia, yaitu intervensi pemerintah di dalam lingkungan pendidikan tinggi, sehingga mengurangi independensi lembaga pendidikan seperti ketika periode Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru (setelah peristiwa Malari 1974), yang di mana, pemerintah dapat mengintervensi kehidupan akademik.Â
Mengapa kebebasan akademik sangat penting?
Dalam sebuah tatanan negara yang demokratis, diperlukan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Negara harus menjamin kebebasan warga negaranya untuk mengemukakan pendapat sesuai pemikirannya masing-masing, tanpa harus diintervensi oleh pemerintah yang berkuasa.Â
Di Indonesia, kebebasan akademik dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945, yang intinya adalah setiap warga negara memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pikirannya dan berserikat serta berkumpul tanpa ancaman dari pihak mana pun, yang tentunya diatur oleh undang-undang lainnya. Munculnya pasal turunan dari Pasal 28A-J ini tentu merupakan salah satu produk dari reformasi, yang diperjuangkan oleh aktivis mahasiswa pada tahun 1998 lalu.Â
Kebebasan mengekspresikan pikiran dan berserikat ini tentunya mengena kepada aspek kebebasan akademik, salah satu aspek yang harus dimiliki oleh setiap perguruan tinggi. Menurut Tri Dharma perguruan tinggi, institusi perguruan tinggi dapat melaksanakan fungsi pengabdian masyarakat, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan pendidikan.Â
Paradoks kebebasan akademik dewasa ini
Kebebasan akademik dewasa ini, yang selalu diperjuangkan, penuh dengan paradoks, terutama di Indonesia. Ketika suhu politik sedang meningkat, atau sistem pemerintahan yang selangkah menuju kediktatoran, kebebasan akademik tentunya mengalami berbagai macam ancaman.
Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, ketika beberapa hari yang lalu, muncul sebuah desas-desus bahwa polisi menekan para guru besar untuk mendukung Jokowi dan membuat statement yang menunjukkan keberpihakan kepada pemerintah, di tengah banjir kritikan dari berbagai akademisi. Namun, belum jelas siapa nama anggota polisi yang menekan para guru besar dari seluruh universitas di Indonesia.Â
Hal ini tentu mengingatkan pada kebijakan normalisasi kehidupan kampus (NKK) yang pernah diberlakukan di masa Orde Baru, yang di mana, pemerintah memiliki kendali atas perguruan tinggi, sehingga kebebasan untuk menyuarakan gagasan dan pemikiran di kalangan akademik, tidak ada sama sekali, selain untuk kegiatan yang tidak mengarah kepada politik praktis. Seakan-akan, perguruan tinggi hanya difungsikan sebagai sarana pengembangan keilmuan, bukan sebagai pemantau pemerintah (watchdog) ataupun mitra kritis pemerintah seperti sekarang.Â
Pemerintah Orde Baru menganggap bahwa gerakan mahasiswa adalah salah satu upaya subversi dan destablisasi negara, yang tentunya bertentangan dengan Trilogi Pembangunan yang dicanangkan pemerintahan Soeharto, yang menjadikan stabilitas nasional sebagai salah satu elemen pembangunan.Â
Oleh karena itu, pembredelan-pembredelan dan pemberangusan gerakan mahasiswa merupakan sesuatu yang lumrah di masa itu. Badan eksekutif mahasiswa (BEM) yang dahulu bernama Dewan Mahasiswa ini, tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang dianggap mengganggu kekuasaan Soeharto. Sebagai contoh, pada tahun 1978, para mahasiswa ITB melakukan aksi penolakan kepada Soeharto yang ingin mencalonkan dirinya kembali sebagai presiden untuk periode 1978-83. Sebagai akibat dari penolakan tersebut, kampus yang terletak di jantung kota Bandung ini diduduki oleh pasukan khusus (Kopassus) dan tentunya, Polisi Militer (CPM). Semenjak itu, tidak ada lagi gerakan-gerakan mahasiswa antara 1979-98.Â
Di masa reformasi, ketika sebuah kebebasan akademik menjadi kebutuhan primer di lingkungan pendidikan tinggi, hingga tahun 2019, hanya sedikit pelanggaran terhadap kebebasan akademik yang terekam. Namun, ketika pandemi Covid-19, pelanggaran-pelanggaran terhadap kebebasan akademik mulai intensif. Mulai dari dibubarkannya diskusi hukum tata negara terkait dengan wacana pelengseran Jokowi pada bulan Mei 2020 hingga pemberangusan aksi mahasiswa ketika omnibus law diketok palu pada bulan Oktober 2020, menambah catatan kelam pelanggaran kebebasan akademik di masa pemerintahan Jokowi periode kedua.Â
Kebebasan akademik: permata yang harus dijaga keberadaannya
Di era reformasi, dengan adanya semangat keterbukaan, kebebasan akademik harus dijaga sebagaimana mestinya. Apalagi, mahasiswa merupakan salah satu insan akademis yang memiliki daya kritis dan nalar yang tinggi untuk memecahkan suatu persoalan. Mahasiswa maupun akademisi dituntut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai disiplin ilmunya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa sejarah dituntut agar bisa mencari peristiwa-peristiwa sejarah yang hilang atau sengaja 'dihilangkan' oleh penguasa demi kepentingan nasionalisme dan patriotisme, sebagaimana yang pernah disorot oleh Prof. Asvi Warman Adam dalam bukunya yang berjudul Pelurusan Sejarah Indonesia.Â
Apalagi, salah satu poin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah penelitian, pendidikan, dan pengajaran. Apabila kebebasan akademik di Indonesia sengaja dimatikan oleh pihak-pihak tertentu, hal tersebut merupakan pelanggaran dari prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi yang seringkali digembar-gemborkan.Â
Oleh karena itu, sebuah 'permata' yang menjadi salah satu kebutuhan primer dari sebuah institusi perguruan tinggi tentu harus dijaga dengan baik, agar implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat berjalan dengan baik sebagaimana mestinya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI