Mohon tunggu...
Rustam
Rustam Mohon Tunggu... Jurnalis - Kuli tinta

Menulis dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Derita Terusir

4 November 2019   19:15 Diperbarui: 4 November 2019   19:29 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Badannya lunglai, tak ada lagi lemak yang mengisi beberapa bagian tubuhnya, ia kini tinggi dan kurus. Ia duduk diatas pohon kayu yang baru selesai dikepak. Rencananya kayu gelondongan itu akan dikirim pada konsumen yang telah memesan lewat jalur sungai.

Sudah dua bulan ia bertugas membantu bosnya yang seorang anggota militer di kampung Debita. Kampung itu terletak dipedalaman sebuah pulau yang terletak di ujung negeri.

Naba pasrah 'terdampar' ditempat itu. Awalnya ia hanya melarikan diri dari lingkungan awalnya yang sudah tak menerimanya lagi. Ia.sejatinya berjalan tanpa tujuan, dengan ongkos seadanya.

Ia dicap buruk oleh semua orang, bahkan keluargnya sekalipun. Ia kehilangan teman kerja, teman waktu kuliah bahkan sahabat dari kecil ikut-ikutan membencinya.

Pelan tapi pasti, kayu-kayu gelondongan dihanyutkan dan menghilang dari pandangan matanya. Tugasnya purna hari ini.

"Bagaimana kayu Naba? Sudah aman?" tanya Arman, bosnya itu saat ia belum sempat duduk. "Siap bos. Sudah dikirim. Pak Doming yang ikut dikapal," jawab Naba.

"Ya sudah, mandi sana. Sudah mau malam. Ingat besok pagi-pagi urus pesanan lagi, pastikan kayu siap untuk dikirim hari Minggu nanti" pesan Arman kepada Naba.

Malam telah datang, suara jangkrik dan hewan malam mulai terdengar dari kamar Naba. Tempat yang ia tinggali adalah pedalaman: sepi dan tak banyak hiburan. Hal itu berbeda 180 derajat dari tempat awalnya nun jauh disana.

Tapi ia pasrah, tak ada jalan lain selain menerima keadaan itu. Kesalahan memang kadangkala harus dibayar semenyakitkan itu.

***
Pukul sepuluh malam, sunyi mendekap diluar dan didalam hati Naba. Ia tak pernah menyangka hidupnya akan seperti ini. Jauh dari tempat tinggalnya yang digelari "Tanah Para Pemberani" itu.

Ia pernah menolak beberapa kali tawaran untuk bekerja di luar kota dari  bos di tempanya bekerja dahulu. "Saya lebih enak disini pak. Saya tidak suka pergi jauh," begitu jawaban Naba saat itu. Ia memang, tak punya mental merantau, bahkan naik mobil saja ia pasti muntah. Tidak sedikitpun ia menyangka akan naik kapal laut, yang akhirnya membawa bermil-mil jauh dari rumah dan lingkungannya, seperti yang ia lakukan tiga bulan lalu.

Ia semakin larut dalam lamunan, saat gelap semakin memekat. Tak ada listrik ditempat itu. Hidupnya betul-betul berubah drastis.

Arman yang seorang militer yang bertugas didesa menemukan Naba dalam keadaan pingsan, di pinggir jalan. Naba lalu dibawahnya ke perawat desa hingga sadarkan diri.

Naba akhirnya dibiarkan tinggal dirumahnya, dan diberi pekerjaan mengurusi usaha sampingannya.  Alasannya sederhana, Naba berasal dari daerah yang sama dengan Arman. Hal itu yang membuat Arman tak berpikir panjang untuk menerima Naba, meski tak tahu seluk beluk Naba.

"Saya melarikan diri Daeng, dikampungku saya sudah tidak diterima. Tapi ini karena kesalahanku," begitu Naba menjawab pertanyaan Arman saat itu. Mungkin karena Naba jujur mengakui bahwa yang terjadi padanya adalah akibat  kesalahnya yang membuat Arman berani menerima Naba dirumahnya.

**

Tak banyak yang sanggup hidup dalam kondisi yang dialami Naba, dikucilkan dari kehidupannya. Naba pun pernah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara meminum racun. Tapi ia batalkan, ia merasa harus tetap hidup karena berlasan ingin berbuat dan memperbaiki kesalahnya.

Tapi ia kadung dianggap buruk oleh orang, bahkan satu kesalahan terbesarnya yaitu berbuat tak senonoh dengan beberapa perempuan menjadi bertambah banyak. Ia juga difitnah menyukai istri orang dan suka membicarakan keburukan orang lain. Ia dituduh biang gosip.

Tak banyak yang bisa ia lakukan saat itu. Ia tahu kesalahanya melecehkan perempuan adalah kesalahan fatal, namun dua hal lainnya tak pernah ia lakukan. Namun tak ada lagi yang mau percaya dengan Naba. Ia sudah terlanjur buruk dimata orang lain.

Dimingu pertama, ia merasakan kekalutan yang sungguh. Ia merasa sendiri dan tak punya teman untuk berbagi kesedihan. Belum lagi, fitnah bahwa ia punya kelainan jiwa karena menyukai istri orang lain dan suka bercerita keburukan orang lain tak bisa lagi ditampiknya.

Hal itu juga yang membuat dia memutuskan untuk tetap hidup, hingga suatu hari nanti, ia punya kesempatan untuk menjelaskan kebenaran pada semua orang yang terlanjur mencapnya buruk.

"Saya tidak sampai memperkosa gadis-gadis itu. Saya tahu itu salah, saya khilaf. Tapi dua cerita yang dibuat-buat oleh entah siapa sungguh meyakitkan," batinnya.

"Masa orang tuaku juga percaya begitu saja, tanpa mendengar penjelasanku terlebih dahulu. Dan malah mengangap saya bukan lagi anaknya," pergulatan itu terus-terusan berkecamuk di hati Naba malam itu.

Ia sampai pada kesimpulan bahwa, kesalahan awalnya yang membuat dirinya harus dihukum seperti ini. Bahkan harus pasrah tak bisa berbuat apa-apa dengan fitnah yang menimpanya. Naba bahkan mengangap fitnah itu terjadi karena ia berbuat salah pada perempuan-perempuan itu.

Dan jalan satu-satunya adalah pergi jauh dari lingkungannya. Jadilah ia berlayar dan akhirnya tersesat dan bertemu Arman.

***

Hari-hari terlewati, Ia rapal ayat yang artinya "Sesunguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan" itu terus menerus. Usaha Arman yang semakin lancar membuat pemasukan Naba juga semakin baik.

Tiga tahun terlewati, Naba kini telah punya banyak tabungan, dan sudah punya istri. Ia mempersunting pegawai toko buku yang juga perantau dari daerah tersebut.

Tapi sayangnya, Naba mengaku anak yatim piatu saat Isma, istrinya bertanya tentang latar belakang Naba saat mereka berpacaran.

Ia juga tidak bisa menjawab pertanyaan Isma soal kapan ia akan mengajaknya pulang ke kampung halamanya. "Jangan dulu, saya tidak tahu apakah masih ada keluargaku yang masih tinggal disana," jawaban Naba memang masih membingunkan. Tapi Isma mau menerima itu, karena Naba baginya adalah orang baik dan penyayang. Yang menicintai dirinya dengan penuh kasih sayang.

Meski kondisinya sudah semakin baik, Naba masih punya kekalutan yang sungguh. Ia masih berharap bisa pulang ke rumah dan bertemu orangtua dan teman-temanya dahulu. Namun nyalinya ciut.

"Saya bersyukur dipertemukan dengan bos Arman yang baik hati. Mungkin benar, tak ada ujian yang melampaui batas kemapuan manusia," Naba membatin.

Siapapun bisa hidup dari kesalahan, dan belajar dari kesalahan. Barangkali kesalahan ada untuk ditanggung konsekuensinya. Dan hidup dijalani dari pilihan-pilihan, baik salah atau benar. (**)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun