Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Setahun Kudeta Militer Myanmar, Dunia Duduk Manis Menonton

1 Februari 2022   19:30 Diperbarui: 1 Februari 2022   19:34 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setahun Kudeta Milter Myanmar berlalu, dunia  tetap diam. Photo:Stringer/EPA

Hari ini setahun kudeta yang dilakukan oleh pihak militer Myanmar yang merampas secara paksa mandat  pemerintahan yang dipilih secara sah oleh rakyat telah berlalu.

Pada tanggal 1 Februari tahun lalu pihak militer menangkap dan menahan Aung San Suu Kyi dan juga anggota National League for Democracy yang mememangkan pemilu dengan telak mengalahkan kandidat dari pihak militer pada pemilu yang dilangsungkan bukan Nopember 2020.

Sejak itulah   pemerintahan diambil alih oleh panglima militer Min Aung Hlaing dengan gaya pemerintahannya yang represif menumpas setiap gerakan yang bersuara sumbang terhadap pemerintahannya dan militer.

Sejak tanggal bersejarah itulah Myanmar yang merupakan  yang merupakan salah satu anggota ASEAN yang bergabung di tahun 1997, situasi semakin memburuk dan  terjadi hal hal  yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Perlawanan yang diberikan rakyat dengan harapan pemerintah yang dipilih secara demokratis dikembalikan,  ditindas dan dihancurkan secara brutal oleh pihak militer.

 Tidak hanya sampai di situ saja  pihak militer Myanmar menyisir sampai ke desa desa dan membakar rumah rumah penduduk untuk untuk memadamkan api demokrasi yang dikibarkan oleh rakyat Myanmar.

Sudah tidak terhitung berapa korban jiwa yang melayang akibat tindakan  represif yang dilakukan  oleh pihak militer. Data yang dikeluarkan oleh beberapa pihak menunjukkan korban jiwa sudah lebih mencapai 1.500 orang.  Namun jumlah korban jiwa sebenarnya tentunya  jauh lehih tinggi dari angka ini.

Pengunjuk rasa yang terluka pada aksi tanggal  27 Maret  2021.   Photo: CNN.  Image 
Pengunjuk rasa yang terluka pada aksi tanggal  27 Maret  2021.   Photo: CNN.  Image 

Para tokoh sipil yang dinilai berpotensi untuk menjadi ancaman kekuasaan militer satudemi satu ditangkap dan diadili serta dipenjara termasuk Aung San Suu Kyi.

Tindakan represif yang dilakukan oleh militer Myanmar ini sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan melawan kemanusiaan dan sayangnya dunia hanya dapat duduk manis menonton pentunjukan ini.

Negara Myanmar yang tidak memiliki arti strategis dan ekonomis  bagi banyak negara adi kuasa dan juga perpolitikan  dunia membuat situasi ini semakin parah dan tidak terkendali karena tidak ada satu solusipun yang ditawarkan oleh dunia yang secara serius untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar.

Penyerangan dan membakaran perkampungan Rohingya  di tahun 2017 lalu memang sempat menguncang dunia, namun saat itu justru Aung San Suu Kyi justru  menjadi pesakitan ketika harus membela aksi yang dilakukan oleh pihak militer ini di ajang internasional.

Saat itu dunia tidak sadar bahwa Aung San Suu Kyi walaupun menjadi kepala pemerintahan, namun dirinya tidak memiliki kekuatan apapun untuk menolak perintah dan cengkeraman pihak militer Myanmar yang memerintahkan dan melakukan pembumihangusan pemukiman  Rohingya sehingga terjadi eksodus jutaan manusia sebagai bagian dari tindakan ethnic cleansing yang diakukan oleh pihak militer Myanmar terhadap kelompok  minoritas.

Kudeta yang dilakukan setahun yang lalu membuka mata dunia terkait apa yang sebenarnya terjadi di Myanmar dan bagaimana cengkeraman  militer yang sangat kuat untuk menguasai hampir seluruh sendi kehidupan  masyarakat.

Bahkan UNICEF sama sekali tidak berdaya ketika pihak militer melakukan serangan udara dan persenjataan militernya untuk menumpas rakyatnya  sendiri termasuk di dalamnya anak anak dan juga LSM yang bererja untuk kemanusiaan seperti Save the Children.

Dunia tetap Diam

Di tingkat dunia, kebrutalan pihak militer ini tidak serta merta membuat dunia sigap untuk mencari solusi permasalahan yang sedang melanda Myanmar ini.

Perbedaan pendapat dan perpecahan terjadi dengan kasap mata. Sebagai contoh Rusia dan Tiongkok yang memiliki hak veto hanya berdiam diri dan tampak enggan untuk bertindak menyelesaikan permasalahan ini.

Negara berpengaruh seperti AS, Inggris, Uni Eropa, dan Australia juga tidak pernah menunjukkan sikap resminya dalam menekan pihak militer Myanmar untuk mengakhiri konflik ini.

Memang ada beberapa tokoh individu dari negara negara  ini  yang sudah menyarankannya solusi, namun tampaknya tidak memiliki pengaruh yang siknifikan dalam menyelesaikan konflik ini.

Tampaknya negara  ini lebih banyak mempertimbangkan apa yang akan mereka dapatkan jika mereka menyelesaikan masalah ini,  dibanding dengan mengakhiri penindasan terhadap rakyat Myanmar.

Militer Myanmar membungkam demokrasi. Photo: EPA-EFE 
Militer Myanmar membungkam demokrasi. Photo: EPA-EFE 

Dalam situasi seperti ini memang dunia tidak akan memiliki satu suara dalam menyelesaikan krisis yang terjadi di Myanmar ini termasuk di dalamnya  embargo senjata yang kemungkinan  akan diveto oleh Rusia dan Tiongkok.

Ketika  PBB tidak melakukan tindakan apapun untuk menyelesaikan krisis Myanmar ini melalui tindakan nyatanya, harapan sebenarnya dapat saja ditumpukan pada ASEAN.

Namun sayangnya ASEAN juga dalam posisi setengah  hati dalam menyelesaikan krisis ini karena terganjal oleh  solidaritas ASEAN.

Situasi seperti inilah yang dibaca dengan baik oleh  pimpinan kudeta Myanmar Min Aung Hlaing yang mengabaikan sepenuhnya resolusi yang dikeluarkan oleh ASEAN pada bulan April 2021 lalu. Dalam situasi seperti ini terbukti ASEAN tidak melakukan tindakan lebih lanjut untuk menekan  pimpinan kudeta ini untuk menjalankan resolusinya.

Ada secercah karapan terkait apa yang telah dilakukan oleh pihak swasta seperti Chevron dan Woodside Petroleum telah yang untuk sementara menangguhkan operasi bisnisnya di Myanmar dengan tujuan untuk menghentikan sementara sumber pendanaan utama bagi mililer dalam menjalankan bisnisnya.

Namun apa yang dilakukan oleh kedua perusahaan besar ini hanya tindakan sementara yang tidak memberikan dampak  besar pada keberlangsungan pemerintah militer di Myanmar.

Upaya untuk membawa pimpinan kudeta militer Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional memang sudah dilakukan National Unity Government (NUG), namun tampaknya jalan masih sangat panjang untuk merealisasikan  keinginan ini.

Salah satu langkah yang diambil oleh PBB yang dianggap positif adalah PBB masih mengakui Kyaw Moe Tun sebagai duta besar Myanmar untuk PBB meskipun militer mengatakan dia telah dipecat karena dukungannya terhadap gerakan anti-kudeta.

Ke depan  keacuhan dunia terhadap situasi politik dan penderitaan rakyat Myanmar yang lebih memilih untuk diam dan menonton apa yang terjadi sudah dapat dipastikan akan memperburuk situasi yang sedang terjadi di Myanmar.

Kekerasan terhadap pengunjuk rasa yang memperjuangkan  demokrasi dan pembungkaman suara rakyat akan terus terjadi.

Di tengah tengah ketidak berdayaan ini rakyat Myanmar  kini dengan senjata seadanya mencoba melindungi dan mempertahankan diri dan juga keluarganya  serta mempertahankan harta bendanya dari penindasan militer yang terus berupaya membungkam demokrasi.

Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima, enam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun