Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

10 Tahun Arab Spring, Revolusi Tak Berujung

26 Januari 2021   21:17 Diperbarui: 27 Januari 2021   08:12 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arab Srping bergulir di kawasan Timur Tengah di tahun 2011. Photo Reuters

Tidak ada yang menyangka bahwa peristiwa yang terjadi di bulan Desember 2010 ketika remaja   penjual buah yang bernama Mohammed Bouazizi yang membakar dirinya sendiri di depan kantor polisi di Tunisia menorehkan peristiwa sejarah yang merubah wajah negara di kawasan Timur Tengah untuk selamanya.

Pada tanggal 14 Januari 2011 Presiden Tunisia  Zine El Abidine Ben Ali setelah berkuasa selama 24 tahun akhirnya tumbang  akibat gelombang protes  yang dipicu oleh pembakaran diri Mohammed Bouazizi  sebagai simbol dari dari ketidakadilan sosial dan demokrasi.

Peristiwa ini memiliki efek domino yang memicu gejolak dan kebangkitan demokrasi yang sudah lama tengelam di kawasan ini.

Tsunami demonstrasi melanda negara negara di Timur Tengah yang menuntut perubahan sistem pemerintahan yang selama ini membelenggu rakyat dikenal sebagai Arab Spring.

Tidak tanggung tanggung gelombang ini menyebar secara cepat dan tidak terbendung dari mulai Tunisia, Mesir, Bahrain sampai ke wilayah Yaman yang pada saat itu pemerintah di kawasan ini telah sedemikian lamanya menggunakan tangan besi.

Gelombang tsunami kebebasan dan demokrasi ini lebih diartikan sebagai gelombang harapan terhadap bangkitnya demokrasi di Timur Tengah yang selama ini terbelenggu oleh pemerintah diktator.

Gelombang demokrasi ini tidaklah berujung manis untuk semua negara di kawasan ini.  Sebagai contoh di Libya, Syria dan Yaman justru memicu perang saudara  yang berkepanjangan sampai saat ini akibat campur tangannya negara dan tentara asing.

Di Mesir Arab Spring menciptakan gejolak dan tatanan baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Penguasa Mesir yang sudah bercokol lama yaitu Hosni Mubarak terguling di tahun 2011 dan dipenjara.

Pergantian pemerintahan ke haluan politik yang sangat berbeda yaitu ke Mohammed Morsi yang didukung penuh oleh Muslim Brotherhood sebagai kunci utama pergerakan penggulinag Hosni Mubarak ternyata tidak bertahan lama karena dirinya juga digulingkan pada tahun 2013 setelah berkuasa hanya sekitar 2 tahun saja.

Tragisnya Morsi meninggal di penjara setelah  6 tahun menjalani hukuman. Ironisnya dalam proses pengadilan dirinya, Husni Mubarak yang telah bebas menjadi saksi pengadilan dirinya di ruang yang sama ketika dirinya mengutuk pemerintahan Mubarak.

Husni Mubarak dan Morsi diadili di ruang pengdilan yang sama. Photo:aa.com.tr
Husni Mubarak dan Morsi diadili di ruang pengdilan yang sama. Photo:aa.com.tr
Husni Mubarak bersaksi di pengadilan Morsi yang menggulingkannya. Photo:: EPA-EFE
Husni Mubarak bersaksi di pengadilan Morsi yang menggulingkannya. Photo:: EPA-EFE
Pemerintah Mesir saat ini Al Sisi ternyata lebih refresif jika dibandingkan dengan rigim yang berkuasa sebelum Arab Spring bergulir. 

Sebagai pembanding berdasarkan data Komisi Hak Asasi Manusia di ditahun 2010 dipenghujung era sebelum Arab Spring bergulir hanya ada 1 jurnalis yang ditahan, namun di penghujung tahun 2019 ada sebanyak 26 jurnalis yang ditahan karena diangap mengkritisi pemerintah.

Sebagaimana layaknya sebuah revolusi, Arab Spring juga memakan korban sosial.  Tercatat sebanyak 16 juta jiwa menjadi  pengungsi yang kemungkinan besar tidak pernah kembali kenegaranya lagi.

Gelombang Arab Spring memang berdampak besar pada kehidupan sosial, ekonomi dan infrastruktur di kawasan ini.  Sebagai contoh Yaman dan Syria menjadi dua negara yang sampai saat ini terdampak besar.

Menurut the Middle East and North Africa (MENA) untuk kedua negara ini telah gagal untuk memenuhi kebutuhan paling dasar  rakyatnya.

Arab Srping memakan korban sosial yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Photo: Khaled Desouki / AFP/Getty Images
Arab Srping memakan korban sosial yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Photo: Khaled Desouki / AFP/Getty Images
Peningkatan jumlah penduduk di kawasan ini memang telah menjadi permasalahan  sosial tersendiri akibat kurangnya lapangan pekerjaan. 

Sebagai contoh peningkatan jumlah penduduk terjadi di Mesir dimana di tahun 2010  jumlah penduduknya hanya 82.761.235 juta jiwa sedangkan di tahun 2020 jumlah penduduknya mencapai 104.258.327  juta jiwa.

Dalam kurun waktu 10 tahun setelah Arab Srping bergulir, pertumbuhan ekonomi di kawasan ini melemah.  Pendapatan per kapita menurun sedangkan pengangguran terus meningkat.

Reformasi politik di negara negara di kawasan ini pun tampaknya tidak sesuai dengan harapan karena tampaknya hanya di Tunisia saja pemerintahan yang demokratis dapat terwujud.

Negara Barat yang selama ini menggembar gemborkan demokrasi ternyata tidak sepenuhnya mendukung bergulirnya  demokrasi di kawasan ini secara alami.  Banyak bantuan dari negara barat yang dialirkan ke regim yang disukainya.

Sebagai contoh di Libya, Inggris, Perancis dan Amerika melakukan pengeboman yang masif hanya untuk menggulingkan Muammar Gaddafi tanpa diikuti dengan bantuan untuk pembangunan infrastruktur baru.

Kondisi ini tentunya membuat Libya menjadi lebih  terpuruk akibat perang saudara yang masih berlanjut sampai saat ini setelah era penggulingan Muammar Gaddafi.

Contoh lain kegagalan negara akibat intervensi negara asing adalah Syria. Negara ini menjadi ajang pengaruh negara lain tanpa dapat dihindari.

Dalam kekosongan ini pemerintahan Rusia, Turki dan Iran melangkah mengisi kekosongan  Namun di lain pihak Arab Saudi, UEA dan Qatar juga memasuki kelompok yang bersengketa di negara ini yang memicu perang saudara  tidak berkesudahan.

Hal serupa terjadi di Yaman dimana Iran mendukung Houthi sementara Arab Saudi dan UEA mendukung pihak oposisi.

Perang saudara telah meluluh lantakkan Yaman. Photo: LA Times
Perang saudara telah meluluh lantakkan Yaman. Photo: LA Times
Arab Spring memang tampaknya tak berujung, sebab sampai tahun 2019 lalupun penggulingan kekuasaan di Sudan dan Aljajair masih terjadi, demikian juga gelombang protes yang terjadi di Lebanon,

Walaupun revolusi di kawasan ini telah berlangsung selama 10 tahun, akar permasalahan yang memicu Arab Spring yaitu tuntutan pemerintahan dan kehidupan rakyat yang lebih demokratis dan jaminan sosial yang lebih memadai tampaknya masih belum terwujud.

Arab Spring yang telah bergeser pada tuntutan keadilan sosial yang  di beberapa negara dapat   diibaratkan sebagai  sebuah bom yang  setiap saat dapat  meledak jika tidak dihiraukan oleh penguasa.

Arab Srping telah membuka kotak pandora yang selama ini dorman di kawasan Timur Tengah.  Ketika kotak Pandora sudah terbuka maka revolusi yang melanda kawasan ini akan  pernah berujung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun