Mohon tunggu...
Kim Amaya
Kim Amaya Mohon Tunggu... -

Mahasiswi paruh waktu, pemimpi & penikmat hidup penuh waktu, pembelajar sepanjang waktu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

One Day, on His Thousand Times Journey

21 Juni 2013   04:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:40 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1371764721309417550

[caption id="attachment_269509" align="aligncenter" width="448" caption="Cr: self doc (one day, on a Raha Island Journey)"][/caption]

Pemuda itu melihat gadis itu pertama kali di kerumunan orang-orang yang berjejalan di bibir tangga menuju dek ekonomi. Ia hanya membutuhkan satu pandangan untuk memutuskan bahwa gadis itu adalah gadis yang sudah ia cari dalam ribuan perjalanannya. Ia menyukai sorot mata gadis itu, yang tajam sekaligus sendu. Ia menyukai lengkung sempurna alisnya yang hitam. Ia menyukai cara gadis itu menatapnya. Ketakutan sekaligus berani. Penuh tanya dan tampak misterius pada saat yang sama.

Saat gadis itu menaiki tangga dan tampak sedikit kehilangan keseimbangan, ia tidak menunggu hingga gadis itu mengulurkan tangannya. Dialah yang terlebih dulu menangkap pergelangan tangan mungil itu, menuntunnya hingga tiba di pintu, dan tak ingin melepasnya bahkan ketika gadis itu telah memasuki deknya. Dan untuk pertama kalinya, ia mengucapkan kalimat bernada lembut dalam hidupnya, "hati-hati!"

Sepanjang perjalanan, yang dilakukan pemuda itu adalah berdiri di sisi gadis itu dan mencuri sebanyak mungkin waktu untuk menatap wajah gadis itu dalam-dalam. Meski tak sekali pun gadis itu menoleh padanya. Gadis itu membaca buku beberapa saat sebelum hanyut dalam film Mandarin yang membuat orang-orang di dek ekonomi tertawa terpingkal-pingkal. Pemuda itu menyukai cara gadis itu menikmati tontonannya. Sikap dinginnya memesona. Sesekali gadis itu tersenyum, lalu menghirup jus kotak-nya, lalu menggigit waffle-nya--dengan keanggunan yang membuatnya tercengang, lalu tertidur dengan kedua tangan terlipat di dada, dalam posisi duduk bertumpang kaki. Itu perjalanan laut tersingkat dalam hidupnya. Rasanya hanya terjadi beberapa detik.

Saat gadis itu terbangun, pemuda itu ingin mengatakan sesuatu. Tapi tak ada kalimat yang tepat untuk diucapkan. Semua yang terpikirkan olehnya terasa salah. Dan akhirnya, ia hanya menanyakan waktu yang dibalas gadis itu dengan menunjukkan layar ponselnya.

Kecuali sesuatu yang—tak bisa ia jelaskan—hidup di dalam diri gadis itu, gadis itu tidak berbeda dengan orang-orang yang selalu tampak ketakutan saat melihatnya. Kesamaan mereka adalah sorot mata mereka yang selalu berubah setelah memperhatikan bekas luka sayat memanjang yang berderet di pergelangan tangannya. Sekarang, gadis itu sudah melihatnya. Dan gadis itu tampak jauh lebih ketakutan dari sebelumnya. Tapi pemuda itu tetap menangkap pergelangan tangan gadis itu saat ia harus berjejalan di pintu keluar. Tak ada yang bisa dikatakan pemuda itu saat melihat punggung gadisnya menjauh. Sejak awal ia tahu, gadis itu seperti halnya orang-orang yang selalu ia temui dalam ribuan perjalanannya. Datang dan pergi begitu saja tanpa menyebutkan namanya. Tapi kepergian gadis itu begitu berbeda baginya. Gadis itu tidak saja meninggalkan ucapan terima kasih, tapi juga membawa pergi sesuatu di dalam dirinya. Sepotong perangkat penting ... untuk mencintai. Ia tidak yakin ia masih memiliki sisanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun