Aku terbangun setelah perjalanan panjang dan melelahkan, rasanya badan ini kaku, perlu gerakan-gerakan peregangan, duduk lama dan menunggu sampai ke tujuan. Perjalanan ke Malang kali ini aku tempuh bersama temanku, Gofar. Tujuan kami ke Malang kali ini lumayan random, hanya ingin membandingkan kesegaran udara di Batu dengan udara yang biasa kami hidup di Dago Bandung. Mumpung kampus sedang libur semester, Si ngide Gofar mengajakku untuk menyewa mobil dan berangkat ke Malang. Aku pun selalu "hayu gasskeun" selama itu ide Gofar, karena dia punya tekat yang kuat dan memiliki ciri Sang Petualang.Â
Jam menunjukkan pukul 21:15 WIB dan kami menepikan mobil di rest area kecil, dengan pemandangan gelap sungai besar. Hanya ada beberapa warung kecil di tepi jalan. Terlihat beberapa mobil besar ikut beristirahat di sini. Seorang supir truk terlihat tidur dengan kaki yang ia sandarkan pada dashboard dan dua kaos yang ia gantungkan di wiper, perjalanan panjang sepertinya.Â
Aku memesan mie instan rebus dengan toping telur ceplok dan nasi di piring satunya lagi, sedangkan Gofar memesan mie instan goreng dan kopi tanpa gula dan rokok yang ia jepit di kedua jari. "Pak punten, ini masuk daerah apa ya?" tanya Gofar kepada bapak warung yang kami singgahi. "oh ini di Karangkates, Mas. Mas-masnya dari Bandung toh?" tanya si bapak.Â
"Kok bapak tahu kami dari Bandung?" tanyaku.Â
"Iku loh mas, plat e D kan ya Bandung toh hehe" Jawab si bapak sambil menunjuk mobil kami yang terparkir di depan warungnya.Â
Kami pun tertawa sambil melahap apa yang kami pesan. Mataku berselancar ke sekitar, dan kulihat tulisan besar Taman Wisata Karangkates, ternyata kami berhenti di rest area kecil yang dekat dengan wisata, menarik. Akan tetapi tiba-tiba mataku seolah diarahkan ke sebelah kiri, rasanya seperti banyak orang yang berdiri dan menatapku, tapi sama sekali tidak ada apa-apa hanya jalanan kosong dan warung serupa.Â
Apaan tuh!!? aku terkejut dan memaksa Gofar untuk melihat ke arah entah sungai atau bendungan di seberang kami. Gofar mengaku tidak melihat apa-apa, padahal dengan jelas aku melihat entah nyata atau hanya residual energi yang tertinggal. Banyak orang seolah meminta tolong, dengan wujud yang tak lazim, beberapa tanpa kepala dengan kaos putih berlumur darah, kaki dan tangan yang menjuntai putus, wanita dengan menahan perutnya sambil merangkak dan kepala yang pecah. Sungai atau bendungan sebelumnya gelap kini dengan jelas kulihat airnya berwarna merah.
"Naha nya asa bau hanyir euy" celetuk Gofar saat aku masih terpaku melihat jauh ke seberang. Benar apa yang dikatakan Gofar, bau hanyir dan busuk silih berganti datang, yang membedakan aku bisa melihat dengan jelas puluhan atau mungkin ratusan orang mengambang di seberang dan beberapanya berdiri dengan berbagai jenis bentuk. Kuambil ponsel dan coba kucari dengan kata kunci Karangkates. Benar, kami sedang berada di Bendungan Karangkates atau waduk Sutami, konon waduk ini adalah tempat pembuangan orang-orang yang diduga PKI (Partai Komunis Indonesia) dan organisasi terkait seperti GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), warna merah yang kulihat adalah merah darah yang marah dengan duka yang mendalam. Ratusan orang dipaksa istiharat oleh saudara sebangsanya sendiri, menyisakan trauma mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan, bahkan keruturannya pun mendapatkan warisan cap buruk sebagai ex-PKI. Dan waduk ini sudah mulai dibangun sejak tahun 1964 oleh I.R Sutami, yang artinya tepat dengan waktu pembantaian massal saat itu.
Bapak warung kemudian terheran melihat aku yang tertegun lama melihat ke seberang. "kenapa Mas, lihat sesuatu bukan?" tanya si bapak. "hehe iya pak, apa yang aku lihat beneran pak?" tanyaku. "Kalo yang masnya lihat banyak korban di seberang, iku lak emang bener mas, saya sih udah biasa nyium bau atau dapet cerita dari pengunjung sini". "Udah mas, biarin aja apa yang mas lihat biar jadi pelajaran sejarah aja. Nanti nek mas-masnya mau berangkat lagi jangan lupa doa dan siramin depan dan belakang mobil masnya sambil sholawatan, semoga aman selamat." Lanjut bapak warung sambil menatap kami yang bingung dan ketakutan.Â
Kami pun menuruti apa kata bapak warung, menyirami ujung depan dan belakang mobil kami sambil bersholawat. Aku pun tak lagi melihat waduk atau bendungan di seberang berwarna hitam, hanya udara malam yang dingin dan wangi pepohanan. Gofar pun tidak lagi mencium bau busuk dan hanyir seperti beberapa waktu sebelumnya. Kami berpamitan melanjutkan perjalanan dengan mata dan jiwa yang benar-benar melek, seperti habis ditampar kanan kiri. Perjalanan kami hanya menyisakan kurang dari 2 jam untuk sampai di Batu, aku dan Gofar terus mengobrol dan ogah membahas kejadian sebelumnya.Â