Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam bersabda: "Perumpamaan manusia seperti seratus ekor unta, nyaris tidak kamu lihat satupun di sana yang bisa dijadikan kendaraan atau dengan redaksi kapan kamu bisa melihat ada yang pantas dijadikan kendaraan?." (HR. Ahmad).
Seratus ekor unta berkumpul berkerumun Mampukah kita menunjuk mana yang bisa diandalkan untuk menjadi pilihan sebagai unta yang paling kuat menanggung beban. Butuh waktu untuk mengetahui unta mana yang layak dijadikan kendaraan katagori paling layak. Tidak semua unta sanggup menahan gempuran medan cuaca dan beratnya beban yang dibawa. Tetap ada unta yang amat kuat menggendong beban ke mana-mana.
Sebuah perumpamaan bukan hal yang gampang mengetahui unta pilihan.Sama halnya dengan mengetahui sosok manusia pembawa beban. Beban amanah dalam dakwah. Beban amanah dalam memimpin, yang formal struktural maupun non formal kultural. Untuk menjadi makmum dalam shalat misalnya tak butuh persyaratan. Karena yang penting beragama Islam. Beres masalah.Â
Namun untuk menjadi imam, Rasulullah Saw sampai mengajukan beberapa katagori, tiga diantaranya bacaan imam harus paling fasih diantara yang hadir, disusul dengan yang hapalan Qurannya paling banyak dan baru yang masuk Islamnya paling dulu (atau lebih tua).Â
Kalau untuk imam shalat orangnya mesti punya kriteria tertentu, begitupun (apalagi) untuk menjadi pemimpin yang harus siap menanggung beban rakyat dalam skala besar. Di sini perlu kaderisasi calon pemimpin. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan (ukhrijat) untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar (QS. Ali Imran [3]: 110).
Ayat di atas mengisyarahkan pemimpin harus dilahirkan (ukhrijat). Tablig akbar dan pengajian umum itu penting, tetapi memang untuk melahirkan seorang pemimpin tidak cukup dengan acara-acara itu saja. Calon pemimpin harus dikader untuk dikeluarkan jadi pemimpin penanggung beban amanah rakyat. Prosesi pengkaderan ini memerlukan kerja sama semua pihak.Â
Untuk jadi pemimpin bukan sekadar otak yang harus diisi dengan berbagai macam disiplin ilmu. Tetapi hati harus terus dipompa dengan nilai-nilai keimanan. Dikuatkan mentalnya. Dilatih terus akhlaknya. Diasah keberaniannya untuk memihak pada kebenaran. Baik itu baik.Â
Namun baik saja tidak berani mengatakan yang salah itu salah, bukanlah level pemimpin yang baik. Calon pemimpin harus dilatih bagaimana mencari dan menggunakan uang sebagaimana mestinya. Apalah jadinya dunia ini kalau pemimpinnya silau dengan uang. Sekadar contoh, saya rasa NU dan Muhammadiyah sudah memberikan keteladanan dalam bidang kaderisasi.
Dengan ribuan pesantren di kampung-kampung pegunungan dan persawahan, kiai-kiai NU telah berdakwah mencetak para pemimpin, bukan saja umat tapi rakyat ang lebih luas.Demikian pula dengan Muhamadiyah yang memiliki lembaga pendidikan formal terbanyak sedunia dan rumah sakit serta pelayanan sosialnya.Â
Bila kita buka lembar sejarah pendirinya, Hadratus Syekh KH. Hasyim Ay'ari dan KH. Ahmad Dahlan, keduanya pernah berguru kepada sejumlah kiai yang sama. Satu diantaranya Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (salah seorang Imam di Masjidil Haram-Mekah). Di pesantren Ahmad Khatib selain diajarkan ilmu-ilmudan wawasan Islam, juga disuntikkan semangat jihad melawan penjajahan dan nasionalisme Keindonesiaan.
Kelak keduanya berjuang menanamkan kesadaran nasional. Mereka sering bertukar pikiran. Hasyim lebih mendalami hadis dan Ahmad Dahlan sangat tertarik dunia pemikiran-pergerakan. Di Mekah, keduanya menempati kamar yang sama. Hasyim memanggil Mas Darwis (nama kecil KH. Ahmad Dahlan) dan Ahmad Dahlan menyapa Hasyim dengan sebutan adik. Hasyim mendirikan NU dengan logo Sembilan bintang dan peta dunia dan sasaran dakwah utamanya perdesaan.Â