Mohon tunggu...
Sulistiyo Kadam
Sulistiyo Kadam Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati ekonomi, interaksi manusia, dan kebijakan publik

Kumpulan Kata dan Rasa

Selanjutnya

Tutup

Money

Sawit, Makanan Pokok Indonesia Masa Depan

8 Juli 2011   17:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:49 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sejenak perbincangan kami di siang hari itu terhenti. Seekor induk mentog (bebek) berjalan masuk ke ruang tamu tempat kami sedang berbincang diikuti beberapa anaknya. Segera pemilik rumah mengusir hewan peliharaan itu keluar. Suasana itu mirip sekali dengan suasana pedesaan di Jawa. Yang membedakannya adalah tanaman kelapa sawit yang tumbuh rapat mengelilingi rumah. Tanaman kebun itu menyadarkan kami bahwa saat itu sedang berada di salah satu desa transmigrasi di Kabupaten Musi Banyuasin.

“Yah sawit inilah yang membuat hidup kami mulai membaik”. Semburat kebahagiaan sejenak terpancar dari wajah Pak Juki, pemilik rumah. Sejatinya dia adalah transmigran yang berpenghidupan sebagai petani padi pasang surut di daerah pesisir timur Sumatera Selatan itu. Namun sawah seluas 2 hektar yang dimiliki nampaknya belum memberikan kesejahteraan yang diimpikan. Memang rumah yang ditinggali bukan lagi rumah kayu berdinding reot, melainkan sudah berdinding batu bata meskipun belum diplester. Lantai ruang tamu bernasib sedikit lebih baik karena telah disemen.

Di dalam rumah tidak akan ditemukan perabot meja kursi layaknya rumah-rumah lainnya. Tamu yang hadir dipersilakan duduk di tikar. Namun fajar kesejahteraan nampaknya diyakini akan segera hadir. Yah, sebagian lahan sawah dan pekarangan yang ditanami sawit itu telah membuahkan hasil yang lumayan. Walaupun masih dibilang berbuah pasir, usaha budidaya kelapa sawit tersebut telah menambah penghasilan Pak Juki sebesar Rp 750.000 per bulan.

Di atas kertas, sawah seluas 2 hektar dapat memberikan pendapatan kotor per musim tanam sebanyak Rp 18 juta. Jika dalam setahun para petani dapat menanam 2 kali maka penghasilan kotor para petani tersebut adalah Rp 36 juta per tahun atau Rp 3 juta per bulan. Secara teori memang begitu seharusnya. But reality bites. Kenyataan tidak selalu sama dengan impian. Tikus-tikus yang selalu datang, faktor musim yang tidak menentu, dan gangguan hama lainnya telah mencegah para petani tersebut untuk bermimpi lebih indah. Pendapatan per musim tanam para petani itu rata-rata hanya Rp 5 juta per musim tanam. Bahkan seringkali panen yang didapatkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok minimal. Padahal mereka perlu menyekolahkan anak, berpakaian layak, dan menikmati fasilitas tempat tinggal dan kesehatan yang memadai.

Saat pangan menjadi isu yang sangat krusial, para petani penghasil pangan termarjinalkan. Salahkah mereka jika lebih memilih bertanam kelapa sawit daripada padi? Andaikan sawah yang ditanami padi dapat memberikan hasil yang layak, apakah mereka akan berpaling menanam sawit? Tentu tidak. Bisa dipastikan mereka akan tetap menanam padi yang merupakan pekerjaan yang diwariskan dari generasi ke generasi itu.

“Kami tetap menanami sawah yang beririgasi baik dengan padi. Lahan yang ditanami kelapa sawit pada umumnya adalah luapan tipe C atau D yang memang tidak cocok ditanami padi”. Wilayah persawahan pasang surut sangat bergantung pada seberapa jauh lokasinya dari sungai yang menentukan ketersediaan air. Lahan tipe D adalah jenis tanah darat atau tegalan. Dan untuk menjadikan lahan tipe C dan D ini sebagai sawah padi tentu saja dibutuhkan infrastruktur yang sangat memadai.

Sayangnya infrastruktur masih merupakan sebuah kemewahan di desa itu. Bahkan untuk mencapai kampung tersebut bukanlah hal yang mudah. Dari Palembang diperlukan waktu perjalanan 4 jam dengan mobil ke Sungaililin, sebuah Kecamatan di Kab. Musi Banyuasin. Dari sana perjalanan dilanjutkan dengan speedboat selama kurang lebih 30-45 menit. Cukup jauh. Masih untung, begitu turun dari speedboat, tersedia ojek untuk meneruskan perjalanan ke kampung yang dituju. Tapi naas, jalan yang dilalui bukanlah jalan bercor beton atau beraspal melainkan jalan tanah. Dan tentu saja jika hujan mengguyur, jalan itu akan berubah menjadi medan penuh lumpur.

Seandainya saja anggaran pembangunan dapat dimanfaatkan maksimal dan tidak bocor kemana-mana, tentu desa itu telah memiliki akses jalan yang baik dan saluran irigasi yang menjangkau setiap areal persawahan. Dan andai saja ada sedikit keberpihakan pada petani tanaman pangan, tentu mereka akan setia berbudidaya padi, makanan pokok Indonesia. Atau memang kita harus bersiap-siap untuk mengganti nasi dengan sawit suatu hari nanti. Mungkin saja..  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun