Dalam memutuskan untuk belajar di luar negeri tentunya banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan sebelumnya utamanya kekuatan finansialkarena umumnya stui memerlukan waktu yang cukup lama.
Seringkali pelajar ataupun mahasiswa yang studinya atas biaya pribadi hanya mempertimbangkan tuition fee (SPP) saja dan lupa mempertimbangkan biaya hidup lainnya yang melekat ketika belajar di luar negeri seperti biaya akomodasi, biaya hidup, asuransi dan kebutuhan lainnya yang terkait dengan studi.
Selama ini Australia merupakan salah satu negara favorit sebagai tujuan studi pelajar dan mahasiswa internasional termasuk Indonesia karena dianggap mutu pendidikannnya baik dan juga dekat dengan Indonesia sehingga lebih mudah ditengok orangtua, keluarga dan juga berlibur pulang ke Indonesia.
Namun kini anggapan bahwa studi di Australia lebih murah tampaknya tidak pas lagi karena peningkatnya biaya hidup dan akomodasi di Austrlia kini menjadi permasalahan utama bagi para mahasiswa internasional yang belajar di Australia.
Meroketnya Pendidikan
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh mastersportal.com pada tahun 2022 rata rata tuition fee (SPP) adalah Rp 197 juta-Rp 445 juta lebih per tahun untuk program BSc, dan Rp 217 juta-Rp 494 juta lebih per tahun untuk program Master dan PhD.
Di samping itu ada dua biaya utama lagi yang harus dikeluarkan yaitu biaya akomodasi dan biaya hidup.
Tingginya biaya hidup dan akomodasi ini kini sudah mulai berdampak pada mahasiswa karena menguras pikirannya bagaimana agar dapat bertahan dan menyelesaikan studinya.
Banyak diantara mahasiswa internasional ini kini mengalami stress karena dihinggapi rasa khawatir akan kelangsungan studinya dan kekhawatiran tidak dapat lagi menutupi biaya akomodasi dan biaya hidup.
Berdasarkan informasi yang di dapat dari halaman informasi ketika akan membuat visa pelajar, Departemen Dalam Negeri Australia merekomendasikan besaran biaya hidup yang harus disediakan minimal sebesar Rp 207 juta lebih per tahun.Â
Informasi ini tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya dan belum diperbarui lagi sejak tahun 2019 lalu, sehingga informasi ini dianggap menyesatkan karena biaya hidup meningkat tajam pasca pandemi.
Biaya hidup sebesar ini kini sudah tidak relevan lagi karena dengan biaya hidup sebesar ini utamanya di kota besar akan sulit bagi mahasiswa untuk hidup secara normal.
Krisis biaya akomodasi ini juga menimbulkan eksploitasi agen agen pengelola mahasiswa internasional ini utamanya di kota kota besar karena mereka dipaksa untuk tinggal di perumahan yang mahal dan juga kurang nyaman.
Sebagai gambaran biaya akomodasi untuk apartemen satu kamar tidur di kota besar yang ditawarkan umumnya berkisar antara Rp 3 juta hingga Rp 6 juta lebih per minggu.
Kita tentunya dapat membayangkan jika dalam memutuskan untuk sekolah di Australia biaya hidup dan akomodasi tidak dipertimbangkan tentunya dapat membuat stress utamanya bagi mahasiswa yang studi atas biaya pribadi dan juga tentunya orang tua.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perang dagang dan ketidak harmonisan hubungan antara Tiongkok dan Australia dan pandemi menghantam perekonomian Australia.
Di samping itu perang Rusia dan Ukraina juga turut berperan dalam meningkatkan biata hidup, biaya akomodasi dan biaya lainnya daam kurung waktu 3 tahun terakhir ini.
Ketegangan antara Tiongkok dan Australia memang menimbulkan dampak yang luar biasa pada mahasiswa dari Tiongkok, karena sebelumnya memang jumlah mahasiswa internasional terbanyak di Australia berasal dari Tiongkok dan umumnya studi atas biaya sendiri.
Bagi Australia mahasiswa internasional merupakan salah satu tulang punggung pendapatan yang menudukung perekonomian Australia.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh University Australia, pada tahun 2022 mahasiswa internasional menyumbang sebesar Rp 287 triliun lebih dan jumlah ini tentunya tidaklah sedikit dan sangat siknifikan mendukung perekonomian Australia.
Meroketnya biaya pendidkan, biaya hidup dan biaya akomodasi ini kini diperparah dengan meningkatnya biaya visa dan juga adanya pembatasan jam kerja yang lebih ketat bagi mahasiswa internasional.
Faktor lain yang juga mengemuka adalah sentimen negatif terhadap mahasiswa internasional utamanya dari Asia membuat makin banyak calon pelajar dan mahasiswa yang mengurungkan niatnya untuk belajar di Australia.
Sentimen negatif terhadap mahasiswa internasional ini salah satunya karena keberadaan mereka dianggap sebagai pemicu peningkatan biasa sewa apartemen dan rumah. Sehingga umpatan kebencian terhadap mahasiwa internasional ini di Australia semakin meningkat di dunia maya.
Peningkatan biaya pendidikan, biaya hidup dan biaya akomodasi utamnya pasca pandemi merupakan masalah yang kompleks karena menyangkut kebijakan, fundamental perekomian dan juga ketegangan antara Tiongkok yang Australia yang masih terjadi dalam kurung waktu paling tidak 8 tahun terakhir yang berimbas pada perekonomian Australia.
Namun yang jelas, Australia yang dulunya dianggap sebagai salah satu negara tujuan melanjutkan terbaik yang lebih murah kini tidak berlaku lagi karena jika ditotal biaya tuition fee, biaya hidup, asuransi dan biaya akomodasi yang harus dikeluarkan, kini Australia menjadi salah satu negara tujuan studi yang mahal.
Kini penyedia beasiswa pun sudah mulai berpikir panjang dalam mengrimkan karya siswa ke Australia karena biaya total mengirimkan 1 mahasiswa studi ke Australia kini setara dengan mengrimkan 3 mahasiwa ke negara lain.
Disamping itu beasiswa yang dikeluarkan oleh pemerintah Australia bagai mahasiswa Indonesia kini jauh sangat berkurang jika dibandingkan dengan di era tahun 1990 an.
Ke depan pamor Australia sebagai destinasi pendidikan lanjut tampaknya akan semakin memudar, bukan karena kualitas pendidikannya yang kurang baik, namun karena biaya studi di Australia ini akan semakin tidak terjangkau.
Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H