Setelah Thailand secara resmi melegalkan penggunaan ganja untuk pengobatan dan pemanfataannya untuk kuliner demi membangkitkan kembali prekonomiannya.
Kini arus pendapat bahwa legalisasi penggunaan ganja untuk pengobatan sudah mulai kuat melanda di Indonesia (baca selengkapnya di sini).
Penggunaan ganja sebagai pengobatan bukanlah hal yang baru. Jika kita buka sejarah, maka kita akan mendapatkan data bahwa ganja sudah mulai digunakan sebagai obat sekitar tahun 2800 BC. Ganja mulai digunakan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan di jaman kekaisaran Shen Nung yang dikenal sebagai pioner pengobatan tradisional Tiongkok.
Catatan sejarah lainnya yang menunjukkan bahwa ganja digunakan sebagai terapi terhadap penyakit seperti pengobatan depresi, arthritis, depressi, inflamasi, penghilang rasa sakit, kurang nafsu makan dan asma terdokumentasi pada masyarakat Hindu India, Assyria, Yunani dan kekaisaran Roma.
Kandungan zat aktif ganja
Hasil penelitian ilmiah memang menunjukkan bahwa Tetrahydrocannabinol (THC) yang merupakan zat aktif dari ganja berfungsi dan bekerja di hypothalamus untuk menurunkan suhu tubuh dan juga penghilang rasa sakit.
Ganja mengandung zat aktif yang dinamakan cannabinoids yang merupakan senyawa kimia yang mengikat reseptor cannabinoid yang terletak di otak dan tubuh untuk mengatur komunikasi sel.
Bagian tubuh yang paling banyak mengandung reseptor cannabinoid adalah otak yang terletak pada bagian ganglia basal, hipokampus, dan otak kecil.
Area ini bertanggung jawab untuk mengelola beberapa kemampuan seperti emosi, memori, kontrol motorik, dan sistem saraf otonom.
Jika seseorang mengalami overdosis cannabinoid maka area ini tidak dapat melakukan fungsi otonomnya, sehingga pengguna akan mengalami efek samping seperti misalnya sakit kepala, mual, muntah, dan/atau paranoia.