Mohon tunggu...
Ramanda Bima Prayuda
Ramanda Bima Prayuda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang

Mulailah darimana kamu berada, gunakan apa yang kamu punya, dan lakukan apa yang kamu bisa.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilkada Lampung di Persimpangan, Pilih Integritas atau Uang?

16 Juli 2024   19:20 Diperbarui: 16 Juli 2024   19:28 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa bulan ke depan, Indonesia akan mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Pilkada merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi di Indonesia sebagai sarana pembentukan pemerintahan daerah di level provinsi maupun kabupaten/kota. Melalui mekanisme ini, masyarakat diberikan hak untuk memilih pemimpin yang akan mengelola daerah mereka, mulai dari gubernur, bupati, hingga wali kota.

Seiring dengan harapan besar akan terciptanya pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan rakyat, Pilkada menjadi momen penting yang dinantikan oleh banyak kalangan. Akan tetapi, di balik idealisme dan harapan tersebut, realitas Pilkada di Indonesia sering kali diwarnai oleh praktik-praktik yang merusak nilai demokrasi itu sendiri. Salah satu isu yang mengkhawatirkan yaitu politik uang.

Politik uang ini tidak hanya merusak integritas proses demokrasi, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi kandidat yang ingin berkompetisi secara sehat, bersih, dan berintegritas. Alih-alih berkompetisi secara fair, kondisi ini malah menormalisasi politik uang sebagai prasyarat utama kandidat untuk mendapatkan suara yang banyak. Politik uang merupakan pintu masuk kecurangan-kecurangan lainnya dalam Pemilu. Fenomena menjadi semacam "ladang subur" bagi mereka yang memiliki privilese dan kekuatan finansial untuk membeli suara dan mempengaruhi hasil pemilihan.

Kausa Provinsi Lampung Menjadi Ladang Suburnya

Pilkada 2024 sejatinya tidak bisa lepas dari maraknya politik uang hampir di semua daerah di Indonesia. Jika dalam Pemilu legislatif Februari lalu ditemukan praktek politik uang, bukan tidak mungkin hal serupa di Pilkada tahun ini, termasuk diantaranya Provinsi Lampung. Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Pemilu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Lampung, Tamri S, menyebutkan bahwa pelanggaran money politics di Lampung meningkat pada Pemilihan Umum (Pemilu) dua edisi terakhir.

Pernyataan tersebut memicu kekhawatiran terhadap pelaksanaan Pilkada mendatang yang tidak bisa lepas dari politik uang. Meski saat ini masih di tahap komunikasi politik terkait kandidat kepala daerah, sejatinya terdapat banyak laporan yang masuk dan sudah diproses oleh Bawaslu. Di antara laporan yang diterima, dua kabupaten di Provinsi Lampung yang masuk daftar paling rawan politik uang yaitu Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Barat.

Menurut pemetaan kerawanan politik uang versi Bawaslu, terdapat gejala modernisasi yang keliru. Di tengah berkembangnya digitalisasi keuangan, fenomena maraknya politik uang tidak lagi dilakukan dengan cara konvensional, melainkan secara elektronik melalui transfer ataupun menggunakan barcode. Dengan praktik politik uang secara langsung saja tidak mudah dilawan, apalagi dengan adanya praktik modernisasi tersebut.

Implikasi Politik Uang yang Langgeng di Lampung

Sama seperti daerah lainnya di Indonesia, Provinsi Lampung dikenal sebagai salah satu ladang subur bagi politik uang karena kondisi sosial ekonomi yang sulit, budaya patronase yang kuat, serta kelemahan dalam pengawasan serta penegakan hukum. Politik uang bahkan menjadi prasyarat seorang kandidat untuk menang dengan membagikan uang kepada calon pemilih pada kisaran 50 ribu hingga 100 ribu rupiah. Lebih parahnya, kondisi ini membuat pemilih menjual suaranya, jika tidak diberi uang maka lebih baik tidak memilih sama sekali alias golput.

Kondisi ini tidaklah menjawab permasalahan sosial, malah melanggengkan kemiskinan dan pengangguran. Oleh karena masyarakat tergiur dengan politik uang yang sifatnya sementara, para kandidat terpilih malah membiarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat tetap dalam garis kemiskinan yang langgeng. Maka tidaklah mengagetkan jika gubernur di kawasan ini pernah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedikit banyak diawali oleh praktek politik uang dalam masa kampanyenya. Hal ini tentunya menjadi tantangan untuk mengedukasi warga agar tetap kritis dan tidak mudah tergiur oleh oleh iming-iming material dari calon politisi pada Pilkada mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun