Mohon tunggu...
Kim Amaya
Kim Amaya Mohon Tunggu... -

Mahasiswi paruh waktu, pemimpi & penikmat hidup penuh waktu, pembelajar sepanjang waktu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Intangible #1

19 Juli 2013   19:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:19 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dua Tahun Kemudian, Gang Selatan

Jika setiap orang tahu kapan mereka akan menemukan cinta, sebagianbesar dari mereka akan lebih memilih untuk tidak mengetahui apapun. Karena kejutan CINTA akan jauh lebih manis dari CINTA itu sendiri

“Ayah, mobilnya mogok. Bagaimana ini?" kata itu meluncur cepat dari bibir seorang gadis keluar dari mobilnya dengan panik. Bibirnya bergetar menahan dinginnya udara malam. Kim Gyeoul mematikan ponselnya sambil terus memeluk tubuhnya erat.

“Ahh ... dingin sekali, desahnya berulang-ulang. Ia sedang terjebak dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan dan dalam keadaan tak punya pilihan. Mobilnya mogok di daerah sunyi yang sangat asing baginya. Dan udara di bawah lima belas derajat celcius bukan keputusan yang cerdas untuk mencari bengkel seorang diri. Ia hanya harus bertahan hingga menemukan kendaraan umum, jika beruntung. Ia mulai menelusuri gang sempit yang tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Daerah itu sudah benar-benar tertidur di jam 12. Sebenarnya ia tak pernah takut apapun, kecuali keadaan tak terduga yang mungkin saja sedang menunggunya di depan sana. Di kegelapan gang asing yang sunyi, di tengah malam.

***

“Hei! Mana pimpinanmu?” bentak seorang lelaki bertubuh gempal.

“Jika yang kau maksud adalah hyeong,[1] tak ada gunanya menanyakannya pada kami,” jawab Chul Yong. Ia mencoba mengingat-ingat apa ia pernah bertemu lelaki itu sebelumnya.

“Heh, dia sudah bermutasi menjadi pecundang rupanya.” Lelaki bertubuh gempal tertawa mengejek.

“Geng kami sudah bubar. Tak ada pimpinan, tak ada Namjjok Horang,”[2] jelas Chun Doong.

“Oh, kalian sudah insyaf sekarang? Atau hanya berpura-pura alim untuk menutupi kedok?” tukas pria itu sengit.

“Maaf, ahjussi.[3] Sepertinya anda sedang berbicara pada orang yang salah,” Chun Doong memberi isyarat pada Chul Yong untuk segera pergi. Namun sebuah pukulan tak terduga terlanjur mendarat di rahang mereka sebelum mereka sempat melangkah. Kedua pemuda itu sukses limbung ke tanah.

“Kenapa menatapku begitu, bocah ingusan? Tak terima? Ayo balas. Ini akan menyenangkan,” tantang si pria gempal. Sembilan orang pengikutnya sudah bersorak menyemangati.

Chun Doong berusaha bangkit. “Kami sudah berhenti bertarung,” katanya sambil mengusap sudut bibirnya yang sedikit berdarah.

“Kalian berbicara begitu pasti karena pimpinan kalian...,” pria gempal tak jadi melanjutkan.

“Aku yakin, seseorang baru saja menyebut-nyebut namaku,” ucap sebuah suara dari dalam kegelapan.

Saat wajah Lee Joon tampak di bawah sinar remang lampu jalan, Chul Yong terlonjak senang. Ada gairah tak biasa yang ia rasakan di bawah kulitnya. Ia hampir yakin, mala mini sesuatu yang besar akan terjadi. Chun Doong ikut bergerak mendekati Lee Joon.

"Hyeong,” bisik Chun Doong. Ia ingin menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Tapi Lee Joon mengangkat telunjuknya. Ia tak ingin mendengar apapun.

“Kenapa kalian bisa di sini? Apa aku tak pernah mengingatkan untuk tidak pernah melintasi daerah ini lagi setelah jam 10 malam?”

Mianhaeyo, hyeong.[4]. Kami hanya lewat. Cafe baru saja kami bereskan dan….”

“Oh...oh... pimpinan yang perhatian. Senang bisa bertemu anda di sini,” si pria gempal bernada mengejek. “Jadi, seperti ini kalian hidup dua tahun belakangan?”

Lee Joon menatap pria itu tenang. Tanpa ekspresi.

“Aku bukan pimpinan geng manapun sekarang. Namjjok Horang sudah lama kulempar ke tong sampah. Kalian bisa menemukannya di sana jika masih penasaran. Dan daerah ini sudah aman sejak dua tahun yang lalu. Pulanglah ke rumah dan hangatkan badan kalian. Udara sedingin ini tak sehat untuk siapa pun.” Meski berusaha tampak tenang, tapi Joon sebenarnya sedang waspada. Ia tahu siapa yang sedang ia hadapi.

“Oh...oh... pimpinan yang perhatian, benar-benar baik hati. Aku tersanjung. Sayang sekali, aku tak berminat. Setelah hari ini, daerah ini tak lagi aman.”

"Baiklah, terserah kau saja. Aku lelah. Ini sudah larut. Aku pamit duluan. Semoga tak pernah bertemu lagi.” Lee Joon mengisyaratkan pada dua pemuda yang berlindung di belakangnya untuk pergi. Namun tiba-tiba ia dikejutkan sebuah gerakan yang nyaris tak bisa ia antisipasi.

“Pengecut!” umpat pria gempal sambil melayangkan tinju saat Lee Joon sudah membelakanginya. Lee Joon membaca gerakan pria itu lewat pantulan bayangan dari jendela sebuah kedai makan kecil di hadapannya. Lee Joon berkelit dan si pria gempal terjerembab ke tanah.

“Aku sudah berhenti bertarung,” ucap Lee Joon, dingin. Ia sudah hendak melangkah saat si pria gempal menarik kakinya. Lee Joon menepis namun cengkeraman pria itu cukup kuat untuk menahan langkahnya.

“Pimpinan!” panggil salah seorang anak buah si pria gempal.

“Lepaskan saja pecundang itu. Malam sedingin ini lebih cocok untuk bermain dengan gadis cantik.”

“Apa maksudmu?” tanya seorang gadis. Lee Joon terperanjat saat mendengar suara itu. Ia tak habis pikir bagaimana seorang gadis bisa melintas di daerah serawan ini. Semua orang di daerah itu tahu, Gang Selatan di malam hari jauh lebih menakutkan dari arwah gentayangan. Pria gempal melepaskan kaki Lee Joon dan kembali ke kerumunan gengnya sambil tertawa girang.

“Ya ya ya, aku terlalu bodoh jika harus mengincar macan tapi tak tertarik pada kelinci.” Si pria gempal menghampiri gadis itu.

"Biarkan dia pergi,” seru Lee Joon. Pria gempal itu terbahak dengan seringai menyeramkan. Giginya tertimpa cahaya lampu jalan yang remang. Tampak jelas noda plak nikotin di sana.

“Oh... oh... aku lupa. Macan juga suka kelinci,”katanya.

Kesepuluh pria garang bersenjata itu tertawa, memecah malam dingin di pertengahan musim gugur.

“Baiklah, sepertinya macan sedang menantang serigala.” Pria gempal berbalik, kali ini ia mendekati Lee Joon dengan percaya diri. “Ini akan menyenangkan,” katanya. Pria gempal mengepal-ngepalan tangannya. Dengan langkah cepat, ia menguras separuh tenaganya untuk awal pertarungan.

“Tendangan yang bagus. Tapi terlalu rapuh. Ini yang ingin kau pamerkan sejak tadi?” Lee Joon menangkap kaki pria gempal lalu menghempaskannya dengan kasar. Si pria gempal meringis kesal.

“Sekali lagi kukatakan, tolong dengarkan baik-baik. Aku tak ingin bertarung dengan siapa pun. Aku bukan macan dan aku tidak melihat ada kelinci. Jika kalian suka bermain kebun binatang, lanjutkan saja. Biarkan gadis itu lewat, dan aku akan pergi.” Si pria gempal bertambah geram. Ini bukan lagi soal ambisinya untuk menumbangkan pimpinan Geng Macan Selatan yang pernah amat disegani puluhan kelompok gangster. Ini soal wibawanya di hadapan sembilan anak buahnya dan seorang gadis cantik. Ia menjentikkan jari sebagai isyarat. Lee Joon tahu apa artinya. Sembilan pria di belakangnya bergeming.

Dan tiba-tiba sebuah suara--yang lebih terdengar seperti raungan--menggaung di gang sempit itu. Pertanda bahwa siapa pun yang berada di sana tidak akan pergi tanpa menghadapi pertarungan terlebih dahulu.

“YA! IGE MWOYA???!!!”[5] teriak si gadis, ketakutan. Gadis itu bergidik melihat sepuluh pria bernaluri pembunuh menyerang satu pria bertangan kosong yang mungkin sebentar lagi akan kewalahan menghadapi serangan. Ia yakin, Lee Joon akan segera tumbang dan ia tak tahu bagaimana nasibnya sendiri puluhan menit berikutnya. Jika ia selamat, ia akan membawa pulang peristiwa ini, terekam dalam memorinya dan menjadi trauma yang akan membayanginya dalam mimpi-mimpi buruk seumur hidupnya. Tapi jika tidak, dia tak bisa membayangkan apapun. Tepatnya, tak ingin. Ia ingin menangis namun tak bisa. Ia tak pernah secengeng itu.

Tapi Lee Joon cukup tangguh untuk situasi semacam itu. Pukulan dari segala arah, senjata tumpul lawan hingga tendangan-tendangan yang berniat mematahkan kakinya.

“Chun Doong ah! Bawa gadis itu pergi dari sini,” perintah Lee Joon. Chun Doong menurut. Namun dua anggota geng bersenjata itu menghadangnya. Chul Yong membantu. Dan pertarungan tak berimbang itu semakin sengit. Chun Doong menghindari pukulan demi pukulan dengan gesit. Ia memukul pada waktu yang tepat dan berhasil menumbangkan empat pria kekar. Chul Yong semakin bersemangat menyelesaikan pertarungan. Dalam lima belas menit, pertarungan berakhir dengan kemenangan Lee Joon dan kedua adik asuhnya. Sepuluh pria pamer itu meringis kesakitan dengan wajah lebam dan bercak darah di beberapa luka, termakan senjata sendiri. Lee Joon menatap benci. Si pria gempal masih berusaha bangkit dan melawan. Namun semua terkejut dengan bunyi sirine polisi. Sepuluh pria itu terbirit di telan malam. Lee Joon tertegun sesaat, memperhatikan sesuatu di tangan si gadis yang berdiri tak begitu jauh darinya. “Itu sirinemu?”

Si gadis mengangguk sambil memaksakan tersenyum. Ia masih tegang dan takut, tapi juga sedikit lega. “Aku tak tahu, mereka takut polisi.” jawabnya.

“Harusnya kau keluarkan itu dari tadi.” Lee Joon meraba tulang pipinya yang membiru karena pukulan.

“Anda baik-baik saja?” si gadis khawatir.

“Pikirkan saja diri anda, Nona. Aku tak pernah mendengar ada seorang gadis yang berani melewati daerah ini sebelum anda.”

“Aku...”

“Ayo pergi!” ajak Lee Joon pada kedua temannya, sebelum gadis itu menyelesaikan kalimatnya.

Jogiyo![6] panggil gadis itu. Lee Joon menoleh.

“Terima kasih. Aku berutang budi.”

“Anda baru saja membayarnya, Nona.” Gadis itu melirik sirinenya.

“Itu ,” seru si gadis lagi saat Lee Joon hendak melangkah pergi.

“Mobilku mogok di depan gang, orang kepercayaan ayahku baru akan datang mengambilnya besok pagi. Aku tak mengenal daerah ini sama sekali. Dan sepertinya tak ada taksi atau kendaraan umum apapun di sini. Jalan besarnya… aku ingin tahu di mana jalan besarnya.”

Joon menoleh sekakli lagi. Kali ini dengan sedikit rasa kesal yang tak bisa ia sembunyikan. Itu terdengar jelas dari nada suaranya. “Seratus meter ke depan adalah ujung gang. Anda tahu apa yang harus anda lakukan di jalan besar di ujung gang itu.” Gadis itu mengangguk ragu.

Jogiyo!

Lee Joon menoleh untuk ke sekian kalinya. Ia menatap gadis itu lekat-lekat. Si gadis terlihat gugup.

“Jujur, aku masih trauma dengan kejadian ini. Aku khawatir jika orang itu...”

"Ya![7] panggil Joon. Kalian berdua antarkan Nona ini sampai ke jalan besar. Pastikan sampai taksinya menghilang dari pandangan kalian. Setelah itu, pulanglah dan jangan pernah tinggalkan rumah sampai matahari terbit.” Chul Yong dan Chun Doong mengangguk. Lee Joon berbalik dan hendak pergi namun lagi-lagi tak jadi.

“Aku Kim Gyeoul. Terima kasih karena sudah menolongku."

Lee Joon tak acuh. Dan dalam sekejap ia sudah menghilang dalam pekat. Meninggalkan Kim Gyeoul yang masih berharap bisa mendengar sesuatu darinya.

***

[1]Panggilan untuk lelaki yang lebih tua (kakak) oleh laki-laki yang usianya lebih muda (adik)

[2]Macan selatan

[3]Paman

[4]Maaf

[5]Apa-apaan ini?

[6] Sebentar!; digunakan untuk memanggil seseorang dengan sopan.

[7] Hey!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun