Mohon tunggu...
Faiz Badridduja
Faiz Badridduja Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

menyukai sejarah, sastra dan studi-studi keislaman

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jiwa dalam Khazanah Pemikiran Filsuf Muslim

31 Oktober 2020   13:10 Diperbarui: 31 Oktober 2020   13:27 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berawal di masa setelah wafat Muhammad Saw, ketika itu para sahabatnya saat itu masih banyak, ada yang bertahan di Madinah namun banyak pula yang berpindah ke kota-kota besar lainnya seperti Ibnu Masúd ke Kufah, Abu Darda ke Basrah, Abu Ubaidah dan Muawiyah ke Damaskus, Amr bin Ash ke Mesir, Muadz bin Jabal ke Yaman, Ibnu Zubair dan Ibnu Abbas ke Mekkah, Abu Ayyub al-Anshari ke Palestina dan lain sebagainya.

Membicarakan tentang jiwa yang tercurah dalam sikap atau ekspresi wajah, terdapat kisah menarik kala itu di era para sahabat dimana Ibnu Abbas didatangi seseorang, lalu ia berkata; “wahai putra paman Rasulullah, apakah ada taubat bagi seorang pembunuh?” maka Ibnu Abbas pun meningkatkan perhatiannya sebelum menjawab, lalu berkata padanya; “tidak, tidak ada taubat dari Allah bagi seorang pembunuh”, setelah laki-laki itu pergi, teman-teman Ibnu Abbas yang menyaksikan kejadian itu bertanya dengan heran; “apakah kami pernah mendengar hal seperti (jawaban itu) sebelum ini?”, Ibnu Abbas menjawab: “sungguh aku memperhatikan wajahnya, aku melihat bahwa ia sedang marah dan ingin membunuh seorang laki-laki orang beriman”. inilah maksud daripada tidak adanya taubat bagi pembunuh, yaitu untuk mencegah laki-laki itu melakukan pembunuhan sebab apabila dikatakan Allah menerima taubat seorang pembunuh, maka pastilah ia akan melaksanakan niat buruknya itu.

 Keheranan teman-teman Ibnu Abbas menunjukkan bahwa sebenarnya pintu taubat selalu terbuka, namun Ibnu Abbas berfatwa menyesuaikan dengan melihat kondisi orang yang meminta fatwa padanya, bukan dengan memutuskan untuk menutup segala kemungkinan taubat bagi semua pembunuh, sebab di dalam riwayat lainnya diceritakan bahwa jika yang datang adalah seseorang yang telah melakukan pembunuhan dan menanyakan hal yang sama, Ibnu Abbas akan menjawab tentu saja taubat selalu terbuka bagi hamba Allah yang memintanya dengan membacakan banyak dalil tentang taubat, menerangkan bahwa Allah itu maha pengampun, pemaaf segala dosa dan kesalahan dan lain sebagainya.

 Berikut pemikiran para filsuf muslim pada abad kejayaan Islam :

 

  • Al-Kindi

Al-Kindi -menurut Ahmad Fuad el-Ahwani, seorang profesor filsafat islam, cairo university- terkacaukan oleh ajaran-ajaran Plato, Aristoteles dan Plotinus tentang Ruh (Soul), penyebabnya adalah karena Al-Kindi merevisi bagian-bagian yang diterjemahkan dari Enneads karya Plotinus, yang secara salah dianggap karya Aristoteles oleh Al-Kindi sendiri.Ia meminjam ajaran Plotinus tentang Ruh dan menggunakan pola Aristoteles dalam berteori tentang akal.

Ruh adalah suatu wujud sederhana yang zatnya itu terpancar dari Sang Pencipta (teori emanasi Plotinus), persis seperti sinar yang terpancar bersumber dari matahari. Ruh bersifat spiritual, ketuhanan dan terpisah serta berbeda daripada tubuh atau jasad atau raga. Jika ruh terpisah dari tubuh ia akan memperoleh pengetahuan segala yang ada di bumi dan dapat melihat hal yang adialami. Ia juga akan menuju alam akal, kembali pada nur (cahaya) sang pencipta.

Ruh tidak pernah tidur, namun ketika tubuh tertidur ruh sedang tidak bisa menggunakan indranya. Jadi menurut Al-Kindi tidur adalah penghentian penggunaan indra (sementara), bila ruh berhenti mengindra dan hanya menggunakan nalar saja maka ia akan bermimpi.

Dalam pandangan Al-Kindi, Ruh terbagi tiga yaitu Nalar, Hasrat dan Rasa Gusar/Amarah. Orang yang memiliki ruh dengan kecenderungan meninggalkan kesenangan jasmani dan berupaya mencapai hakikat segala sesuatu adalah orang terbaik yang paling berusaha mirip dan sesuai dengan asal pancaran jiwanya : Sang Pencipta.

  • Muhammad bin Zakaria ar-Razi 

Menurut Al-Razi, Tuhan tidaklah menciptakan dunia ini lewat desakan apapun, Tuhan memutuskan untuk menciptakannya setelah sebelumnya tidak berkehendak menciptakannya, siapakah yang membuat-Nya melakukan hal itu? Harus ada keabadian lain yang membuat-Nya memutuskan hal ini. Keabadian yang lain inilah yang dinamakan Ruh, ia hidup namun bodoh. Karena kebodohannya itu ruh mencintai materi dan membuat bentuk darinya untuk memperoleh kebahagian materialistis, namun materi menolah sehingga Tuhan turun tangan membantu ruh. Bentuk bantuan itulah yang dinamakan dengan penciptaan alam semesta dan dunia ini yang terdapat di dalamnya itu bentuk-bentuk yang kuat sehingga ruh mampu mendapatkan kebahagiaanya yang bersifat jasmani. Setelah itu Tuhan menciptakan Manusia dari Dzat ketuhanan-Nya disertai dengan Akal (intelegensi) guna untuk menyadarkan ruh bahwa dunia ini bukanlah hakikat sejati segala sesuatu. [lihat Zaad al-Musafirin, Nashir-i Khusrau, Berlin : 1922, hal 114-116]

  • Ibnu Miskawaih

Teori Jiwa Ibnu Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualis Plato dan Aristoteles dengan kecenderungan Plotinus. Catatannya tentang teori ini terdapat dalam al-Fauz al-Asghar dan Tahdzib al-Akhlaq. Ibnu Miskawaih membuktikan keberadaan ruh pada kaum materialis dengan dasar bahwa di dalam diri manusia terdapat sesuatu yang memberi tempat bagi perbedaan bentuk dan bahkan pertentangan bentuk dalam waktu bersamaan, akan tetapi sesuatu itu tidak dalam bentuk materi, sebab materi memiliki kelemahan yaitu hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu saja.

Ruh –menurut Ibnu Miskawaih- juga mampu mencerap baik yang sederhana maupun yang kompleks, yang ada (exist) atau yang tidak ada, yang terasa ataupun yang terfikirkan. Selain itu Ruh juga bersifat abadi atau tak akan rusak.

  • Ibnu Sina

Ruh atau Jiwa merupakan substansi yang bebas dan terpisah dari tubuhnya, ia juga bersifat transenden. Substansi yang dimaksud adalah munculnya intelegensi aktif yang bersamaan dengan tubuh serta mengatur mengarahkan merawat sehingga saling menguntungkan bagi jiwa substansi dan tubuh material itu, jiwa yang non badani menjadi substansi yang menjamin kesinambungan hidup bahkan ia tetap hidup meski tubuh sendiri telah rusak. Sedangkan taraf transenden-nya ialah jiwa itu suatu wujud ruhaniah murni, bahkan ketika tubuh belum ada alias masih berupa konsep relasional.

Berdasarkan hal yang di atas Ibnu Sina memasukan Substansi atau aspek fenomena jiwa itu dalam ilmu pengetahuan alam, sedangkan wujud transendennya itu termasuk dalam studi metafisika.

Ibnu Sina berfikir bahwa jika sesorang memiliki jiwa yang kuat, maka jiwanya itu mampu menyembuhkan sakit atau menyakitkan tubuh yang sehat tanpa sarana apapun, Ibnu Sina menggukanan bukti yang dinamakan dengan fenomena hipnosis dan sugesti (al-wahm al-ámil).

  • Ibnu Bajjah

Jiwa adalah bentuk yang membuat tubuh alamiah menjadi nyata, artinya ia adalah pemberi kenyataan bagi tubuh alamiah yang bersifat teratur, nutritif, sensitif dan imajinatif.

Persepsi indrawi (dalam pandangannya) itu bisa bersifat aktual dan potensial, yang potensial hanya akan jadi aktual jika ia diubah oleh sesuatu yang lain, oleh karenanya ia membutuhkan penggerak untuk mengubahnya, penggerak adalah yang merasa itulah jiwa (yang memerintah untuk berubah), sedangkan yang digerakkan adalah organ tubuh itu sendiri.

Persepsi psikis terbagi jadi dua yaitu : sensasi dan imajinasi, sensasi selalu mendahului imajinasi yang akan mensuplai materi itu sendiri. Jadi sensasi adalah suatu kapasitas tubuh yang diaktifkan oleh sesuatu yang terasa, sensasi berjumlah banyak ada yang khusus dan ada yang umum.

  • Nashiruddin at-Thusi

At-Thusi membuka teori jiwanya bukan dengan bukti eksistensi jiwa, namun dengan asumsi bahwa jiwa merupakan realitas yang bisa terbukti dengan sendirinya, oleh karena itu ia tidak membutuhkan bukti lain. Maksudnya adalah misalnya suatu ide, gagasan, pemikiran yang terlepas dari eksistensi pemikirnya itu merupakan suatu yang mustahil, at-Thusi berpendapat bahwa keduanya [yang berfikir (pemikir) dan objek pemikiran (atau hasil pemikiran) ] adalah jiwa itu sendiri.

Jiwa menurut at-Thusi pun itu substansi yang sederhan dan bersifat Immaterial serta mampu merasa dengan sendrinya, mengontrol tubuh, namun ia tidak dapat merasa menggunakan alat-alat tubuh itu.

At-Thusi berfikir bahwa segala penilaian (baik itu logika, fisika, matematika, teologi dll) itu terdapat dalam satu jiwa tanpa bercampur baur satu sama lain, jiwa mampu mengingat dengan cara yang khas yang itu mustahil dilakukan oleh substansi material, karena akomodasi material itu terbatas sedangkan jiwa itu tak terbatas.

Melanjutkan Ibnu Bajjah, Jiwa imajinatif berkenan dengan persepsi-persepsi rasa di satu pihak dan dengan abstraksi-abstraksi rasional di pihak lain.sehingga jika dihubungkan dengan jiwa manusia ia akan menjadi terlepat dari anggota-angota tubuh dan ikut serta dalam bergembira atau bersedih dengan jiwa dalam kekekalannya.

  • Al-Ghazali

Ruh menurut al-Ghazli terbagi dua, bermakna biologis yaitu benda halus yang bersumber dari dalam rongga hati, ia juga menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah, ia menyebar berupa kekuatan penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, itulah yang disebut dengan NYAWA (kehidupan).

Yang lainnya bermakna hakiki, yaitu sesuatu yang amat halus bersifat non-materi dalam diri manusia, inilah yang lazim disebut JIWA, ia mampu mengetahui segala sesuatu lalu menangkap segala pengertian dan pemahaman. Jiwa ini juga bersifat rabbaniyah, ini yang membedakannya dengan akal yang tidak sanggup menjangkau atau mencerna hakikat yang sebenarnya.

Demikian Ruh (jiwa/soul) dalam pandangan banyak filosof muslim pada masanya masing-masing. Semoga penuh manfat, amin.

Sumber Rujukan

  1. Muhammad Luthfi Jumáh, Tarikh Falasifah al-Islamiy, Kairo : Muassasah Hindawi li at-Ta’lim wa ats-Tsaqafah (2012), Cetakan Pertama.
  2. Al-Ghazali, Ájaib al-Qalbi wa al-Awwal min Rub’ al-Muhlikat, alih bahasa : Masykur al-Katiri, Jakarta : Khatulistiwa Press (2011), Cetakan Pertama.
  3. Khudori Sholeh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta : Arruz Media (2016), Cetakan Pertama.
  4. Jalaluddin as-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsur, Juz 2, Beirut : Daar al-Kutub al-Islami (1999).
  5. Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, Kitab Ad-Diyat, Juz 5, Kairo : Maktabah al-Ilmiyyah (2003).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun