Mohon tunggu...
Sulistiyo Kadam
Sulistiyo Kadam Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati ekonomi, interaksi manusia, dan kebijakan publik

Kumpulan Kata dan Rasa

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jakarta Lebih Maju, Ho Chi Minh Lebih Fun

30 Desember 2018   14:28 Diperbarui: 31 Desember 2018   10:35 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung tua dan baru, semua bersolek

Secara umum ekonomi Indonesia memang lebih maju dibanding Vietnam, setidaknya kalau dilihat dari PDB per kapita. Namun tidak berarti Vietnam kalah menyenangkan. Bahkan saya menemukan, meskipun Jakarta lebih modern, tapi Ho Chi Minh atau Saigon jauh lebih fun. 

Jakarta memang lebih glamorous, setidaknya jika kita membandingkan kawasan bisnis Sudirman, Thamrin, dan Kuningan dengan kawasan bisnis di Saigon seperti Distric 1. Apalagi dengan trotoar mewah yang selesai dibangun di sepanjang kawasan ini. KRL dan busway adalah fasilitas lain yang membuat Jakarta lebih unggul. MRT juga menambah nilai plus Jakarta, meskipun dalam 2 tahun lagi Saigon juga akan mengoperasikan jaringan metro serupa.  

Bicara soal wisata, akses adalah salah satu aspek penting disamping atraksi dan amenitas. Bagi saya, atraksi utama sebuah kota bukanlah kawasan bisnis atau mall, tapi ruang publik bernuansa outdoor dengan citarasa lokal. Dan Saigon mengungguli Jakarta karena hal ini selain beberapa aspek lainnya. 

Gedung tua dan baru, semua bersolek
Gedung tua dan baru, semua bersolek
Pertama, Saigon menawarkan atraksi wisata kota yang lebih hidup, menarik, dan tertata yang dapat diakses dengan berjalan kaki secara nyaman. Bebeberapa spot seperti Nguyen Hue Street atau Times Square-nya Saigon, Benh Tanh Market, Bui Vien dan sekitarnya memberikan kejutan-kejutan kecil. 

Jalanan dan taman yang penuh dengan lampu-lampu dekorasi, cafe-cafe unik yang menawarkan kopi ala Vietnam yang khas, restauran dan street food yang menjajakan sajian penggugah selera, juga deretan bar dan pub yang dipenuhi turis dari berbagai belahan dunia. Semua memberi sensasi khas Vietnam namun terasa kosmopolitan pada saat yang sama. Dan yang terpenting: semua dapat dijangkau dengan jalan kaki. 

Saya coba mengingat, dimana di Jakarta kita bisa mendapatkan pengalaman serupa. Dari laman Tripadvisor, salah satu "things to do" di Jakarta adalah Mall Grand Indonesia. Olala, sebagus apapun itu, bagi saya ngemall adalah opsi terakhir saat travelling ke luar negeri. Pendapat para shopping traveller yang suka ke Hong Kong atau Singapura bisa jadi berbeda.

Mendadak saya teringat Sabang yang sebetulnya tatanannya mirip dengan sudut-sudut Saigon. Public spot dengan trotoar, cafe-cafe dan restauran tanpa pagar, dan juga street food. Bedanya, cafe-cafe di Sabang bagaimanapun unik dan bagus tidak akan pernah terlihat menarik karena tertutup oleh kaki lima yang menggelontorkan limbah dan meninggalkan bau apek sampai keesokan harinya. Belum trotoar yang dipenuhi motor dan mobil yang membuat pejalan kaki seperti paria.   

Kedua, Saigon menawarkan atraksi luar kota yang mudah dipesan dan dijangkau. Dari wisata terowongan Cu Chi sampai tour Delta Mekong yang 2,5 jam jauhnya. Bagi saya, tidak ada yang begitu spesial dari atraksi-atraksi itu. Faktor sejarah mungkin menarik orang untuk melihat terowongan Cu Chi. Sementara, tour Mekong Delta juga tidak lebih wow dari wisata Sungai Musi di Palembang. Bedanya semua dapat dipesan dengan mudah. 

Saya teringat pernah mencoba one day tour ke salah satu tempat di Kepulauan Seribu. Bisa jadi saya belum tahu triknya, tapi saat menelpon untuk menanyakan tiket kapal, jawaban yang saya dapat adalah,"Datang saja nanti temui Pak X. Mudah-mudahan dapat tiketnya". Saya yang bicara dalam Bahasa Indonesia dan tinggal di Jakarta hanya bisa bengong. Bagi orang luar, mungkin yang terpikir adalah,"Ah pasti banyak jebakannya". 

Tur Delta Mekong, tak jauh beda dari Sungai Musi
Tur Delta Mekong, tak jauh beda dari Sungai Musi
Ketiga, Saigon siap dan terbuka untuk melayani pengunjung dengan latar belakang budaya dan value yang berbeda. Untuk moslem traveller, restauran halal tersedia di berbagai sudut kota. Jalan Nguyen Anh Ninh dipenuhi dengan restauran Halal terutama Malaysia dan toko busana Muslim. Restauran Turki dan India juga banyak bertebaran dengan keterangan Halal di depannya. Staf hotelpun selalu tahu dimana mendapatkan makanan halal. 

Namun disamping itu, Vietnam juga penuh dengan bar dan pub yang melayani turis-turis bule dan Asia lainnya. Semua diterima dan aman apapun budaya dan valuenya.

Bui Vien, a beautiful mess
Bui Vien, a beautiful mess
Namun bicara value, mungkin memang Saigon bukanlah benchmark yang tepat untuk Jakarta, layaknya Bangkok yang terlalu vulgar buat kita. Atau bahkan kita perlu bertanya, apa memang Jakarta butuh pariwisata karena barangkali tidak sesuai dengan value kita. Atau tetap perlu tapi formatnya berbeda. Toh pariwisata akan memberi penghidupan bagi banyak orang dan mengentaskan kemiskinan. 

At the end of the day, kota adalah refleksi diri kita. Bagi saya, Saigon lebih menarik dari Jakarta karena lebih tertata, hidup, dan terbuka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun