Saat menjelang pemilu bulan Mei lalu rakyat Thailand dengan gegap gempita dan antusias menyambut pemilu yang diharapkan menjadi era baru demokrasi Thailand.
Di samping itu pernyataan Perdana Menteri Thailand dari kalangan militer yang akan mengundurkan diri memberikan secercah harapan bagi rakyat Thailand akan niat "menyingkirnya" militer dalam dominasi perpolitikan Thailand.
Pemilu bulan Mei lalu telah berjalan dengan sukses dan lancar tersebut diikuti oleh sekitar 70 juta pemilih antusias utamanya kalangan generasi milenial dan generasi Z yang menginginkan perubahan dalam demokrasi Thailand.
Namun apa yang terjadi dengan sistem kursi dan penentuan Perdana Menteri yang tertuang di undang undang, hasil pemilu yang memunculkan pemenang ini mengalami jalan buntu, karena kemungkinan besar pemenang pemilu tidak akan terpilih menjadi Perdana Menteri.
Kebuntuan ini membuat Thailand memasuki era ketidak pastian dan tidak menutup kemungkinan akan bergejolak kembali karena sudah lebih dari 3 bulan seusai pemilu negara gajah putih belum memiliki perdana Menteri baru, dan belum membentuk pemerintahan baru.
Sejumlah unjuk rasa memprotes kebuntuan ini sudah mulai bermunculan karena rakyat Thailand sudah mulai muak dengan lagu lama terkait cengkerangam militer yang masih sangat kuat.
Perpolitikan Thailand memang tidak pernah terlepas dari pengaruh militer karena sebagian besar pemerintahan dibentuk dari hasil kudeta militer.
Cengkeraman militer yang sangat kuat ini cerminan dari undang undang yang dihasilkan dan diberlakukan yang pada intinya melestarikan kekuatan monarki dan kekuatan militer dalam hampir semua sendi kehidupan Masyarakat.
Sebagai contoh, dalam salah satu pasal di undang undang disebutkan dengan jelas bahwa Senat yang ditunjuk oleh militer berhak memutuskan siapa yang akan menjadi perdana Menteri.
Artinya apapun hasil pemilu tidak akan ada artinya jika tidak mendapat restu dan bekerjasama dengan pihak militer.