Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Warisan Kolonialisme Perancis Tuai Badai Pergolakan di Afrika

19 Agustus 2023   07:50 Diperbarui: 21 Agustus 2023   16:03 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kudeta militer yang baru saja terjadi di Nigeria yang menggulingkan pemerintahan sipil merupakan salah satu contoh warisan kolonialisme Perancis yang menebar benih perpecahan dan kemiskinan di wilayah Sahel Afrika.

Wilayah Sahel di Afrika ini memang telah berubah menjadi sumber pergolakan, kekeraran dan konflik bersenjata yang menimbulkan ketidak stabilan dan juga menjadi tumbuhnya benih terorisme internsional seperti kelompok Boko Haram dan ISIS.

Jadi tidak heran jika hasil studi Institut Ekonomi dan Perdamaian yang berbasis di Australia, menunjukkan bahwa wilayah ini menyumbang sebesar 43% angka kematian di dunia akibat aktivitas terorisme.

Wilayah Sahel terdiri dari 10 negera. Photo: www.prb.org 
Wilayah Sahel terdiri dari 10 negera. Photo: www.prb.org 

Kini wilayah Sahel di Afrika ini telah menjadi kumpulan negara termiskin di dunia sekaligus wilayah yang paling labil secara politik dan ekonomi. Tidak hanya sampai disitu saja wilayah ini merupakan sarang korupsi yang terparah di dunia, kemiskinan ekstrim dan pengangguran masal.

Katimpangan sosial dan konflik politik di wilayah ini tidak lepas dari warisan kolonialisme Perancis dan negara Barat yang memicu ketidakadilan yang telah berlangsung sangat lama, oleh sebab itu tidak heran walaupun negara barat berusaha menjaga stabilitas di wilayah ini tetap saja situasinya semakin memburuk dan akhirnya memicu kudeta.

Tidak banyak yang menyadari bahwa sentimen anti Perancis yang terjadi di wilayah ini berperan besar dalam pergolakan di wilayah ini dan membuka pintu bagi militer untuk berkuasa.

Di masa kolonialisme Perancis, rakyat di negara jajahan sudah akrab dengan tindakan brutal, kerja paksa, penindasan, penghapusan budaya serta segregasi yang membuat masyakat di wilayah ini menderita lintas generasi.

Dalam situasi kebathinan seperti ini tidak heran jika gerakan anti Perancis memang tumbuh subur dan para pemberontak memanfaatkan situasi ini untuk memunculkan kelompoknya sebagai pahlawan anti Perancis sekaligus melawan pemerintah boneka yang disponsori oleh Perancis.

Jadi sangat bisa dipahami jika pemerintahan militer disambut hangat di Mali, Burkina Faso, Chad dan Nigeria karena dianggap lebih menjanjikan dibandingkan dengan pemerintahan boneka yang dibentuk oleh Perancis.

Pergolakan dan konflik politik di wilayah ini bukanlah sesuatu yang baru dan mendadak. Krisis ini sudah mulai muncul di tahun 2012 lalu ketika pemerintah Mali yang pro Perancis meminta bantuan Perancis untuk mengatasi krisis keamanan yang semakin memburuk.

Campur tangan Perancis ini ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah sehingga di tahun 2014 Perancis mengirim pasukan sebanyak 5.100 yang disebar di wilayah Shael yang dikenal dengan operasi Barkhane.

Tentara Perancis yang ditempatkan di Mali dalam operasi Barkhane. Photo: French Ministry of Defense 
Tentara Perancis yang ditempatkan di Mali dalam operasi Barkhane. Photo: French Ministry of Defense 

Pada kenyataannya operasi yang memakan biaya sangat besar ini gagal menyelesaikan pergolakan keamanan dan sebagai reaksi dari operasi Perancis ini, kelompok bersenjata meningkat kekuatannya dan menargetkan sipil sebagai salah satu targetnya untuk melemahkan pemerintah. Akibatnya situasi keamanan di wilayah ini semakin memburuk dan sentimen anti Perancis semakin meningkat.

Konflik di Mali ini akhirnya berujung pada kudeta militer untuk menggulingkan pemerintahan pro Perancis. Kudeta ini tentunya memperburuk hubungan antara Mali dengan Perancis apalagi pemerintahan yang baru memilih untuk bersekutu dengan tentara bayaran dari Rusia yaitu kelompok Wagner yang membantu mengatasi masalah keamanan di negara ini.

Sentimen anti Perancis ini ternyata semakin tumbuh subur dan puncaknya di tahun 2022 lalu Mali mengusir duta besar Perancis dan ribuan Masyarakat turun ke jalan untuk mengungkapkan sentimen anti Perancisnya.

Dalam situasi yang tidak menguntungkan ini Perancis memilih untuk memindahkan pasukannya ke Nigeria yang akhirnya juga meningkatkan gerakan anti Perancis dan memicu kudeta di Nigeria.

Sentimen anti Perancis di negara negara bekas jajahannya ini kini mengelinding ibarat bola salju yang tidak dapat dihentikan lagi dan hal ini diperparah dengan lebih mementingkan opsi militer dibandingkan dengan menyelesaikan akar permasalahannya.

Warisan kolonialisme Perancis yang menimbulkan penderitaan, ketidakadilan ekonomi serta penindasan sama sekali tidak disentuh oleh pemerintahan boneka dan Parancis.

Perbedaan sudut pandang penyelesaian maslaah inilah yang akhirnya memicu efek domino terjadinya kudeta militer di banyak negara bekas jajahan Perancis.

Masuknya pengaruh Rusia di wilayah ini menjadi era baru bagi negara negara di Afrika untuk menghilangkan dominasi negara barat di benua ini dalam waktu dekat memang memberikan harapan baru bagi Afrika, namun dalam jangka panjang dapat saja menimbulkan konflik baru karena tentunya negara Barat tidak rela dominasi dan keberadaannya di Afrika terusik Rusia.

Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun