Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kerikil Tajam Diplomasi Joe Biden di Timur Tengah

17 Juli 2022   08:12 Diperbarui: 18 Juli 2022   06:40 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joe Biden berbicara di pertemuan GCC.| Photo: Mandel Ngan/AFP

Dalam minggu ini media dihiasi dengan rangkaian kunjungan Presiden Ameika Joe Biden ke kawasan Timur Tengah.

Kunjungan ini memang dihadang oleh pesimisme akan keberhasilannya, karena secara politis ketika pasukan Amerika meninggalkan Irak dan Afghanistan, maka pengaruh Amerika sudah sirna di kawasan yang bergejolak ini.

Penyelesaian masalah pendudukan Israel di tanah Palestina yang tidak pernah dan tidak akan terselesaikan karena keberpihakan Amerika pada Israel menjadi masalah klasik bagi negera negara di kawasan ini karena politik luar negeri Amerika yang tidak mengakar pada tradisi dan budaya yang di kawasan ini.

Amerika memang tampaknya sudah menganggap bahwa kawasan Timur Tengah ini tidak menarik lagi baik secara politis dan juga sebagai pasar penjualan senjatanya.

Namun dampak perang Rusia dan Ukraina lah yang membuat Amerika terpaksa menggarap kembali wilayah ini, bukan untuk kepentingan negara-negara di Timur Tengah namun untuk kepentingan Amerika semata.

Lonjakan harga minyak karena kekurangan pasokan membuat Amerika menghadapi masalah besar dalam perekonomiannya yang diterjang inflasi.

Jadi dapat dibaca dengan jelas maksud kunjungan Joe Biden ini utamanya untuk menegosiasikan kemungkinan peningkatan produksi minyaknya untuk menyelamatkan Amerika dari keterpurukan ekonominya lebih lanjut.

Gaya Koboi 

Apa yang diungkapkan oleh Joe Biden di awal kunjungannya ini mencerminkan gaya diplomasi koboi Amerika yang khas yaitu menuruh pistol di meja sebelum memulai diskusi.

Jelas sekali Joe Biden menyatakan bahwa kunjungannya ke Timur Tengah adalah untuk mengisi kembali kekosongan pengaruh politik yang ada dan mencegahnya kekosongan ini dimasuki oleh Tiongkok, Rusia, dan Iran.

Kedua, kunjungan ini dimaksudkan untuk menekankan kembali sikap Amerika yang tidak akan membiarkan Iran memiliki senjata nuklir

Ketiga, Amerika menekankan kembali bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia di negara-negara Timur Tengah tidak boleh terjadi.

Dalam hal HAM ini bahkan dalam pertemuannya dengan Pangeran Saudi Mahammad Bin Salman (MBS) Amerika menyinggung dan mengingatkan kembali kasus pembunuhan Jamal Khashoggi yang menurut versi Amerika meilibatkan langsung pangeran Saudi ini.

Pernyataan Joe Biden ini tentu saja mengundang reaksi keras dari Arab Saudi yang langsung disampaikan oleh menteri luar negerinya bahwa Pangeran MBS tidak terlibat dan Amerika harus ingat akan pelanggaran HAM yang masif dengan adanya fasilitas penahanan khusus di Guantanamo yang menangkap dan menahan tanpa pengadilan orang-orang yang diduga terlibat dalam serangan 9/11 yang mencoreng nama Amerika.

Kunjungan Joe Biden ini memang disengaja bertepatan dengan KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) yang sedang berlangsung dan dihadiri oleh Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab, dan Jordania untuk mencari celah penanaman kembali pengaruh Amerika di kawasan ini.

Namun seperti yang telah disampaikan di atas, pertemuan Amerika dengan negara teluk ini lebih pada kepentingan Amerika untuk menghalau pengaruh Tiongkok, Rusia, dan Iran di kawasan ini bukan untuk kepentingan negara di kawasan ini.

Invasi Amerika ke Irah dan Afghanistan memang telah merusak kepercayaan negara teluk kepada Amerika. Bahkan sampai saat ini Amerika masih aktif menggunakan drone mengacak acak kawasan ini.

Joe Biden memang ingin agar negara-negara di kawasan ini untuk menghormati dan menerapkan Hak Asasi sesuai dengan standar Amerika.

Jadi tidak heran jika Joe Biden menyatakan bahwa negara-negara di Timur Tengah harus demokratis dan tidak refresif, mengizinkan warga secara terbuka termasuk mengkritik pemerintah dan menghargai hak wanita.

Apa yang disampaikan oleh Joe Biden ini menegaskan kembali bahwa Amerika belum sepenuhnya memahami tradisi dan budaya yang telah mengakar di negara Timur Tengah dan tidak mungkin sepenuhnya mengikuti keinginan Amerika dalam hal pemenuhan HAM ini.

Kerikil Tajam

Kerikil tajam memang harus dilalui oleh Joe Biden dalam upaya memperbaiki citra dan pengaruhnya di kawasan yang selalu bergejolak ini.

Salah satu ganjalan terbesar adalah masalah pembunuhan Jamal Khashoggi yang menurut intelejen Amerika, Pangeran Mohammad bin Salman menyetujui operasi pembunuhan ini.

Kasus pembunuhan ini sempat membuat kekosongan politik antara Amerika dengan Arab Saudi, namun karena masalah lonjakan harga minyak saja akhirnya Joe Biden memutuskan untuk bertemu dengan Pangeran MBS walaupun menguntang kritik di dalam negeri Amerika.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya tujuan utama dari kunjungan Joe Biden ini adalah untuk membujuk agar Arab Saudi dapat meningkatkan produksi minyaknya secara signifikan untuk menekan kenaikan harga minyak dunia yang tidak terkendali sebagai dampak perang Rusia dan Ukraina.

Namun tampaknya keinginan Joe Biden ini tidak akan terwujud, karena Pangeran MBS menyatakan bahwa Arab Saudi hanya akan meningkatkan produksi minyaknya secara terbatas, yaitu maksimum 13 juta barel per hari yang tentunya tidak akan berpengaruh besar dalam menurunan harga minyak dunia.

Keputusan Pangeran MBS ini memang dapat dimengerti karena Arab Saudi dan negara pengahasil minyak lainnya juga harus melindungi kepentingan dalam negerinya dalam krisis global yang sedang melanda dunia ini.

Sikap negara teluk yang akan bekerja sama dengan negara di kawasan teluk dan Amerika selama tidak mencampuri urusan dalam negeri menegaskan kembali bahwa diplomasi gaya kobori Amerika tidak dapat diterima di kawasan teluk.

Situasi politik di kawasan Timur Tengan akhir-akhir ini secara perlahan memang membaik. Hal ini utamanya disebabkan karena beberapa negara Timur Tengah telah mencairkan hubungannya dengan Israel, sehingga paling tidak mengurangi ketegangan di wilayah ini.

Sehingga tanpa kehadiran Amerika pun negara-negara dikawasan ini secara perlahan bekerja sama untuk meningkatkan stabilitas politik dan keamanan di wilayah ini.

Namun demikian masalah pendudukan Israel di tanah Palestina tetap saja menjadi bara api yang setiap saat akan berkobar. Jadi selama pendudukan Israel ini berlanjut maka ketidakstabilan di kawasan ini akan terus terjadi.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perang Rusia dan Ukraina ini berdampak pada ketahanan pangan dunia termasuk di kawasan Timur Tengah. Lonjakan harga bahan bakar dan pangan membuat ketahanan pangan negara-negara di kawasan teluk dan Afrika ini mulai goyah.

Amerika memang berkomitmen untuk mengguyur bantuan sebesar US$1 miliar dalam bentuk bantunan pangan untuk negara-negara Timur Tengah dan di Afrika yang terdampak.

Namun jumlah ini tidak seimbang dengan komitmen bantuan yang diberikan oleh negeri kawasan teluk ini yang mencapai US$ 3 miliar dalam membantu ketahanan pangan untuk negara miskin di kawasan ini dan juga kawasan Afrika.

Kerikil tajam lainnya yang harus dirasakan oleh Joe Biden adalah sikap negeri teluk yang menolak untuk berpihak pada Amerika dan sekutunya dalam perang Rusia dan Ukraina ini.

Jika ditelisik lebih dalam lagi sikap negeri negara teluk ini dapat dipahami secara politis, karena Amerika dianggap sebagai salah satu penyebab kekacauan dan ketidakstabilan di kawasan ini dengan melakukan invasi ke Irak dan Afghanistan. Namun setelah muncul kekacauan Amerika meninggalkannya begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun