Mohon tunggu...
Ruba Nurzaman
Ruba Nurzaman Mohon Tunggu... Guru - Teacher Trainer Writer

Guru MTs dan SMA Al-Mukhtariyah Rajamandala^^ Senior Trainer PT Edukasi 101^^Fasilitator MBS Tanoto Foundations^^Pengurus Ikatan Guru Indonesia Bandung Barat, Pengurus Pusat Perkumpulan Guru Madrasah Penulis (Pergumapi), Konsultan Sekolah Literasi Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Tanpa UN, Mungkinkah?

2 Maret 2017   12:16 Diperbarui: 2 Maret 2017   12:29 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Ruba Nurzaman

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, menyatakan bahwa, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jadi apabila merunut pada tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan itu sejatinya adalah proses pembentukan ataupun pengembangan kompetensi-kompetensi yang fundamental. Baik itu secara intelektual maupun emosional, bahkan secara spiritual. Dimana diharapkan akhirnya mampu menghasilkan manusia yang bermutu dan berguna untuk kemajuan bangsa dan negara dalam hidup bermasyarakat dan mencapai tujuan akhir dari kehidupan, yakni menjadi penghuni syurga di yaumil akhir kelak.

Ketika Ujian Nasional (UN) mulai dilaksanakan, terjadi perubahan paradigma baik bagi guru, sekolah, maupun siswa terhadap pendidikan. Sekolah berlomba-lomba untuk bisa mengejar target kelulusan siswa, karena ketika di sekolah tersebut banyak siswa yang tidak lulus, secara tidak langsung itu akan merusak reputasi sekolah dan akhirnya akan ditinggalkan. Tentu hal ini sangatlah tidak diharapkan baik itu oleh sekolah maupun guru.

Saya masih bisa membayangkan ekspresi wajah para kepala sekolah, guru, siswa, bahkan orangtua siswa, ketika Ujian Nasional mulai diterapkan dan dijadikan sebagai satu-satunya alat penentu kelulusan siswa. Rasa cemas, khawatir bercampur antara suka dan duka diantara siswa ketika sudah mengerjakan UN di hari terakhir. Rasa sukanya karena mereka sudah tidak perlu lagi belajar tiap malam untuk bisa mengerjakan soal, sudah tidak ada lagi beban di pundak mereka dan mereka sudah tidak berdaya lagi. Pasrah namun tetap tidak menyerah dan berharap harap cemas ketika menunggu hasil kelulusan.

Banyak cara yang dilakukan oleh sekolah dan siswa untuk mensiasati agar bisa lulus UN. Kesibukan yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam persiapan menghadapi UN ini dengan menambah jam pelajaran diluar jam sekolah (bimbel), bahkan bagi siswa yang tergolong dari keluarga yang beruntung, mereka mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah, bahkan ada juga yang mengikuti les privat.

Karena mengejar target lulus UN ini mereka lupa nilai inti dari pendidikan itu sendiri. Ketika yang di ujikan itu hanya beberapa mata pelajaran saja, dan itupun cenderung pada ranah kognitif dan afektif saja. Padahal tujuan pendidikan itu sendiri adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bisakah kita menilai kadar iman dan taqwa seseorang melalui UN? Apakah akhlak mulia, sehat, kreatif dan mandiri diukur dengan mengerjakan soal multiple choice? Ijinkanlah saya untuk mengutip ungkapan dari Fredrick. J. Kelly. Pencipta ujian terstandar dengan multiple choice,”These tests are too crude to be used and should be abandoned” Sebuah model ujian yang terlalu sederhana untuk digunakan dan sebaiknya ditinggalkan”.

Selain itu, evaluasi pendidikan semestinya dilakukan secara komprehensif.  Seseorang tidak bisa dikatakan cerdas jika hanya memiliki kecerdasan intelektual. Kecerdasan spiritual dan emosionalnya juga penting dinilai. Dalam konteks ini, evaluasi pendidikan harus menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara bersamaan. Melalui UN, hal itu sangatlah sulit untuk  dilakukan. Apalagi padaUN ini hanya dilakukan untuk sebagian mata pelajaran saja.

Apabila ditinjau dari Aspek intelegensi jamak, maka intelgensi yang dimiliki oleh manusia itu bermacam-macam, bahkan Howard Gadrner menyatakan bahwa setiap orang memiliki kurang lebih 7-8 kecerdasan, hanya saja setiap orang akan berbeda mengenai kekuatan/kelebihannya, ada yang kuat di satu atau beberapa cabang intelegensi tapi tidak mungkin pandai disemua jenis intelegensi.

Boleh jadi seorang anak lemah dalam hal mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Matematika, tetapi mungkin saja dia sangat pandai dalam bidang olahraga seperti sepak bola, bulu tangkis dan olahraga lainnya, atau bisa juga sangat menguasai bidang kesenian yang nantinya bisa membantu kehidupan mereka kelak. Lalu mengapa pemerintah harus memaksakan keempat mata pelajaran tersebut yang dijadikan patokan untuk kelulusan dan mengabaikan bakat alamiah yang dimilkinya.

Karena itu, sangatlah beralasan bila banyak pihak yang menuntut agar pemerintah menghapus UN, sebagai gantinya, evaluasi pendidikan bisa dikembalika ke sekolah. Guru yang mendidik siswa setiap hari tentu lebih mengetahui kondisi anak yang sebenarnya. Baik dari segi intelektual, emosional maupun spiritual.

Ada beberapa  alasan yang sebagian saya ambil dari beberapa sumber,mengapa UN harus dihapuskan di negeri kita tercinta ini:

  • Terjadi ketidakadilan dalam dunia pendidikan Indonesia karena tiap sekolah memiliki standar mutu yang berbeda- beda sehingga evaluasi yang diberikan seharusnya menyesuaikan. Kualitas guru masih terjadi kesenjangan antara guru di kota dan di pedesaan, apalagi di daerah terpencil. Begitupun dengan kualitas sarana dan prasarana yang dimilki oleh sekolah yang bisa menunjang dalam kualitas proses pembelajaran.
  • Sekolah dan siswa hanya fokus pada mata pelajaran yang diujiankan saja dan mengesampingkan mata pelajaran yang lainnya serta bakat yang dimilki oleh siswa.
  • Guru hanya sia-sia mengajar, karena keputusan kelulusan menjadi wewenang pemerintah.
  • UN bukan membentuk watak kerja keras, namun malah membentuk watak- watak pembohong dan licik karena UN sifatnya “memaksa” harus lulus maka tak jarang yang berbuat curang. Baik itu dilakukan oleh siswa, oknum guru, maupun kepala sekolah, dan tidak mungkin bisa menciptakan mafia dalam dunia pendidikan
  • Hanya menilai siswa dari nilai- nilai kognitif yang tertulis dengan angka di hasil lembar jawaban, sementara nilai dari sikap dan perilaku untuk membentuk siswa yang berbudi pekerti serta berkarakter bangsa justru dikesampingkan.
  1. Ujian Nasional mendorong sekolah untuk menyusun kegiatan belajar mengajarnya menjadi sekedar untuk dapat lulus UN dan bukan untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Akibatnya apa yang tidak diujikan akan ditinggalkan dan dinomor duakan. Pengajaran bahasa (Indonesia ataupun Inggris) tidak lagi dirancang agar siswa menguasai ketrampilan dalam berbicara, mendengar, membaca dan menulis, tapi diarahkan agar siswa dapat menjawa soal-soal dalam UN yang sama sekali tiak ada hubungannya dengan kebutuhan penguasaan bahasa itu sendiri. Pendidikan telah direduksi menjadi sekedar bimbingan tes agar dapat lulus UN. Yang terjadi adalah ‘test-coaching’ dan bukan ‘learning’.
  • UN yang digembar gemborkan bukan meningkatkan semangat belajar malah membuat siswa merasa diteror yang menyebabkan penurunan semangat belajar karena diberbagai media dan pemberitaan nampak sekali UN sebagai momok pelajar sehingga banyak tempat les yang penuh di waktu mendekati UN tiba.
  • Biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dalam proses UN itu sendiri bisa dikatakan merupakan suatu pemborosan mulai dari biaya pembuatan naskah soal, pencetakan sampai dengan distribusi soal yang memakan biaya cukup tinggi.
  • Dengan adanya UN, menambah beban biaya orangtua dalam menyekolahkan anaknya. Tidak jarang untuk bisa mendongkrak kemampuan siswa agar bisa mengerjakan soal UN dengan baik, pihak sekolah memungut biaya tambahan untuk bimbel ataupun sekedar Try Out yang nominalnya lumayan cukup tinggi untuk kalangan orangtua yang tergolong kurang beruntung dalam hal ekonomi. Karena hal ini tidak sedikit sekolah yang menahan ijazah ketika siswa sudah dinyatakan lulus tapi belum bisa membayar biaya tersebut.
  • Yang paling saya rasakan sebagai seorang guru  IPA adalah terbatasnya ruang untuk berkreasi dalam proses pembelajaran, yang tadinya ingin lebih banyak menekankan pada proses pembelajaran yang menyenangkan dan lebih bermakna melalui kegiatan pembelajaran melalui aktifitas pembelajaran diluar kelas  atau memperbaanyak kegiatan praktek, tetapi disisi lain harus mengejar materi yang mana siswa dituntut untuk mengerjakan soal-soal hafalan dan hitungan serta minimnya soal yang berbasis praktikum dalam soal UN, sehingga seolah kegiatan pembelajaran tersebut tidak ada manfaatnya.

Syukurlah sekarang ini ujian nasional sudah tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Pihak sekolah memiliki porsi yang lebih besar dalam menentukan kelulusan siswanya, dan konon katanya sekarang ini UN sekedar untuk pemetaan saja. Tapi apapun alasannya UN ini tetap saja menjadi makhluk yang menakutkan bagi siswa dan sekolah. Bagaimana tidak hasil UN ini masih dijadikan standar untuk bisa lolos ke jenjang pendidikan yang berikutnya, termasuk untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri. Hal ini tidak menutup kemungkinan masih terjadinya kecurangan, baik itu dilakukan oleh siswa maupun oleh pihak sekolah

Lantas apakah bisa UN ini dihentikan? Seharusnya bisa, bahkan dibeberapa negara maju yang kualitas pendidikannya lebih baik dari negeri ini sudah tidak lagi menerapkan evaluasi pembelajaran sejenis UN. Penghentian UN ini bisa saja terjadi seandainya ada political will dari pemerintah selaku penentu kebijakan. Seperti halnya pasca pergantian Mendikbud dari Anies Baswedan kepada Muhajir beberapa waktu lalu, Mendikbud baru ini mewacanakan akan melakukan moratorium UN, namun sepertinya beliau hanya sendirian, sehingga hal inipun gagal dilakukan.

Sebagai gantinya, menurut saya, untuk memenuhi akuntabilitas sekolah dalam proses pembelajaran kepada orangtua siswa, bisa dilakukan dengan uji kompetensi/kecakapan siswa yang dihadiri oleh orangtua, sehingga orangtua bisa mengetahui kemampuan anaknya setelah menempa ilmu di sekolah. Dengan demikian, hasil ini akan lebih objektif. Tidak ada lagi kecurangan, baik itu yang dilakukan oleh siswa maupun oknum guru/sekolah. Dengan demikian ini akan lebih memotivasi guru dan siswa itu sendiri agar lebih serius lagi pada saat melakukan proses kegiatan belajar mengajar. Agar evaluasi bisa berjalan, selain itu pemerintah bisa juga dengan memaksimalkan fungsi para pengawas sekolah. Dengan demikian pihak sekolah juga tidak akan sembarangan dalam meluluskan siswanya.

Terakhir, jangan salahkan guru apabila proses pembelajaran yang dilakukan selama ini dirasa kurang bermakna dan menyenangkan bagi siswa, karena ada sebuah sistem yang membelenggu guru untuk bisa lebih kreatif, karena harus fokus pada UN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun