Kebijakan one child one family ternyata tidak saja berdampak pada penurunan laju pertumbuhan jumlah penduduk dan komposisinya namun juga berdampak pada keseimbangan gender.
Selama 40 tahun penerapan kebijkan one child one family masyrakat cenderung menginginkan anak laki laki yang diharapkan sebagai penerus keluarganya, sehingga tidak heran jika saat mengetahui anaknya perempuan banyak yang melakukan aborsi.
Laju pertambahan penduduk yang semakin melambat inilah yang mendasari pemerintah Tiongkok minggu ini kembali melonggarkan aturan jumlah anak yang boleh dimiliki oleh setiap keluarga menjadi 3 anak.
Kecenderungan penuruan laju pertumbuhan penduduk ini memang mengancam status demografi penduduk Tiongkok saat ini dan beberapa puluh tahun ke depan.
Kebijakan kependudukan memang harus dipertimbangkan secara matang karena jika tidak dilakukan dengan hati hati akan berdampak buruk dalam jangka panjang.
Kebijakan one child one family membuktikan hal ini karena setelah lebih dari 40 tahun maka dampak negatifnya baru dirasakan.
Banyak negara-negara di Asia yang dulunya mengalami kejayaan ekonomi dan teknologinya seperti, Jepang, Korea, Singapura, dll kini mulai mengalami permasalahan penduduk yang semakin menua.
Generasi muda yang diharapkan menjadi generasi penerus ternyata telah mengalami perubahan visinya dalam berkeluarga yang lebih memilih menunda berkeluarga dan memiliki anak atau bahkan memilih untuk tidak berkeluarga karena tuntutan gaya hidup, pekerjaan dan karier terutama di kota kota besar.
Tiongkok yang tahun lalu masih memberikan sanksi denda uang sebesar 130,000 yuan atau setara dengan US$20,440 bagi keluarga yang memiliki anak ketiga ternyata kini membuat kebijakan baru untuk membolehkan setiap keluarga memiliki tiga anak
Kebijakan ekonomi dan kebijakan kependudukan sudah seharusnya dirancang secara pararel agar di masa mendatang ketika kebangkitan ekonomi terjadi seperti yang saat ini dialami oleh Tiongkok didukung oleh tenaga kerja yang memadai.
Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima, enam