Saddam Hussein yang saat itu dianggap sebagai pimpinan otoriter kini memang telah tiada, namun iming-iming yang dijanjikan Amerika dan sekutunya bahwa pasca kematian Saddam Hussein, Irak akan terbebas dari belenggu otoriter dan lebih aman ternyata tidak terjadi.
Pasca runtuhnya kepemimpinan Saddam Hussein, Irak terluka parah karena kerusakan ekonomi dan pergolakan politik yang tidak henti-hentinya melanda negara itu pasca invasi Amerika dan sekutunya.
Perang Irak yang dikobarkan oleh Amerika dan sekutunya ini memakan korban jiwa sebanyak 200.000 dari warga sipil Irak dan sekitar 4.500 tertara Amerika yang terbunuh.
Invasi Amerika dan sekutunya ini ternyata menimbulkan efek domino yang mengakibatkan ketidakstabilan politik dan ekonomi sampai saat ini.
Jika kita tengok kembali sejarah, sebelum invasi Amerika terjadi, Saddam Hussein melakukan invasi ke Kuwait pada tahun 1990.
Invasi ke Kuwait inilah yang membuat Amerika mulai merancang penghancuran Saddam Hussein dengan cara menanamkan fondasi demokrasi liberal di Irak yang diharapkan menimbulkan gelombang gerakan penggulingan Saddam Hussein.
Jika dianalisis lebih dalam lagi maka invasi yang dilakukan oleh Amerika ke Irak ini tidak terlepas dari serangan 9/11 yang terjadi pada tahun 2001 yang mempermalukan Amerika di mata dunia.
Invasi Amerika dan sekutunya ini memang dengan waktu yang singkat berhasil melumpuhkan militer Irak dan merebut Baghdad yang setiap malam dihujani peluru kendali yang diluncurkan dari berbagai arah oleh Amerika dan sekutunya.
Dalam waktu 3 minggu saja pasukan Amerika berhasil menguasai Bagdad dan membuat Saddam Hussein tersingkir dan melarikan diri.
Peristiwa tersebut dianggap sebagai kemenangan besar Amerika yang dikampanyekan sebagai upaya membebaskan rakyat Irak dari rezim Saddam Hussein sekaligus mengembalikan reputasinya yang rusak akibat serangan 9/11.