Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

ASN Dulu Dipandang Sebelah Mata Kini Diburu

11 Januari 2021   10:30 Diperbarui: 11 Januari 2021   11:11 1216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pepatah yang cukup tepat untuk menggambarkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau yang sekarang dikenal dengan Apatur Sipil Negara (ASN) adalah Hidup itu bagai roda yang berputar, kadang sudah kadang senang.

Di era tahun 80 an dosen dengan status PNS memang tidak banyak dipandang lulusan perguruan tinggi untuk meniti karir dengan alasan utama tingkat kesejahteraannya yang sangat menyedihkan.

Saat itu gaji ASN jika dibandingkan dengan rata gaji pegawai swasta bak bumi dengan langit, yaitu  rata rata hanya sekitar 25% dari gaji di swasta. Oleh sebab itu ungkapan kalau mau menjadi ASN harus siap sengsara memang benar benar belaku saat itu.

Saat itu hanya segelintir orang yang memiliki idelisme tinggi saja yang tetarik pada profesi dosen.  Perasaan minder itu demikian terasanya jika menghadiri acara kumpul kumpul beberapa tahun setelah lulus ketika melihat rekan rekan yang bekerja di swasta sedemikian sejahteranya.

Mungkin salah satu alasan mengapa ada yang tertarik menjadi dosen saat itu adalah dimungkinkannya  melanjutkan studinya secara gratis alias dibiayai negara.

Disamping dosen tentunya masih banyak profesi lainnya dengan status  ASN yang bagi sebagian orang menjadi daya tarik sendiri.

Di beberapa daerah tertentu yang akar budaya kuat status ASN memang dipandang tinggi  status sosialnya di kalangan masyarakat karena pilihan menjadi ASN walaupun gajinya kecil  dipandang sebagai pilihan yang lebih menjamin kelangsungan hidup karena digaji secara rutin dan mendapat uang pensiun.

Oleh sebab itu tidak heran dengan status ASN memiliki peluang lebih tinggi untuk diterima calon mertua ketika melamar anak gadisnya.

Menjadi ASN jujur di era tahun 80 an memang memerlukan kegigihan dan ketahanan mental, karena memang untuk menghidupi keluarga harus dilakukan dengan tambal sulam  dengan pinjam sana pinjam sini.

Saat itu ada anekdot yang sangat menohok sekaligus  menjadi cadaan untuk menghibur diri di kalangan dosen adalah beda gaji pokok antara jabatan Lektor dengan Lektor Kepala yang hanya beberapa puluh ribu rupiah.

Anekdot yang popular saat itu kurang lebih begini: "harga kepala dosen itu hanya beberapa puluh ribu rupiah" karena beda gaji pokok Lektor dan Lektor Kepala (catatan : ada tambahan "kepala")  hanya mendapat kenaikan  gaji pokok  hanya puluhan ribu rupiah saja.

Hidup itu memang harus disyukuri karena dapat kita bayangkan gaji guru di tempat terpencil di era itu pastilah  lebih miris dibandingkan dengan kehidupan dosen yang serba mepet.

Secara perlahan di era sebelum krisis moneter kesejahteraan ASN dalam bentuk kenaikan  gaji mengalami sedikit perbaikan.

Namun rasa syukur yang paling besar ketika gaji ASN yang serba minim  adalah kesempatan melanjutkan studi yang tidak pernah terbayangkan walaupun hanya dalam mimpi.

Walaupun dengan upaya sekeras apapun rasanya tidak akan mungkin seorang ASN (jujur) di era itu dapat mengeluarkan milyaran rupih untuk biaya studi lebih lanjut di luar negeri.

Rasa syukur kedua yang membuktikan bahwa menjadi ASN walaupun gajinya kecil adalah adanya  rasa aman yang lebih tinggi untuk menjalani hidup karena adanya rutinitas pendapatan dalam bentuk gaji bulanan.

Di saat Indonesia mengali krisis moneter di tahun 1998 rasanya sangat sedih sekali melihat rekan rekan sejawat yang bekerja di sektor swasta yang telah mencapai level manajer bergelimpangan mengalami PHK akibat banyak sekali perusahaan swasta yang gulung tikar.

Dapat dibayangkan  ketika keluarga sudah tumbuh dan anak anak memerlukan biaya besar terjadi pemutusan hubungan kerja secara masal dan mendadak, sedangkan upaya mendapatkan pekerjaan baru hampir tidak memungkinkan.

Seiring dengan berjalannya waktu dan pergantiian pemerintahan yang silih berganti kesejahteraan ASN mengalami perbaikan yang sangat nyata dan melegakan.

Kini gaji ASN golongan tertentu jika dibandingkan dengan gaji swasta paling tidak dapat disejajarkan dan bahkan ada yang lebih tinggi.

Kesabaran menanti perubahan dan mensyukuri nikmat merupakan kunci utama mengapa walaupun memulainya  dengan cukup prihatin namun tetap beratahan menjadi ASN sampai saat ini.

Dengan tingkat kesejahteraan yang ada saat ini memang tidak mengherankan jika  menjadi ASN menjadi tujuan banyak orang.  Hal ini dapat dilihat dengan membludaknya peserta tes calon ASN di hampir semua kesempatan.

Di era pandemi pun dimana banyak terjadi PHK menguatkan lagi rasa aman menjadi ASN yang gajinya masih mengalir secara rutin dan bahkan ada peningkatan karena beberapa komponen dibebaskan dari pajak.

Status ASN memang telah mengalami metamorphosis dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini dari status yang dipandang sebelah mata menjadi primadona bak perawan desa cantik jelita yang memikat siapa saja yang memandangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun