Nepal, sebuah negara pegunungan di Asia Selatan bagian utara ini memang bukan tujuan utama traveller Indonesia. Namun di tingkat global, negara ini termasuk salah satu top destination pelancong dunia terutama bagi mereka yang tertarik pada alam pegunungan, trekking, dan hiking. Tak dapat disangkal, Pegunungan Himalaya dengan nama besar Mount Everest dan Annapurna adalah daya tarik wisata Nepal.
Tentu saja tidak semua pengunjung pergi ke Puncak Everest atau Annapurna Circuit yang memerlukan nyali, tekad, persiapan dan logistik yang memadai. Sebagian traveller memilih destinasi dengan tingkat petualangan yang lebih moderat. Bagi traveller kategori ini termasuk saya, one day hiking dan jelajah kota ke berbagai situs kuno warisan dunia adalah pilihan yang tepat. Dan Kathmandu memberikan pilihan wisata budaya yang untuk beberapa hal penuh kejutan yang perlu dicerna.
Sebagai gerbang menuju Himalaya dan Nepal pada umumnya, Kathmandu merupakan salah satu dari 25 top destination menurut situs perjalanan Tripadvisor, meskipun belum dapat mengalahkan Bali yang dinobatkan sebagai juaranya. Sebagian besar kedatangan ke Nepal akan melalui Bandara Tribuvhan International Airport (TIA), sebuah bandara di Kathmandu yang terkesan kuno, tidak terlalu terawat, dan berdebu.
Banyaknya debu ini semakin parah di jalanan kota karena banyaknya pekerjaan perbaikan jalan ataupun pembenahan saluran air yang meninggalkan onggokan tanah kering yang menjadi sumber debu. Begitu berdebu hingga banyak sekali warga lokal dan traveller harus memakai masker. Kondisi ini mengingatkan saya pada jalanan di daerah lintas timur Sumatera Selatan seperti Sungalilin pada era 2000an awal. Bedanya kalau Sungalilin pada 2000an masih berupa kota baru yang sedang dibangun, sementara Kathmandu adalah kota tua berusia ratusan tahun.
Seperti halnya Khao San Road untuk Bangkok atau Legian dan Kuta untuk Bali, Katmandu juga memiliki Thamel yang merupakan sentra tujuan para traveller menginap dan berkumpul. Cukup dapat dimengerti kenapa traveller menyukai tempat ini. Hingar bingar saya rasa adalah kata yang tepat untuk menggambarkan Thamel.
Pasar, kuil, toko, pengendara motor, sepeda, taxi, semua berpadu menyebar dibelah jalanan kecil yang biasa kita sebut gang atau marg di Nepal. Money changer, hotel, restoran, bar, juga toko souvenir tak ketinggalan menambah kemeriahan lorong-lorong di Thamel. Untuk traveller dari Barat yang biasa hidup rapi dan teratur, saya rasa Thamel memberikan sensasi dan kejutan budaya yang unik, meskipun mereka terlihat menikmati suasana hingar bingar ini. Bagi saya, Thamel lebih hingar bingar dibanding kota manapun di Indonesia yang pernah saya jumpai.
Entah kenapa saya teringat dengan Pasar 16 Ilir di Palembang yang juga penuh orang baik di jalanan utama maupun lorong-lorong pasar. Bedanya, Thamel dipenuhi bangunan-bangunan dengan arsitektur tua dan kuil-kuil di pojok jalan atau bahkan di tengah-tengah perempatan jalan. Namun saya rasa, suatu saat nanti ketika Nepal sudah maju dan makmur, lorong-lorong di Thamel akan menjadi daya tarik kota layaknya Center Place, gang kecil artistik di Melbourne yang merupakan salah satu favorit saya.
Jawaban Hindu atau Budha adalah jawaban normal yang juga akan kita temui di Indonesia tentu saja dengan jawaban yanng lebih umum adalah Islam atau Kristen. Jawaban “apa saja” dari seorang staf hotel menurut saya mengundang pertanyaan lebih jauh. Dan penjelasan selanjutnya yang saya dapat adalah “…agama hanyalah tuntunan untuk menjadi lebih baik jadi manapun sisi baiknya saya terima….”. Salah satu kejutan budaya yang jarang saya dapatkan di Indonesia.
Bicara tentang perbedaan, Nepal tidak hanya multi agama tetapi juga multi etnis. Di Kathmandu saya menemui beragam wajah dengan tipe yang berbeda-beda. Mulai dari wajah bertipe India yang paling banyak saya temui, tipe Tibet yang akan semakin banyak ditemui di pegunungan, dan tipe-tipe campuran yang mirip dengan orang Asia tenggara. Dari literatur, orang-orang “Khas” yang merupakan campuran India, Iran, dan Asia Tengah adalah populasi terbanyak. Khas sendiri dibedakan menjadi Khas Brahmin, Khas Chetri, Khas Khsetriya, dan beberapa Khas lain. Tak jarang dijumpai orang-orang berkulit gelap dengan mata indah berwarna coklat terang dari golongan ini.
Kelompok lain yang juga banyak adalah Janajatis yang berciri Sino-Tibet, kulit lebih terang dan mata sipit. Orang-orang ini menggunakan nama Thamang dan juga Sherpa yang sangat mashyur sebagai porter pertama penakluk Everest. Ada juga suku Rhais dan Limbu yang lebih mirip China Han. Kelompok Janajatis lainnnya adalah orang-orang bernama Gurung dan Magar yang lebih mirip orang-orang Asia Tenggara. Kemiripan Gurung dan Magar dengan orang-orang Asia Tenggara inilah yang membuat saya dikira orang Nepal.
Oleh resepsionis penginapan di Kathmandu saya disapa dengan Bahasa Nepal, begitu juga saat berjalan di Pokhara, orang mendekat dan menanyakan sesuatu dalam bahasa Nepal. Begitu juga saat di restoran, para pelayan akan ragu menanyakan pesanan dengan bahasa Nepal bercampur bahasa Inggris karena kuatir salah mengenali asal saya. Tentu saja orang-orang yang lama bergelut dengan industri wisata akan lebih cepat membedakan Tamang dan Gurung dengan orang-orang dari Asia Tenggara baik Thailand, Filipina, Malaysia, maupun Indonesia yang menurut mereka sama saja.
Selain wajah-wajah yang banyak mirip dengan keturunan India dan China, tak jarang di jalanan Kathmandu akan ditemui orang-orang dengan wajah yang lebih mirip orang Asia Dekat seperti Iran atau Turki yang nampak seperti orang-orang Eropa. Keberagaman dan kerukunan ini membuat Nepal terasa menakjubkan di tengah hingar bingar kota yang mengejutkan dan pandangan ideologi orang-orangnya yang unik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H