Innovate or die, demikian ungkapan yang sering didengungkan untuk menggambarkan pentingnya inovasi jika ingin bertahan dan berkembang. Tumbangnya perusahaan-perusahaan teknologi informasi (TI) di era 90-an seringkali dikaitkan dengan kemampuan inovasi masing-masing perusahaan. Di tataran yang lebih makro,ungkapan ini juga sering dikaitkan dengan kemampuan bertahan sebuah kota atau negara. Pada akhir 90an, Majalah Economist mengangkat judul yang sama untukmenggambarkan transformasi yang berhasil dilakukan oleh London untuk menjadi pusat keuangan dunia, mengulang kejayaan seabad sebelumnya yang berangsur memudar.
Pasca tahun 2000an, rasanya ungkapan ini semakin relevan dengan tumbuhnya inovasi-inovasi mutakhir yang menciptakan produk, delivery,dan pasar baru memanfaatkan penggunaan TI yang berkembang pesat. Seringkali,inovasi ini menumbangkan pemain dengan sistem lama yang tidak lagi kompetitif hingga istilah disruptif disematkan pada perkembangan mutakhir ini.
Di bidang media, kita menyaksikan tumbuhnya portal dalam jaringan (daring) yang menggoyang media luar jaringan dan industri percetakan. Di pasar gawai,kejayaan dan kemunduran Nokia, Blackberry, Samsung dan Iphone yang begitu cepat silih berganti juga menjelaskan dampak goyangan inovasi baru pada pemain lama. Melihat fakta dan tren ini, tidak mustahil jika nantinya kehadiran layanan keuangan berbasis teknologi atau dikenal dengan istilah financial technology (fintech) akan menggerogoti peran perbankan tradisional yang tidak mampu berbenah.
Penelusuran dengan Google Trend menunjukkan bahwa popularitas fintech di dunia mulai menanjak pada awal tahun 2015 dan mencapai puncak popularitas pada pertengahan 2016. Negara dengan ketertarikan tertinggi pada fintech adalah Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Swiss. Tiga negara pertama merupakan pusat-pusat keuangan dan TI di Asia, sementara Swiss merupakan pusat keuangan penting di Eropa.
Di Asia Tenggara di luar Singapura, ketertarikan masyarakat di Malaysia dan Thailand menempati urutan ke-9 dan ke-16, sementara ketertarikan masyarakat Indonesia berada pada urutan ke-20. Dari sisi waktu,tingkat popularitas fintech di Indonesia melonjak pada kuartal ketiga 2016 meskipun kemudian turun. Meskipun demikian, tren popularitas fintech terus meningkat seiring dengan semakin menjamurnya layanan uang elektronik, pinjam meminjam berbasis teknologi, ataupun layanan pemasaran produk keuangan seperti saham dan reksadana.
Perkembangan pesat fintech tidak lepas dari kemudahan dan kenyamanan platform aplikasi yang digunakan serta didukung oleh integrasi big data yang yang bersumber dari transaksi dalam jaringan (daring), preferensi kelompok masyarakat baru yang melek teknologi yang menuntut kemudahan dan kenyamanan, serta regulasi yang masih cukup longgar. Soal regulasi, Singapurapun masih menetapkan periode “jam pasir” yang memberikan kelonggaran bagi fintech untuk berkembang. Kombinasi berbagai faktor tersebut menjadi privilege yang sulit ditandingi oleh sistem perbankan tradisional. Apalagi, platform aplikasi fintech yang mudah dan nyaman membuat layanan perbankan tradisional terasa old-fashioned.
Sebagai ilustrasi, dengan aplikasi daring layanan pinjam meminjam berbasis teknologi tidak memerlukan calon investor datang ke kantor, mengantri untuk mengisi formulir berlembar-lembar yang seringkali berulang. Calon deposan atau pendana cukup mengisi formulir data secara daring yang perlu waktu tidak lebih dari setengah jam. Pengisian dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun tidak terkendala oleh waktu dan tempat, dan tentu saja bebas antrian yang menyita waktu produktif. Meskipun demikian, keabsahan data tetap dipatuhi dengan cara mewajibkan pendana atau investor untuk mengunggah scan KTP atau bukti dirilain. Kalaupun tidak tersedia scan KTP, beberapa platform aplikasi fintech telah dilengkapi dengan fitur untuk mengambil foto bukti diri melalui kamera telepon genggam atau laptop. Sangat fleksibel dan menghemat waktu.
Di saat yang sama sistem layanan perbankan tradisional masih belum beranjak dari sistem antrian yang lama serta formulir berlapis. Dengan sistem manual ini, layanan pelanggan memerlukan waktu yang lama dan biaya operasional yang lebih mahal. Peluang inovasi dan efisiensi mesti diterapkan oleh perbankan tradisional. Untuk mengurangi antrian, pengisian formulir pembukaan rekening ataupun keluhan dapat dilakukan secara daring. Sama dengan aplikasi yang digunakan fintech, kelengkapan identitas calon deposan juga dapat diunggah melalui aplikasi. Dengan pemanfaatan IT, proses manual dapat ditekan yang akan memotong antrian dan mengurangi tenaga layanan pelanggan. Pelanggan happy, bankpun happy.
Satu kekurangan berinvestasi di fintech adalah tidak adanya skema penjaminan dana sebagaimana di perbankan. Dengan kondisi ini sumber pendanaan fintech masih terbatas dari calon-calon investor yang memiliki risk appetite cukup tinggi untuk menanggung risiko gagal bayar. Hal ini menjadikan bukan pengganti sempurna bagi bank. Namun aplikasi yang sederhana dan transparan yang memungkinkan investor memantau perkembangan portfolio secara sewaktu sepertinya merupakan salah satu faktor pendorong akumulasi dana di perusahaan fintech kedepan selain ekpektasi imbal hasil yang tinggi. Transparansi yang tinggi akan mengurangi menjamurnya investasi bodong yang sering mengecoh konsumen.
Tidak hanya dalam penghimpunan dana, inovasi fintech juga mendobrak sistem dan prosedur reguler yang diterapkan perbankan dalam pemberian kredit. Dengan memanfaatkan profil calon debitur yang bersumber dari big data seperti data transaksi daring, layanan pinjam meminjam berbasis teknologi dapat memotong proses dan waktu pemberian kredit. Bunga kredit yang ditawarkan juga cukup kompetitif setidaknya jika dibandingkan dengan bunga segmen mikro yang ditawarkan perbankan tradisional.
Memang masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa platform yang diadopsi perusahaan fintech ini lebih superior dibandingkan dengan sistem perbankan tradisional. Aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian adalah mitigasi risiko untuk mencegah tingginya kredit macet. Dengan prosedur memperoleh kredit yang sangat mudah, aspek kehati-hatian berpotensi kurang dipenuhi oleh pengelola fintech, meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan bahwa perusahaan layanan fintech harus menetapkan mitigasi risiko dalam aktivitas pinjam-meminjam. Demi menjaga kualitas kredit, beberapa perusahaan pengelola pinjam meminjam berbasis teknologi tetap melakukan pemeriksaan lapangan seperti yang dilakukan perbankan tradisional. Hal ini tentu saja akan membawa konsekuensi biaya operasional yang lebih besar.