Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pelajaran Berharga dari Krisis Kependudukan Jepang

2 Maret 2023   12:16 Diperbarui: 2 Maret 2023   12:33 1152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo:  headtopics.com 

Data yang baru saja dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dua hari lalu membuat Jepang pusing tujuh keliling.

Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk meningkatkan kembali angka kelahiran dan jumlah penduduknya namun belum membuahkan hasil yang meggembirakan.

Penurunan Angka Kelahiran

Dari segi struktur populasi, penduduk Jepang kini mengalami krisis populasi karena terjadinya menurunan angka kelahiran sementara jumlah penduduk usia lanjut semakin bertambah.

Sebagai negara industri kondisi ini sangat memprihatinkan karena terkait dengan tenaga kerja yang saat ini sudah mulai diisi oleh tenaga kerja dari luar Jepang untuk mengisi kekosongan tenaga kerja agar roda industri dan perokonomiannya terus berputar.

Data angka kelahiran jepang yang baru dikeluarkan beberapa hari lalu memang sangat mengkhawatirkan karena mencatat rekor penurunan yang sangat tajam dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini.

Data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Jepang menunjukkan bahwa pada tahun 2022 lalu hanya ada sebanyak 799.728 kelahiran saja yang merupakan pertama kalinya berada di bawah 800 ribu kelahiran.

Jepang memang harus khawatir karena angka kelahiran yang terjadi di tahun 2022 ini hanya kurang lebih setengahnya  saja jika dibandingkan dengan angka kelahiran di tahun 1982 lalu yaitu mencapai 1,5 juta jiwa.

Angka ini menunjukkan bahwa tren penurunan angka kelahiran di Jepang sudah kronis dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini.

Tidak hanya sampai disitu saja, angka kematian di Jepang justru meningkat yang mencapai rekor 1,58 juta kematian  pada tahun lalu yang merupakan rekor tertinggi pasca era perang.

Jika ditelisik lebih dalam lagi fenomena dimana angka kematian melebihi angka kelahiran yang terjadi di Jepang ini akan menjadi masalah yang sangat serius.

Dari sisi perekonomian Jepang kini menghadapi masalah yang sangat serius seperti meningkatnya jumlah lansia, menyusutnya tenaga kerja, pendanaan pesiun yang semakin meningkat, serta peningkatan biaya kesehatan akibat semakin menuanya populasi.

Di era tahun 1980an dimana ketika itu perekomoian Jepang mencapai masa  jayanya, Jepang belum mengalami masalah kependudukan ini, namun jika dilihat setelah era tersebut populasi Jepang terus mengalami tren penurunan sehingga di tahun 2021 penduduk Jepang hanya mencapai 125,5 juta saja.

Penurunan angka kelahiran di Jepang ini tentunya tidak terlepas dari penurunan tingkat kesuburan penduduk Jepang yang saat ini hanya mencapai 1,4 saja jauh dari angka 2,1 yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas populasi.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya jumlah penduduk lansia Jepang kini semakin meningkat dan mencapat Jepang sebagai salah satu negara yang harapan hdupnya tertinggi di dunia.

Sebagai gambaran di tahun 2020 berdasarkan data yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang,  jumlah penduduk Jepang yang usianya  100 tahun atau lebih mencapai 1.500 orang.

Perubahan Sosial

"Keengganan" masyarakat Jepang untuk memiliki anak memang dapat dimengerti karena biaya hidup di Jepang sangat tinggi.  Disamping itu keterbatasan ruangan dan kurangnya dukungan pemerintah dalam pengasuhan anak utamanya di wilayah perkotaan membuat keluarga kesulitan dalam membesarkan anak.

Dalam situasi seperti ini tidak heran jika jumlah pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak semakin besar utamanya di kota kota besar.

Disamping itu pertumbuhan perekonomian negara Jepang  sudah mulai berhenti sejak tahun 1990 an sehingga menyebabkan terjadinya  upah yang diterima oleh pekerja. 

Dalam kondisi seperti inilah tidak heran jika hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga keuangan Jefferies di tahun 2022 menempatkan Jepang sebagai salah satu negara termahal untuk membesarkan anak.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan Jepang rara rata pendapatan  rumah tangga Jepang per tahun menurun dari 6,59 juta yen (sekitar Rp 737.673.397.00) di tahun 1995 lalu menjadi hanya 5.64 juta Yen (sekitar Rp 631.332.012.00) pada tahun 2020 lalu.

Kondisi penurunan pendapatan ini tentunya juga memiliki andil besar dalam penurunan angka kelahiran.

Disamping itu di Jepang juga telah terjadi perubahan sosial terkait dengan pernikahan dan kapan memutuskan memiliki anak.

Saat ini terjadi peningkatan  tren jumlah pasangan yang menunda pernikahan dan memiliki anak semakin meningkat akibat pesimisnya menghadapi masa depan yang akan lebih baik.

Terjadi juga di Korea Setalan dan Tiongkok

Kondisi kependudukan yang semakin memburuk di Jepang ini juga terjadi di Korea Selatan, dimana negara ini mencatat tingkat kesuburan yang terendah di dunia.

Hal ini berarti Korea Selatan juga sedang menghadapi permasalahan yang sama dengan Jepang dalam hal krisis pertambahan penduduk.

Mungkin diantara pembaca ada yang bertanya bagaimana dengan Tiongkok yang kita kenal sebagai negara paling padat penduduknya di dunia?

Hal yang sama dengan Jepang dan Korea Selatan terjadi juga di Tiongkok dimana pada tahun 2022 Tiongkok mengalami penyusutan jumlah penduduknya untuk pertama kalinya sejak tahun 1960 lalu dan kini gelar Tiongkok sebagai negara  paling banyak penduduknya diambil oleh India.

Jumlah dan kualitas penduduk sangat menentukan masa depan suatu bangsa, semoga apa yang sedang terjadi di Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi Indonesia dalam menyongsong masa depan yang lebih baik.

Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun