Dari pendapat-pendapat tersebut, sangat betul jika ada fenomena glorifikasi pada tokoh-tokoh besar (dalam kacamata Hegel adalah 'teori orang-orang besar') dalam penulisan sejarah di Indonesia. Hal ini berlaku apabila masyarakat awam atau kalangan nasionalis-sekuler menilai Soekarno, yang jasanya melebihi Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Buya Hamka, KH. Isa Anshary, Kasman Singodimedjo, maupun tokoh nasional lainnya yang berasal dari kalangan Islam.Â
Soekarno digambarkan sebagai 'sosok yang membebaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme' dan 'putra sang fajar' (mengacu pada hasil wawancara Cindy Adams kepada Soekarno) yang diglorifikasi setinggi langit dengan membuang kiprah dari tokoh lainnya, padahal mereka juga berperan dalam kemerdekaan bersama Panitia 9.
Kultus terhadap Soekarno sendiri berakar ketika masa Demokrasi Terpimpin, ketika ia mengangkat dirinya sebagai Presiden Seumur Hidup dalam Sidang MPRS pada tahun 1963. Selain gelar tersebut, ia menggelari dirinya dengan seabreg gelar di tengah situasi ekonomi dan politik yang masih bergejolak: Mandataris MPRS, Panglima Besar Revolusi, Panglima Angkatan Bersenjata, dan gelar lainnya.Â
Semenjak itu, glorifikasi terhadap Soekarno pun diintensifkan. Bahkan, bukunya yang berjudul 'Di Bawah Bendera Revolusi' diterbitkan secara massal dan menjadi alat indoktrinasi bagi institusi manapun, termasuk pendidikan.Â
Pembangunan proyek-proyek mercusuar di tengah kesulitan ekonomi ditujukan pada kepentingan 'revolusi' Indonesia, misalnya pembangunan Monumen Irian Barat di Lapangan Banteng. Konsepsi politik Nasakom, Manipol-USDEK, Berdikari, dan Tri Sakti juga digembar-gemborkan Soekarno sebagai ideologi pemersatu bangsa Indonesia. Konsepsi ini dianggap sebagai way of life dari bangsa Indonesia, yang ditanamkan dari jenjang pendidikan dasar hingga tinggi, bahkan dalam dunia kerja.Â
Dengan runtuhnya Demokrasi Terpimpin pada tanggal 11 Maret 1966 dan diangkatnya Soeharto sebagai pejabat presiden, indoktrinasi konsepsi politik Soekarno seperti Manipol-USDEK dihilangkan serta dimulainya proses penghilangan jejak Soekarno (de-Soekarnoisasi) dengan membuang apapun yang berbau Marhaen, kiri, ataupun segalanya yang berkaitan dengan Soekarno. Ketika masa reformasi, apalagi dengan naiknya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden, Soekarno dibersihkan nama baiknya dan mengembalikan jejak-jejak Soekarno secara perlahan.
Padahal....
Dalam konteks pembahasan ini, ungkapan Gus Dur (mantan presiden ke-4, 1999-2001) tentang Soekarno dan Soeharto bisa dikatakan relate dengan kejadian sejarah yang lalu. 'Soekarno tidak sebaik yang kau kira, Soeharto tidak seburuk yang kau kira', kurang lebih itulah penilaian Gus Dur tentang mereka. Apa maksud dari 'Soekarno tak sebaik yang kau kira' yang diucapkan Gus Dur?
Hal ini merujuk pada perlakuan Soekarno terhadap lawan politiknya, apapun haluannya. Ia pernah mengkriminalisasi kawan seperjuangannya sendiri, Sutan Sjahrir dengan tuduhan menyokong gerakan PRRI-Permesta.Â
'Boeng Ketjil' ini kemudian menjadi tahanan politik Soekarno hingga kemudian diasingkan ke Swiss dan wafat di sana pada tahun 1966. Namun, dampak lebih besar dirasakan oleh kalangan Islam. Masyumi dibubarkan dan dilarang pada tahun 1960 dengan alasan yang sama dengan penangkapan Sutan Sjahrir, banyak pentolannya seperti Mohammad Natsir dipenjara hingga runtuhnya Orde Lama.
Buya Hamka, ulama Minangkabau yang sangat menentang kebijakan Soekarno yang pro-komunis, dipenjara dengan tuduhan 'bersekongkol dengan Malaysia'. Sang perintis Majelis Ulama Indonesia ini bahkan dikabarkan pernah disiksa di penjara dan menulis tafsir Al-Azhar selama di dalam penjara.Â