Mohon tunggu...
ROCHADI TAWAF
ROCHADI TAWAF Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fapet Unpad

Selanjutnya

Tutup

Money

Kontroversial UU 41/2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan?

9 Juni 2015   22:47 Diperbarui: 13 September 2015   06:01 2746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kontroversial” itulah kata yang paling tepat diberikan kepada UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). UU ini, merupakan revisi atas UU No. 18/2009 tentang PKH hasil Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 137/PUU-VII/2009. Kontroversialnya terjadi sejak UU ini diproses dan disahkan oleh DPR. Diduga bahwa pada pasal-pasal krusialnya tidak dilengkapi dengan kajian akademik yang mendalam dan komprehensif. Hal tersebut didasarkan atas pengamatan selama ini, bahwa dalam proses pembahasannya sama sekali tidak melibatkan para pemangku kepentingan yang sama, dimana mereka turut merumuskan UU No. 18/2009. Selain itu, waktu kelahirannya pun terjadi dipenghujung berakhirnya masa jabatan anggota DPR dan pemerintahan SBY. Karena waktu pengesehaannya terburu-buru, akibatnya UU ini tidak dilakukan pembahasan secara intensif.

Impor Sapi Siap Potong

Dalam rangka mengantisipasi puasa dan lebaran tahun ini, pemerintah melalui Menteri Perdagangan ternyata telah mengeluarkan izin impor triwulan II bagi sapi bakalan sebanyak 250.000 ekor. Untuk lebih mengantisipasi agar harga daging sapi tidak melonjak tajam pemerintah telah menerbitkan pula izin impor sebanyak 29.000 ekor sapi siap potong  (Detik finance, 18 Mei 2015). Kebijakan ini sungguh diluar dugaan, karena pada kasus ini jelas-jelas pemerintah sebenarnya telah melanggar UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan kesehatan hewan (PKH).  Dimana pada pasal 36B ayat 2, dinyatakan bahwa pemasukan ternak ke dalam negeri harus merupakan bakalan, bukannya sapi siap potong. Seharusnya, pasal ini bersifat pasal karet, yaitu yang bisa menerima berbagai kriteria sapi bagi kepentingan pengembangan sapi potong dan pemenuhan kebutuhan konsumen di dalam negeri. Kenyataan ini, merupakan masalah pertama yang dihadapi pemerintah terhadap UU No. 41/2014 yang sangat kontroversial.

Maksimum sekuriti

Kontroversi lainnya yang akan menjadi kendala bagi pembangunan peternakan sapi potong terhadap UU ini, adalah mengenai konsiderannya yang ditujukan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, dengan upaya maksimum sekuriti  terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak, hewan dan produk hewan dan upaya melakukan pencegahan penyakit hewan. Namun, realitanya dalam pasal pasal pada batang tubuh yang diubah dalam UU ini, malah justru sebaliknya yaitu menjadi minimum sekuriti. Misalnya pasal 59 ayat 2 pada UU No. 18/2009 bahwa produk hewan yang dimasukan ke Indonesia boleh dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan. Pasal ini sebenarnya telah diubah oleh MK menjadi ‘berasal dari suatu negara’ bukan berasal dari zona dalam suatu negara, tentunya dengan mempertimbangkan ‘maksimum securiti’. Namun faktanya, dalam UU No. 41/2014 hal tersebut muncul kembali di Pasal 36C. yaitu sebagai berikut: bahwa pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya. Pasal ini jelas-jelas tidak memperhatikan keputusan judicial review yang dilakukan oleh MK di tahun 2009 lalu. Walaupun dalam perubahan ini terdapat perbedaan antara komoditi produk hewan dengan ternak ruminansia indukan. Perbedaan komoditi pada UU No. 18/2009 dengan UU No. 41/2014 tidak serta merta menyebabkan rendahnya resiko yang akan terjadi terhadap berjangkitnya suatu penyakit hewan menular bagi ternak ruminansia.

Waktu Penggemukan Sapi

Kontroversi berikutnya, mengenai perkembangan inovasi teknologi feedlot yang tertera pada  pasal 36B ayat 5 yaitu:  bahwa setiap orang yang memasukkan bakalan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat) bulan sejak dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan. Ayat ini jelas-jelas bahwa pemerintah seolah tidak menghendaki usaha peternakan didalam negeri berkembang secara layak. Bahkan akibat pasal ini, tentunya para pengusaha penggemukan sapi potong akan mengalami kerugian. Hal ini disebabkan bahwa kemajuan teknologi penggemukan sapi potong dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dari empat bulan, katakanlah dua atau tiga bulan. Artinya, putaran investasi yang ditanam akan memberikan dampak putaran finansial dan ekonomi yang lebih luas lagi. Bukan sebaliknya, putaran modal menjadi lambat dan tidak memberikan manfaat ekonomi bagi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan.

Judicial Review ulang

Berdasarkan beberapa pasal yang sangat “kontroversial” tersebut, kiranya UU No.41 tentang PKH layak dilakukan judicial review ulang oleh para pemangku kepentingan. Sebab inti masalahnya adalah bahwa kebijakan zona base bisa diterapkan sepanjang pemerintah melakukan tahapan yang sesuai dengan saran Tim Analisa Resiko Independen (TARI) yang ditunjuk pemerintah di tahun 2008 lalu, sebagai berikut; (1) perlu dilakukan analisis akademik silang terhadap resiko dan manfaat dari zona base maupun country base. (2) adanya kesiapan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana serta sistem kesehatan hewan yang mampu mendukung program mitigasinya. (3) Kelayakan ekonomi finansial ditinjau dari biaya transportasi, loading dan unloading, karantina, pengawasan, dan lainnya. (4) Faktor keamanan yaitu jaminan terhadap lalu lintas keluar masuk wilayah/trace ability secara berkeberlanjutan, termasuk perangkat SPS dan ALOP (acceptable level of protection) untuk penyakit mulut dan kuku (PMK) dan (5) Ketersediaan dana tanggap darurat siap pakai, jika terjadi outbreak PMK, serta peningkatan kemampuan surveilan dan pelimpahan wewenang surveilan PMK dari Pusvetma di Surabaya ke laboratorium veteriner regional (BPPV/BB Vet) di seluruh Indonesia. Kesemua saran dan tindakan tersebut, tentunya berpegang kepada konsep maksimum sekuriti, terhadap kemungkinan peluang terjadinya outbreak penyakit hewan menular bila negeri ini mengadopsi zona based. Faktanya sampai saat ini, seluruh persyaratan yang diharuskan ada oleh tim TARI masih belum nampak secara signifikan…

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun