Mohon tunggu...
ROCHADI TAWAF
ROCHADI TAWAF Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fapet Unpad

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kartel Daging Sapi dan Pembentukan Legislasi

10 Juli 2016   20:15 Diperbarui: 11 Juli 2016   06:55 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Opini Gatot Irianto pada HU Kompas tanggal 2 Juli 2016, dengan judul meredam gejolak harga daging sapi sugguh sangat absurd, analisisnya tidak berdasarkan fakta lebih bernuansa emosi pribadi tidak atas kepentingan umum terhadap fenomena yang terjadi mengenai gejolak harga daging sapi di negeri ini. Sehingga dihawatirkan, kebijakan yang diambil pemerintah dikemudian hari akan menyebabkan kerugian bagi pembangunan peternakan di negeri ini

Gatot Irianto beropini bahwa ada apriori dugaan dominasi kartel daging dalam mengendalikan pasokan dan harga daging, yang berperan dalam legislasi, judicial review, penguasaan sapi  di NTB dan NTT sampai dengan destruksi harga di tingkat peternak. Bahkan kartel didukung negara eksportir sapi melakukan “public opinion building” saat legislasi sampai lahirnya UU 18/2009 tentang PKH yang mensyaratkan importasi ternak dan produk ternak dilakukan berdasarkan country base untuk mencegah masuknya masuknya PMK. Revisi UU PKH oleh pemerintah untuk mengubah  Country Base ke Zona Base,  kalah di judicial review di MK. Implikasinya pasokan bibit, bakalan dan daging dimonopoli Australia dan Selandia Baru, Brasil dan India yang belum bebas PMK tidak bisa mengeksport sapi dan produk ternaknya ke Indonesia.

Pernyataan ini semuanya sangat tidak benar dan tendesius menuduh bahkan cenderung telah memutar balikan fakta yang sesungguhnya terjadi. Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut; siapa yang tidak merasa bangga dan senang dengan kehadiran kapal pengangkut ternak yang dilakukan pemerintah ? Namun dalam praktik operasionalnya pemerintah telah “memaksa” peternak untuk menjual sapi nya dengan harga Rp. 35.000,00 timbang di Jakarta. 

Berdasarkan hasil pantauan penulis di lapangan waktu itu: bahwa harga pembelian sapi oleh pedagang kepada peternak di NTT berkisar antara Rp 28.000 – 32.000/kg dengan rataan Rp. 30.000/kg berat hidup, atau berkisar antara Rp 7jt – 8jt/ekor dengan bobot rataan 250 kg.  Selanjutnya bahwa rincian beban biaya per ekor untuk logistik dan transportasi  sampai ke Jakarta adalah Rp 5,700,00/kg; manajemen Rp. 3.000,00/kg, resiko Rp. 1.500,00/kg dan bunga bank Rp. 450,00/kg maka total harga pokok penjualan adalah Rp. 40.650,00/kg berat hidup di Jakarta. Dengan demikian, terdapat selisih sebesar 5.650 rupiah per kg, merupakan kerugian yang ditanggung oleh para pedagang perantara. 

Bisa kita bayangkan dari 353 ekor dengan berat rataan 250, maka ada sekitar Rp. 498 juta kerugian di shipment pertama tersebut. Hal inilah yang kemudian berdampak terhadap sulitnya kapal ternak Camara Nusantara I mendapatkan sapi yang akan diangkut pada shipment berikutnya.  Kosongnya kapal angkutan ternak murni disebabkan karena perhitungan biaya transportasi dan logistik yang terjadi, bukannya intervensi dari pihak-pihak tertentu.

Pernyataan  Gatot Irianto soal legislasi; telah pula dengan jelas-jelas menuduh DPR dan Pemerintah terkooptasi oleh Kartel Daging sapi.  Sdr. Gatot  sepertinya tidak tahu bahwa  yang berhak menyusun Undang-Undang  PKH adalah pemerintah cq. Kementerian Pertanian  dan DPR-RI. Selain itu Sdr. Gatot bahkan telah melakukan penghinaan  kepada Mahkamah Konstitusi dan menyangsikan integritas Majelis Hakim MK. Keputusan MK yang mengabulkan  uji materi atas  pasal 59  ayat 2 yang membatalkan ketentuan impor dari zona  kembali ke country base dianggap telah pula dikooptasi oleh Kartel Daging sapi. 

Penulis sebagai saksi hidup dalam kasus ini, memahami bahwa lahirnya UU 18/2009 tentang PKH adalah inisiasi pemerintah dan DPR. Ternyata pada saat pembahasan pasal 59 mengenai zona base, waktu itu pemerintah belum mampu menyiapkan naskah akademiknya, sehingga pasal itu ditangguhkan pembahasannya menunggu naskah akademiknya. Namun, nyatanya tatkala UU 18/2009  diundangkan, frasa mengenai zona base masih tetap ada dalam pasal 59. Tidak lama setelah diundangkan para stake holder peternakan melakukan uji materi. Melalui keputusan MK no. 137/2009 kebijakan zona base kembali ke Country base

Di akhir masa Jabatan SBY, kembali UU 18/2009 direvisi atas inisiatif DPR-RI menjadi UU 41/2014 dan ternyata frasa tersebut dimuat kembali di pasal 36-C. Oleh karenanya, dilakukan uji materi kembali oleh kelompok masyarakat yang sama karena kehawatirannya tidak ada proteksi mengenai PMK bagi peternak rakyat. Jadi kembali tidak benar bahwa aktivitas ini didukung oleh pihak asing, sejatinya untuk melindungi peternakan rakyat yang tradisional dan subsisten.

Selain hal tersebut di atas, pernyataan Gatot Irianto selanjutnya adalah  mengenai hancurnya peternak kecil dan memposisikan kartel daging leluasa mengatur pasokan harga daging dilapangan. Impor daging Bulog juga menjadi sulit dijual karena digoreng mafia daging sapi. Pernyataan tersebut menunjukan ketidakpahaman Gatot Irianto terhadap situasi yang sesungguhnya terjadi yaitu sebagai berikut; bahwa semua sengkarut harga daging sapi berawal dari kesalahan data yang di akui oleh Menteri Pertanian  Suswono waktu itu. Pasca dilakukannya sensus (PSPK) oleh BPS 2011 bahwa populasi sapi berjumlah 14,8 juta ekor, yang dianggap swasembada daging sapi telah tercapai. 

Atas kondisi tersebut, pemerintah menerbitkan kebijakan mengurangi impor dan daging sapi dari 53% menjadi 17% di tahun 2012. Kemudian di tahun 2015, kejadian ini berulang kembali yaitu pada triwulan ketiga kuota impor sejumlah 250 ribu ekor dipangkas menjadi 50 ribu ekor dan lagi-lagi terjadi di tahun 2016, yaitu dilakukan kembali kebijakan yang sama bahwa impor sapi bakalan di triwulan satu dan dua hanya direalisasi dibawah 55%. Artinya dari kesemua ini, adalah perilaku pemerintah yang tidak melakukan kebijakan sesuai dengan program yang dirancang, yang berakibat terhadap menurunnya penawaran.

Sementara itu, kita sangat paham bahwa  preferensi konsumen lebih menyukai daging segar bukannya daging beku. Akibatnya, semua kebijakan menggelontorkan daging beku menjadi tidak efektif, sebab kita tahu bahwa daging beku yang selama ini digunakan sebagai operasi pasar oleh pemerintah adalah daging industri yang harganya sangat murah, yaitu sekitar Rp. 60 ribu dan dijual dengan harga Rp. 80 ribu per kg.

Sesungguhnya Gatot Irianto sebagai Dirjen Sarana dan Prasarana Pertanian Kementerian Pertanian seharusnya lebih tajam dalam menganalisis data, fakta dan fenomena yang terjadi. Selain itu, pendekatan kebijakan pemerintah untuk melakukan penurunan harga komoditi yang dilakukan oleh kementan adalah upaya efektif peningkatan produksi di dalam negeri bukannya pemaksaan kehendak untuk memasukan impor daging sapi. Mudah-mudahan tulisan ini menjadikan para penentu kebijakan akan dengan arif menetapkan kebijakan pembangunan peternakan berbasis produksi dalam negeri....semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun