Orang tuanya yang tinggal di luar kota mulai khawatir dengan perubahan sikap Bima. Mereka mencoba menghubunginya berkali-kali, tapi Bima selalu mengelak dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
Pada suatu malam yang sunyi, Bima duduk di tepi tempat tidurnya, merenungi segala yang telah terjadi. Ia menyadari bahwa kecurigaan dan ketidakpercayaannya telah menghancurkan hal-hal terbaik dalam hidupnya, persahabatan, kesempatan karir, dan bahkan kepercayaan pada diri sendiri.
“Gue udah hancurin semuanya,” gumamnya.
Bima memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir deras. Ia merasa benar-benar sendirian dan kehilangan arah. Masa depan yang dulu terlihat cerah kini tampak begitu suram.
Di tengah kegelapan kamarnya, Bima menyadari bahwa ia telah membuat kesalahan besar yang mungkin tak bisa diperbaiki. Persahabatan yang dulu menjadi kekuatannya kini hanya tinggal kenangan. Dan semua itu terjadi karena kecurigaan dan ketidakpercayaannya sendiri.
Malam itu, Bima tertidur dengan hati yang hancur, berharap ia bisa kembali ke masa lalu dan mengubah segalanya. Namun, ia tahu itu tidak mungkin. Yang tersisa hanyalah penyesalan mendalam dan masa depan yang tidak pasti.
Bima menulis dua surat, satu untuk Trisha dan satu untuk Rama. Ia ungkapkan semua penyesalannya dan memohon maaf atas segala kesalahannya. Namun, Bima menyadari bahwa ia tidak tahu di mana Trisha dan Rama tinggal sekarang.
Setelah berpikir sejenak, Bima memutuskan untuk mengirim surat tersebut ke alamat email mereka. Meskipun ia tahu kemungkinan besar email itu akan diabaikan atau bahkan tidak dibaca, setidaknya ia telah mencoba untuk menyampaikan permintaan maafnya.
Dengan tangan gemetar, Bima mengetik email tersebut, melampirkan surat yang telah ia tulis, dan menekan tombol ‘kirim’. Ia tidak berharap banyak, tapi setidaknya ia telah mencoba untuk melakukan hal yang benar di akhir perjalanannya di kota ini.
Keesokan paginya, dengan hati berat, Bima meninggalkan kos dan kehidupan kuliahnya. Ia pergi dengan membawa penyesalan mendalam dan harapan yang pupus, tanpa tahu apakah Trisha dan Rama akan pernah membaca permintaan maafnya.
Bima memandang ke luar jendela bis, melihat pemandangan yang berubah. Pohon-pohon dan rumah-rumah dilewati dengan begitu cepat, seperti lembaran-lembaran masa lalunya yang kini ia tinggalkan. Saat bis melintasi sebuah jembatan, matanya terpaku pada aliran sungai di bawah.