Ketidak seimbangan gender ini disamping disebabkan oleh kebijakan one child policy, juga terkait pada pandangan dan budaya bahwa anak laki laki lebih diharapkan jika dibandingkan dengan anak perempuan.
Mengingat dampak jangka panjang dari kebijakan ini, pemerintah Tiongkok mengubah kebijakan tersebut dengan cara membolehkan satu keluarga memiliki 2 anak mulai  tahun 2016.
Perubahan atitud  ini juga terkait dengan lunturnya pandangan bahwa wanita pada akhirnya merupakan bagian penting sebagai penghasil anak dan penerus keturunan semata.
Pergeseran ini juga tidak lepas dari fenomena  dimana wanita  lebih berpendidikan dan lebih mandiri, sehingga bagi sebagian wanita milenial Tiongkok hidup sendiri bukan lagi menjadi masalah dari segi ekonomi dan gaya hidup.
Sebagai dampaknya di kalangan wanita milenial ini banyak yang lebih mengedepankan mengejar karir dan pengembangan dirinya sebelum akhirnya kelak suatu saat  mereka akan kawin,
Bagi kalangan wanita milenial ini perkawinan bukan hanya sekedar memiliki status hukum dan memiliki anak, namun juga sederetan konsekuensi seperti pengorbanan  karir, terjebak sebagai wanita yang mengurus anak di rumah dan melakukan rutinitas  pekerjaan rumah tangga yang akan dihadapinya.
Disamping itu tampaknya budaya perkawinan melalui perjodohan dimana pihak keluarga lebih berperan kini sudah mulai luntur terutama di kota kota besar.
Sebenarnya ada produk hukum yang melarang perkawinan berdasarkan perjodohan ini termasuk juga perkawianan di bawah tangan yang dikeluarkan di tahun 1950, namun pada kenyataannya sampai sekarang praktek perkawinan atas dasar perjojodan dan pengaturan keluarga masih saja terjadi.
Bagi kebanyakan kalangan milenial yang dibesarkan tidak lagi di dalam keluarga inti dan menempuh pendidikan yang lebih tinggi, perkawinan tidak lagi dipandang sebagai kewajiban namun lebih kepada pilihan individu.
Faktor eksternal yang juga cukup  berperan adalah toleransi masyarakat di kota besar terhadap hidup bersama, sex sebelum kawin, tersedianya alat kontrasepsi dan juga aborsi yang membuat sebagian di kalangan remaja milenial ini yang lebih memilih menjalin hubungannya tanpa ikatan perkawinan.
Kalangan milenial ini lebih menganggap perkawinan sebagai hubungan emosional antara pria dan wanita bukan hanya sekedar untuk menghasilkan anak.