"Masa orang tuaku juga percaya begitu saja, tanpa mendengar penjelasanku terlebih dahulu. Dan malah mengangap saya bukan lagi anaknya," pergulatan itu terus-terusan berkecamuk di hati Naba malam itu.
Ia sampai pada kesimpulan bahwa, kesalahan awalnya yang membuat dirinya harus dihukum seperti ini. Bahkan harus pasrah tak bisa berbuat apa-apa dengan fitnah yang menimpanya. Naba bahkan mengangap fitnah itu terjadi karena ia berbuat salah pada perempuan-perempuan itu.
Dan jalan satu-satunya adalah pergi jauh dari lingkungannya. Jadilah ia berlayar dan akhirnya tersesat dan bertemu Arman.
***
Hari-hari terlewati, Ia rapal ayat yang artinya "Sesunguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan" itu terus menerus. Usaha Arman yang semakin lancar membuat pemasukan Naba juga semakin baik.
Tiga tahun terlewati, Naba kini telah punya banyak tabungan, dan sudah punya istri. Ia mempersunting pegawai toko buku yang juga perantau dari daerah tersebut.
Tapi sayangnya, Naba mengaku anak yatim piatu saat Isma, istrinya bertanya tentang latar belakang Naba saat mereka berpacaran.
Ia juga tidak bisa menjawab pertanyaan Isma soal kapan ia akan mengajaknya pulang ke kampung halamanya. "Jangan dulu, saya tidak tahu apakah masih ada keluargaku yang masih tinggal disana," jawaban Naba memang masih membingunkan. Tapi Isma mau menerima itu, karena Naba baginya adalah orang baik dan penyayang. Yang menicintai dirinya dengan penuh kasih sayang.
Meski kondisinya sudah semakin baik, Naba masih punya kekalutan yang sungguh. Ia masih berharap bisa pulang ke rumah dan bertemu orangtua dan teman-temanya dahulu. Namun nyalinya ciut.
"Saya bersyukur dipertemukan dengan bos Arman yang baik hati. Mungkin benar, tak ada ujian yang melampaui batas kemapuan manusia," Naba membatin.
Siapapun bisa hidup dari kesalahan, dan belajar dari kesalahan. Barangkali kesalahan ada untuk ditanggung konsekuensinya. Dan hidup dijalani dari pilihan-pilihan, baik salah atau benar. (**)