Di awal rutinitas Hachiko yang setia menunggu majikannya ini, keberadaaannya di stasiiun kereta dianggap sebagai gangguan oleh karyawan stasiiun kereta  dan pernah disiram oleh petugas  dan dipukul anak anak..
Namun kesetiaan Hachiko yang masih menunggu kepulangan majikannya yang telah meninggal ini menjadi perhatian nasional ketika di bulan Oktober 1932 ceritanya dimuat di koran nasional Tokyo Ashahi Shimbun. Â
Sejak pemberitaan tersebut Hachiko menerima simpati banyak orang dan juga kiriman makanan  dan minuman yang berasal dari sumbangan orang orang yang bersimpati pada Hachiko.
Secara bertahap makin banyak orang yang mengunjungi dan ingin melihat  langsung Hachiko sampai akhirnya di tahun 1934 diadakan penggalangan dana untuk mengabadikan kesetiaan Hachiko ini dalam bentuk patung.
Kematian Hachiko pada 8 Maret 1935 menjadi headline di berbagai koran dan majalah nasional. Bahkan pada pemakaman Hachiko biksu Budha turut mendoakan Hachiko dan banyak pejabat memberikan pujian akan kesetiaan Hachiko.
Kematian Hachiko tidak memupuskan cerita kesetiaannya, karena setiap  harinya ribuan orang mengunjungi Hachiko walaupun dalam bentuk patung.
Hachiko tidak hanya sekedar anjing, namun banyak kalangan yang  berpendapat bahwa prilaku Hachiko dapat dianggap sebagai gambaran orang jepang yang ideal  dengan ciri pengabdian yang tidak perlu dipertanyakan lagi, kesetiaan yang dapat  diandalkan, patuh pada majikan, penuh pengertian, serta tidak tergantung pada rasionalitas.
Hachiko kemungkinan menyadari bahwa majikannya telah meninggal, namun dirinya terus setia menunggunya.
Hachiko memberikan pelajaran bagi kita sekaligus menanamkan nilai batapa pentingnya menjaga kepercayaan yang kita terima dan arti hakiki sebuah kesetiaan.
Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima