Mohon tunggu...
Rubeno Iksan
Rubeno Iksan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah S1 di Universitas Negeri Semarang

Pena lebih tajam daripada pedang

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Artikel Utama

Pleburan, dari Pusat Pendidikan hingga Kuliner Malam

24 November 2023   12:47 Diperbarui: 27 November 2023   21:30 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Tampak depan Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Joglo Pleburan yang berada di depan Pascasarjana Kampus Undip Pleburan. (Sumber: manunggal.undip.ac.id)

Suatu ketika ada anak rantau dari Jakarta yang baru saja pulang dari Semarang untuk melepas rindu setelah satu semester berkuliah di sana, ia ditanya oleh salah satu temannya di Jakarta: 

'Bro, udah lama nich kita kaga ketemu, jadi kangen gua. Betewe lu kuliah di mana?' Sang anak rantau itu menjawab: 'Di Undip bro, gua kuliah ekonomi'. Temannya langsung menimpali: 'Ooh, yang di Tembalang itu ya? Waduhh gacor banget, bisa dapet kuliah di Undip.'

Kutipan percakapan tersebut mengawali pembahasan tentang kawasan Undip dan first impression yang didapat tentang Undip. Apabila seseorang menanyakan di mana Undip, atau bagaimana Undip itu, tentu jawabannya merujuk kepada satu tempat, yaitu kawasan perbukitan di kawasan Semarang bagian selatan yang bernama Tembalang. 

Hal ini tentunya disebabkan oleh pemusatan kegiatan akademik Undip di tingkat S1 maupun D3/D4 di kawasan Tembalang yang berakibat munculnya usaha kos-kosan dan warung burjo yang memiliki sentuhan kekinian, yang menjadi 'magnet' bagi mahasiswa rantau untuk melepas penat maupun mengerjakan tugas kuliah. 

Namun, ada satu yang terlewatkan bagi generasi saat ini, bahwa dahulu, Universitas Diponegoro pernah memiliki kampus di Pleburan, dekat Simpang Lima. 

Mungkin hanya segelintir orang yang tahu, termasuk warga asli Pleburan maupun yang pernah berkuliah di Undip Pleburan, bagaimana geliat kehidupan di pinggir Jalan Hayam Wuruk dan sekitarnya pernah ada, yang tentunya berkurang pada saat ini. 

Pleburan dalam Lintasan Zaman

Jalan Imam Bardjo yang baru saja diresmikan pada tahun 1960an. (Sumber gambar: voi.id)
Jalan Imam Bardjo yang baru saja diresmikan pada tahun 1960an. (Sumber gambar: voi.id)

Sebelum dikembangkan menjadi kawasan terpadu Universitas Diponegoro, dahulu Pleburan dan kawasan Simpang Lima adalah tanah rawa, begitulah menurut pendapat Jongkie Tio, salah satu pemerhati sejarah Kota Semarang. 

Bahkan, lahan yang sekarang dijadikan sebagai Masjid Al-Fath Pleburan itu, konon adalah pecahan kapal dari Ki Dampo Awang, sebutan lain dari Sam Poo Kong. 

Kawasan Pleburan dan Simpang Lima baru dikembangkan pada masa Presiden Soekarno, sebagai imbas dari tergusurnya alun-alun lama di dekat Pasar Johar dan pusatnya yang dikenal di kemudian hari dengan nama Kanjengan, sekaligus melakukan perluasan wilayah kota ke bagian selatan Semarang. 

Suasana upacara bendera di kampus Undip Pleburan. (Official FB Undip)
Suasana upacara bendera di kampus Undip Pleburan. (Official FB Undip)

Alun-alun raksasa yang sekarang dikelilingi pusat perbelanjaan dan kantor pemerintahan ini dibangun pada tahun 1965-66. Pada awalnya, kawasan sekitar Simpang Lima hanya diperuntukkan sebagai kawasan pemerintahan provinsi Jawa Tengah. 

Seiring perkembangan zaman, kawasan sekitar Simpang Lima kemudian dikembangkan menjadi kawasan komersial antara pertengahan 70an hingga 90an. 

Dengan pengembangan Universitas Diponegoro yang berkedudukan di Pleburan, hal tersebut menjadi 'magnet' bagi para perantau dari berbagai daerah untuk mendulang rupiah dengan membuka lapak di pinggir jalan. 

Ada yang membuka warung makan, rata-rata warung di Pleburan menggunakan bangunan yang permanen, begitupula dengan jasa ketik maupun printing yang bertebaran di sepanjang Jalan Hayam Wuruk hingga Jalan Singosari. 

Biasanya, pada jam-jam tertentu, warung makan hingga jasa ketik selalu ramai dengan konsumen, yang mayoritas merupakan civitas akademika Undip. 

Jasa ketik di kawasan sekitar Pleburan menjadi andalan bagi mahasiswa untuk mengerjakan tugas kuliah, apalagi ketika komputer belum populer di Indonesia. 

Di tengah teriknya matahari, Masjid Diponegoro Pleburan atau Masjid Al-Fath merupakan tempat yang tepat untuk berteduh, di samping mendekatkan diri kepada Allah. 

Biasanya, ketika setelah sholat Dzuhur hingga Ashar, pelataran masjid yang dibangun pada tahun 1988 ini penuh dengan warga sekitar maupun tukang ojek yang beristirahat, bahkan hingga saat ini pun, masjid itu tidak pernah sepi dari jamaah. 

Berkurangnya geliat perekonomian di Pleburan

Warung makan sepanjang Jalan Hayam Wuruk, Pleburan. Dahulu, warung-warung tersebut merupakan primadona bagi mahasiswa Undip. (Dok. pribadi)
Warung makan sepanjang Jalan Hayam Wuruk, Pleburan. Dahulu, warung-warung tersebut merupakan primadona bagi mahasiswa Undip. (Dok. pribadi)

Ketika Universitas Diponegoro memutuskan untuk mengembangkan kawasan perbukitan Tembalang menjadi sebuah kawasan pendidikan tinggi terpadu pada awal tahun 90an, dapat dikatakan bahwa roda perekonomian di Undip Pleburan masih tetap berjalan. 

Hanya saja, geliat perekonomian di kawasan itu tidak seperti di kawasan Tembalang. Sejak tahun 1988, setelah Polines (kala itu masih bernama Politeknik Universitas Diponegoro) dibangun, mulai bermunculan usaha kos-kosan di kawasan Banjarsari dan gang dekat Polines. Apalagi, jarak dari kawasan Banjarsari ke kawasan pendidikan Tembalang tidak terlalu jauh. 

Bahkan, saat proses relokasi kegiatan akademik untuk program sarjana dan vokasi ke kawasan Tembalang yang dilakukan secara bertahap, secara berangsur-angsur para perantau dari luar Semarang atau Jawa Tengah mulai membuka usaha di kawasan tersebut, mulai usaha kos-kosan, makanan dan minuman (FnB), toko kelontong, dan lain-lain. 

Sementara, bagi warga asli Tembalang yang sudah hidup bertahun-tahun dan beranak-pinak di sana, mau tak mau harus beralih profesi, yang sebelumnya berprofesi sebagai petani, tentu harus beralih ke sektor jasa maupun perdagangan. Bagi yang tidak beruntung, bisa-bisa mereka berakhir menjadi pengangguran. 

Seiring perkembangan zaman, kawasan Tembalang dapat dikatakan mampu merebut takhta dari Pleburan dalam berbagai aspek, seperti kos-kosan. 

Akibatnya, harga tanah di sekitar Tembalang (terutama Banjarsari) naik beberapa kali lipat, bahkan harganya tidak sampai ratusan juta per meter persegi. Sementara, di Pleburan, dampak ekonomis yang dirasakan tidak terlalu signifikan.

Karena pada saat ini, kawasan Simpang Lima dan Pleburan identik dengan pusat kuliner malam (alias tidak lagi menjadi pusat pendidikan), meskipun jumlah warung makan sederhana yang masih bertahan sudah mulai berkurang, yang mengakibatkan omzet tukang parkir di sekitar Undip Pleburan turun sedikit demi sedikit. 

Pleburan boleh saja terlupakan sebagai 'episentrum' pendidikan bagi generasi saat ini. Namun, Pleburan bisa bertahan dengan kuliner malamnya yang menjadi 'magnet' bagi warga Semarang serta posisinya sebagai tempat di mana kampus pascasarjana Undip berdiri. 

Jika Pleburan tidak memiliki 'magnet' seperti kuliner malam, bisa saja kawasan itu sepi pengunjung sehingga geliat perekonomian kawasan tersebut seolah hilang terlekang waktu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun