Mohon tunggu...
ROCHADI TAWAF
ROCHADI TAWAF Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fapet Unpad

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membangun Petani

16 Maret 2015   07:03 Diperbarui: 17 Maret 2017   06:00 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membangun petani tidak identik dengan membangun industri. Membangun petani, bukan membangun komoditi, tetapi membangun  usahataninya diatas suatu lahan hamparan. Selain itu, membangun petani berarti pula membangun budaya bangsa. Karena, membangun petani merupakan pilihan yang sangat strategis di bandingkan dengan bidang-bidang lainnya. Sebab, sebagian besar sekitar 34 % dari angkatan kerja yang ada adalah petani yang hidup di pedesaan. Kita hidup di tengah petani, kita makan dari hasil petani, dan kita bangun rumah kita dengan mengorbankan tanah petani, bahkan tidak sedikit orang menikmati kekayaan di kota dengan mengorbankan  nama petani.

Walau disadari bahwa negeri kini, merupakan negara yang menuju dan memposisikan diri sebagai pertanian yang berbasis industri. Akan tetapi ketangguhan sektor industri cukup rentan dalam situasi ekonomi global seperti saat ini. Lebih-lebih ketergantungannya terhadap bahan baku impor dan produknya berorientasi ekspor. Kenyataan ini memberikan indikasi, bahwa nilai manfaat pengembangan sektor pertanian lebih banyak dinikmati masyarakat ketimbang sektor industri. Rasanya, layak jika sektor pertanian akan tetap menjadi tulang punggung perekonomian rakyat, yang perlu diangkat dan diberdayakan bahkan terus dikembangkan secara berkelanjutan. Namun ekonomi pertanian rakyat yang berbasis teknologi industri tentunya.

Membangun pertanian = membangun budaya

Sebagian besar petani hidup di sub sistem budidaya dengan resiko yang paling besar, dibandingkan dengan sub sistem lainnya. Dengan rata-rata   penghasilannya masih  dibawah UMR, karena skala usahanya tidak ekonomis. Satu-satunya sektor ril, yang sangat kental dengan budaya bangsa adalah pertanian. Kata Pertanian” atau “Agriculture” (asal kata dari agri dan culture) bermakna bahwa pertanian berkaitan sangat erat dengan budaya masyarakat. Artinya, pertanian  tidak akan berkembang tanpa mengembangkan budayanya. Seperti diketahui bahwa tidak ada sektor lain yang menggunakan kata “culture”. Oleh karenanya pilihan membangun petani berarti pula membangun budayanya.

Kondisi petani di negeri kita saat ini, sebenarnya merupakan korban keganasan sifat manusia yang “homo economicus” yaitu selalu tidak pernah puas dengan apa yang dikosumsinya. Atau juga sebagai korban dari pesatnya pembangunan sektor industri dan jasa. Tidak sedikit berbagai alasan dilontarkan untuk menghindari berbisnis dengan petani, sehingga selalu petani yang jadi korban. Bisa dibayangkan, pertambahan penduduk yang cukup pesat, mengakibatkan perluasan lahan industri dan pemukiman yang banyak mengorbankan lahan usaha tani. Dampaknya, para petani mencoba membuka lahan baru, yang memang mereka tidak pernah mendapatkan petunjuk lahan mana yang harus digarap, sementara perutnya tidak dapat diajak kompromi untuk mendapatkan makan hari ini. Akibat lanjutnya, hutan ditebang untuk mudahnya jadi uang, ditambah provokasi dari pedagang orang kota yang “memancing di air keruh”. Yaitu, menampung produk hasil hutan tersebut. Bisa dibayangkan, hanya dalam tempo singkat, sebagian besar hutan gundul dibuatnya. Padahal, petani yang mencari kehidupan ditanahnya sendiri, seolah dituding sebagai biang keladi dari penggundulan hutan. Sebenarnya mereka hanya cari makan untuk mempertahankan hidupnya yang mulai tersisih akibat keganasan ekonomi global.

Membangun petani hakekatnya juga membangun budaya masyarakat. Artinya, membangun pilar yang paling dasar dengan kekuatan yang sangat luar biasa. Kita dapat melihat contoh di berbagai negera, misalnya, Jepang bangkit dengan kebesaran budayanya, demikian pula halnya dengan Cina, Inggris, Jerman dsb. Artinya, dengan membangun karakter budaya merupakan jaminan dalam keberhasilan membangun bangsa. Krisis ekonomi yang muncul tak hentinya saat ini pun sebenarnya merupakan manifestasi dari krisis karakter budaya masyarakat kita sendiri. Penghancuran karakter kebudayaan dapat terjadi dan dilakukan oleh masyarakatnya sendiri sebagai akibat terjadinya penetrasi budaya asing. Atau, budaya global yang merasuk ke negeri ini, sementara masyarakatnya telah meninggalkan budaya aslinya. Jika saja, budaya pertanian yang ada di negeri ini kita tinggalkan, sama halnya kita telah menghancurkan budaya kita sendiri.   Sepertinya akan terjadi penghancuran budaya bangsa (gnocide), hal ini mungkin terjadi jika pemimpin bangsa tidak mengerti terhadap kehidupan rakyat yang dipimpinnya.

Perlindungan petani

Kita masih ingat pula, sekitar tahun 1980-an negeri ini mampu menjaga swa sembada beras, begitu arah pembangunan dialihkan ke sektor industri, keterpurukan terjadi cukup mengerikan, dan puncaknya terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997, dimana   ketangguhan petani tidak terjaga. Akibat lanjutnya, negeri ini menjadi korban permainan perang ekonomi dunia, khususnya bagi negara-negara adidaya. Sehingga, hampir seluruh komoditi pertanian di negeri ini tergantung dari hasil pertanian negara lain. Mulai dari beras, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan dan hortikultura seluruhnya dipenuhi oleh impor, padahal negeri ini adalah negara agraris.

Melindungi petani, adalah melindungi kehidupannya secara totalitas. Artinya melindungi, kehidupan sosial, budaya dan ekonomiya. Jika saja kita bicara kebutuhan petani maka seluruh aspek kehidupan yang akan menunjangnya perlu dilihat. Berbagai kebijakan pembangunan pertanian harus memiliki rasa keberpihakan kepada petani. Bagaimana kita melindungi petani dari ancaman globalisasi ekonomi ? jika berbagai kebijakan yang ada tidak berpihak kepada petani. Peningkatan produksi dengan standar kualitasnya  dan menjaga pasar dalam negeri menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Kata kunci membangun pertanian adalah membangun sumberdaya petani itu sendiri yang diarahkan kepada pendidikan informal dan kejuruan masyarakat pertanian, berlandaskan kepada kepada jiwa “enterpreneurshipyang selama ini telah banyak ditinggal oleh para pemuda tani. Pola ini diharapkan akan mampu meningkatkan investasi di bidang pertanian. Karena pada dasarnya,   meningkatkan daya saing produksi hasil usahatani, adalah kemampuan meningkatkan teknologi dan keterampilan pemuda tani dalam berusaha tani.

Melindungi petani di era pasar bebas berarti pula memberikan kesamaan perlakuan yang diberikan pemerintah terhadap petani di dalam negeri dengan petani di negara-negara lainnya. Sepertinya  banyak sekali ketidak adilan yang dirasakan petani di negri ini, bila  dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan pemerintah terhadap petani di negeri lain. Misalnya, perkembangan penggunaan teknologi dan modal. Akibatnya, mudah ditebak, produk pertanian kita tidak memiliki daya saing. Jika saja pemerintah negeri ini, tidak memandang setengah hati maka yang diperlukan membangun negeri adalah bagai mana membangun petani yang tidak setengah hati…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun