Mohon tunggu...
Sulistiyo Kadam
Sulistiyo Kadam Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati ekonomi, interaksi manusia, dan kebijakan publik

Kumpulan Kata dan Rasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kathmandu, Gerbang Nepal dengan Beragam Wajah dan Budaya

4 Juni 2017   17:05 Diperbarui: 4 Juni 2017   17:17 5597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bandara Tribuvhan International Airport (TIA), Kathmandu

Nepal, sebuah negara pegunungan di Asia Selatan bagian utara ini memang bukan tujuan utama traveller Indonesia. Namun di tingkat global, negara ini termasuk salah satu top destination pelancong dunia terutama bagi mereka yang tertarik pada alam pegunungan, trekking, dan hiking. Tak dapat disangkal, Pegunungan Himalaya dengan nama besar Mount Everest dan Annapurna adalah daya tarik wisata Nepal. 

Tentu saja tidak semua pengunjung pergi ke Puncak Everest atau Annapurna Circuit yang memerlukan nyali, tekad, persiapan dan logistik yang memadai. Sebagian traveller memilih destinasi dengan tingkat petualangan yang lebih moderat. Bagi traveller kategori ini termasuk saya, one day hiking dan jelajah kota ke berbagai situs kuno warisan dunia adalah pilihan yang tepat. Dan Kathmandu memberikan pilihan wisata budaya yang untuk beberapa hal penuh kejutan yang perlu dicerna.

Sebagai gerbang menuju Himalaya dan Nepal pada umumnya, Kathmandu merupakan salah satu dari 25 top destination menurut situs perjalanan Tripadvisor, meskipun belum dapat mengalahkan Bali yang dinobatkan sebagai juaranya. Sebagian besar kedatangan ke Nepal akan melalui Bandara Tribuvhan International Airport (TIA), sebuah bandara di Kathmandu yang terkesan kuno, tidak terlalu terawat, dan berdebu. 

Banyaknya debu ini semakin parah di jalanan kota karena banyaknya pekerjaan perbaikan jalan ataupun pembenahan saluran air yang meninggalkan onggokan tanah kering yang menjadi sumber debu. Begitu berdebu hingga banyak sekali warga lokal dan traveller harus memakai masker. Kondisi  ini mengingatkan saya pada jalanan di daerah lintas timur Sumatera Selatan seperti Sungalilin pada era 2000an awal. Bedanya kalau Sungalilin pada 2000an masih berupa kota baru yang sedang dibangun, sementara Kathmandu adalah kota tua berusia ratusan tahun.

Seperti halnya Khao San Road untuk Bangkok atau Legian dan Kuta untuk Bali, Katmandu juga memiliki Thamel yang merupakan sentra tujuan para traveller menginap dan berkumpul. Cukup dapat dimengerti kenapa traveller menyukai tempat ini. Hingar bingar saya rasa adalah kata yang tepat untuk menggambarkan Thamel. 

Pasar, kuil, toko, pengendara motor, sepeda, taxi, semua berpadu menyebar dibelah jalanan kecil yang biasa kita sebut gang atau marg di Nepal. Money changer, hotel, restoran, bar, juga toko souvenir tak ketinggalan menambah kemeriahan lorong-lorong di Thamel. Untuk traveller dari Barat yang biasa hidup rapi dan teratur, saya rasa Thamel memberikan sensasi dan kejutan budaya yang unik, meskipun mereka terlihat menikmati suasana hingar bingar ini. Bagi saya, Thamel lebih hingar bingar dibanding kota manapun di Indonesia yang pernah saya jumpai. 

Entah kenapa saya teringat dengan Pasar 16 Ilir di Palembang yang juga penuh orang baik di jalanan utama maupun lorong-lorong pasar. Bedanya, Thamel dipenuhi bangunan-bangunan dengan arsitektur tua dan kuil-kuil di pojok jalan atau bahkan di tengah-tengah perempatan jalan. Namun saya rasa, suatu saat nanti ketika Nepal sudah maju dan makmur, lorong-lorong di Thamel akan menjadi daya tarik kota layaknya Center Place, gang kecil artistik di Melbourne yang merupakan salah satu favorit saya.

Hingar Bingar Lorong di Thamel, Kathmandu
Hingar Bingar Lorong di Thamel, Kathmandu
Salah satu arsitektur unik tidak jauh dari Thamel adalah Kathmandu Durbar Square yang merupakan salah satu Situs Warisan Dunia Unesco, bersama dengan Pasupatinath, Swayambunath, dan Boudhanath yang juga ada di Kathmandu. Sedikit di luar kota Kathmandu masih ada warisan dunia Patan Durbar Square dan juga Bakhtapur Durbar Square. Beberapa bangunan seperti Kathmandu Durbar Square, Bakhtapur Durbar Square, Patan Durbar Square, serta Pasupatinath merupakan peninggalan Hindu sementara Swayambunath dan Boudhanath merupakan peninggalan agama Budha.

Kathmandu Durbar Square
Kathmandu Durbar Square
Keberagaman agama ini sampai sekarang masih berpadu di Nepal, tidak hanya berdampingan tetapi acapkali bercampur. Beberapa kali saya bertanya kepada orang Nepal yang saya temui tentang agama apa yang mereka anut. Dari 5 orang yang saya tanya, 1 orang menjawab “Hindu”, 1 orang menjawab “Budha”, 1 orang menjawab “apa saja”, 1 orang menjawab “Hindu tapi juga Budha”, sebaliknya 1 orang menjawab “Budha tetapi kadangkala Hindu”. 

Jawaban Hindu atau Budha adalah jawaban normal yang juga akan kita temui di Indonesia tentu saja dengan jawaban yanng lebih umum adalah Islam atau Kristen. Jawaban “apa saja” dari seorang staf hotel menurut saya mengundang pertanyaan lebih jauh. Dan penjelasan selanjutnya yang saya dapat adalah “…agama hanyalah tuntunan untuk menjadi lebih baik jadi manapun sisi baiknya saya terima….”. Salah satu kejutan budaya yang jarang saya dapatkan di Indonesia.

Bhaktapur Durbar Square
Bhaktapur Durbar Square
Jawaban “Hindu tapi juga Budha” saya dapatkan dari seorang pemandu wisata muda di Kuil Swayambunath atau monkey temple tempat sebuah stupa Budha dan kuil Hindu berdiri berseberangan. Sebagai seorang Brahmin, dia berdoa menyembah Syiwa, Wisnu, Durga dan dewa dewi Hindu lainnya. Pada saat lain dia juga melakukan meditasi dan sembahyang di kuil Budha. Sementara, jawaban “Budha tetapi kadangkala Hindhu” saya peroleh dari seorang driver taxi. Sebagai keturunan ras Mongoloid, keluarganya beragama Budha tetapi kadangkala mereka juga pergi ke kuil Hindu untuk berdoa pada para dewa dewi Hindu.

Pasupatinath Temple
Pasupatinath Temple
Saya tidak bisa menyatakan beginilah perilaku orang Nepal karena tentu saja hal ini belum memenuhi kaidah sampel secara statistik. Satu hal yang saya pelajari, sepertinya agama bukanlah sebuah pembeda yang menceraiberaikan bagi orang-orang ini. Mereka hidup berdampingan secara damai tanpa konflik, membaur membentuk wajah Nepal yang multi agama.

Bicara tentang perbedaan, Nepal tidak hanya multi agama tetapi juga multi etnis. Di Kathmandu saya menemui beragam wajah dengan tipe yang berbeda-beda. Mulai dari wajah bertipe India yang paling banyak saya temui, tipe Tibet yang akan semakin banyak ditemui di pegunungan, dan tipe-tipe campuran yang mirip dengan orang Asia tenggara. Dari literatur, orang-orang “Khas” yang merupakan campuran India, Iran, dan Asia Tengah adalah populasi terbanyak. Khas sendiri dibedakan menjadi Khas Brahmin, Khas Chetri, Khas Khsetriya, dan beberapa Khas lain. Tak jarang dijumpai orang-orang berkulit gelap dengan mata indah berwarna coklat terang dari golongan ini.

Kelompok lain yang juga banyak adalah Janajatis yang berciri Sino-Tibet, kulit lebih terang dan mata sipit. Orang-orang ini menggunakan nama Thamang dan juga Sherpa yang sangat mashyur sebagai porter pertama penakluk Everest. Ada juga suku Rhais dan Limbu yang lebih mirip China Han. Kelompok Janajatis lainnnya adalah orang-orang bernama Gurung dan Magar yang lebih mirip orang-orang Asia Tenggara. Kemiripan Gurung dan Magar dengan orang-orang Asia Tenggara inilah yang membuat saya dikira orang Nepal. 

Oleh resepsionis penginapan di Kathmandu saya disapa dengan Bahasa Nepal, begitu juga saat berjalan di Pokhara, orang mendekat dan menanyakan sesuatu dalam bahasa Nepal.  Begitu juga saat di restoran, para pelayan akan ragu menanyakan pesanan dengan bahasa Nepal bercampur bahasa Inggris karena kuatir salah mengenali asal saya. Tentu saja orang-orang yang lama bergelut dengan industri wisata akan lebih cepat membedakan Tamang dan Gurung dengan orang-orang dari Asia Tenggara baik Thailand, Filipina, Malaysia, maupun Indonesia yang menurut mereka sama saja.

Selain wajah-wajah yang banyak mirip dengan keturunan India dan China, tak jarang di jalanan Kathmandu akan ditemui orang-orang dengan wajah yang lebih mirip orang Asia Dekat seperti Iran atau Turki yang nampak seperti orang-orang Eropa. Keberagaman dan kerukunan ini membuat Nepal terasa menakjubkan di tengah hingar bingar kota yang mengejutkan dan pandangan ideologi orang-orangnya yang unik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun