Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buyarnya Mimpi dan Asa Generasi Muda Rohingya

28 Agustus 2023   08:44 Diperbarui: 28 Agustus 2023   08:58 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada yang pernah membayangkan bagaimana kehidupan desa yang asri di bagian Barat Myanmar dapat dengan sekejap berubah menjadi tragedi kemanusiaan yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.

Awal Tragedi

Kehidupan masyarakat Rohingya memang tidaklah berlebihan namun paling tidak dapat menjalani kehidupan harnomisnya  dengan kekayaan alam di wilayah mereka tinggal di Myanmar. Kehidupan harmonis ini kelak terbukti sebagai  kehidupan semu karena  di tengah tengah damainya kehidupan ini bara api dalam sekam  berupa ketegangan antara kelompok  Rohingya dan Rakhine secara konstan mengancam kehidupan mereka. Api dalam sekam ini muncul ke permukaan menjadi kobaran api kebencian etnis dan agama yang tidak terkendali di tahun 2012 ketika tersebar kabar sekelompok pemuda Rohingya memperkosa seorang gadis yang beragama Budha.

Kejadian ini menjadi titik balik kehidupan masyarakat Rohingnya karena sejak peristiwa tersebut  operasi militer  dilakukan oleh Myanmar yang oleh dunia dikategorikan sebagai ethnic cleansing  yang mengakibatkan jutaan etnis Rohingya mengungsi ke perbatasan Bangladesh untuk memulai kehidupannya yang penih dengan ketidakpastian.

Lost Generation

Di tempat pengungsian inilah tumbuh dan berkembang masyarakat Rohingya dengan segala keterbatasannya untuk berjuang melanjutkan hidup mereka.  Kehidupan mereka berubah total mejadi kehidupan yang penuh ketidakpastian akan masa depan, ketakutan,keseharan yang buruk dan kelaparan.

Tragedi kemanusiaan ini sudah belangsung selama lebih dari enam tahun,  namun dunia (utamanya negara Barat) menutup mata dan telinganya  sehingga sampai saat ini tidak ada pemecahan masalah yang permanen. Di lain pihak situasi sangat berbeda  ketika negara Barat berlomba menawarkan diri untuk menampung pengungsi Ukraina.

Enam tahun merupakan waktu yang cukup menakutkan bagi anak anak  yang menjadi pelaku sejarah yang ikut mengungsi meninggalkan Myanmar karena mereka kini tumbuh menjadi pemuda yang dirundung ketidakpastian masa depan mereka terutama terkait dengan pendidikan.

Pengungsi Rohingya yang kini menempati tempat pengungsian yang terbesar di dunia ini kini dipenuhi oleh pemuda yang beranjak dewasa yang hilang impiannya. Jika pemuda sebayanya banyak yang bercita cita menjadi pengacara, dokter, guru dll nya, sebaliknya pemuda Rohingya hidup di batas kawat berduri yang sama sekali tidak memiliki akses pendidikan formal. Dalam kehidupan yang serba terbatas ini kaum muda Rohingya bahkan kehilangan haknya untuk bermimpi untuk menggapai cita citanya melalui pendidikan yang lebih baik.

Buyarnya mimpi generasi muda Rohingnya ini tidak lepas dari kondisi nyata yang menunjukkan bahwa 96% dari generasi muda ini merupakan pengangguran.  Survey yang dilakukan oleh Norwegian Refugee Council (NRC) pada tahun 2022 lalu cukup memberikan gambaran kesuraman masa depan mereka.

Jika ditelisik lebih dalam lagi maka kondisi yang lebih memprihatinkan terjadi pada kelompok gadis dan wanita.  Pada kenyatannnya sebagian besar gadis dan wanita Rohingya tinggal  di rumah yang tidak lebih menjadi tahanan. Walaupun ada diantara mereka mendapatkan pendidikan non formal, namun tetap saja tidak menyentuh kebutuhan dasar mereka akan pendidikan. Ketika usia mereka beranjak 18 tahun umumnya mereka akan menikah kerena  tekanan keamanan dan ekonomi dan selanjutnya memiliki anak dan anak anak mereka akan memasuki masa siklus ketidakpastian masa depan ini.

Bantuan internasional yang sangat minim berupa biaya makan  yang jauh dari cukup tidak saja menjadikan pengungsi Rohingya ini hidup dalam kemiskinan namun juga menghadapi bahaya lost generation akibat kekurangan gizi. Dalam situasi seperti ini pemuda Rohingya membutuhkan pendidikan vokasi yang akan memberikan mereka keterampilan praktis agar dapat bertahan hidup  dan mendapatkan penghasilan, namun tampaknya harapan ini masih belum menjadi kenyataan karena perlu dana khusus dari negara donor untuk merealisasikan hal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun