Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Buku "The Room Where It Happened: A White House Memoir" yang Membuat Trump Murka

21 Juni 2020   07:33 Diperbarui: 21 Juni 2020   09:22 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Yucatan times

Perseteruan Trump dan mantan penasehat nasional Amerika John Bolton kian meruncing. Situasi yang makin panas ini berbeda sekali ketika dengan bangganya Trump memperkenalkan sekaligus mengangkat John Bolton sebagai penasehatnya beberapa waktu lalu.

Rekam jejak Bolton sebagai menasehat keamanan memang sangat menyakinkan karena dengan kepakarannya Bolton bekerja di periode lintas pemerintahan. Namun saat diperkenalkan banyak kalangan yang meragukan "keharmonisan" Trump Bolton, mengingat sikap keras Bolton jika menyangkut keamanan nasional terutama yang berkaitan dengan negara yang secara tradisional menjadi "musuh" Amerika.

Benar saja dalam waktu singkat gesekan ini terjadi dan terus membesar sampai akhirnya Trump memecat Bolton karena perbedaan pendapat yang sangat tajam terkait kebijakan luar negeri Amerika dengan Afghanistan dan Korea Utara yang tidak sejalan dengan "keinginan" Trump.

Perseteruan rupanya tidak berhenti ketika Bolton dipecat. Bolton hanya "tiarap" sebentar dan muncul kembali dengan buku "The Room Where It Happened: A White House Memoir" yang menjadi buah bibir dan isinya menohok Trump.

Perseteruan Trump-Bolton terus berlanjut. Photo: Yucatan times
Perseteruan Trump-Bolton terus berlanjut. Photo: Yucatan times
Trump memang tidak tinggal diam dan mengajukan permohonan hukum untuk menggagalkan publikasi buku yang rencananya akan dijual secara umum mulai tanggal 23 Juni mendatang ini dengan alasan ada bagian dari isi tersebut yang merupakan "rahasia" negara.

Namun pada tanggal 20 Juni lalu pihak pengadilan menolak upaya Trump untuk menggagalkan penjualan buku ini dengan alasan utama sudah terlambat karena sudah masuk tahapan penjualan walaupun hakim  menyatakan bahwa buku ini berisikan hal hal yang dapat membahayakan keamanan nasional.

Proses hukum memang masih berlanjut, namun ada baiknya kita membedah lebih dalam terkait isu apa saja yang membuat Trump dan partainya "meradang".

Isu yang paling mengemuka dan banyak dibahas adalah pernyataan Bolton bahwa Trump meminta bantuan China untuk mendukungnya memenangi pemilihan presiden yang kedua di pemilu 2020. 

Hal ini tertulis pernyataan dalam buku Bolton bahwa Trump President Xi Jinpin mendiskusikan keramahan China pada Amerika. Dalam situasi yang sangat bersahabat ini Trump selanjutnya mendiskusikan keinginannya untuk mencalonkan lagi pada pemilihan presiden mendatang dengan memuji  kekuatan ekonomi China.

Dalam dialog ini Trump menekankan pentingnya posisi petani dan pertanian Amerika dan mengharapkan  peningkatan pembelian kedelai Amerika oleh China.

Isu dugaan Trump "meminta" dukungan China ini memang sedang hangat karena Amerika tengah dalam situasi kampanye nominasi pemilihan kandidat pemilihan presiden.

Isi buku lainnya yang cukup menohok Trump adalah isu pernyataan Trump yang menyebutkan President Xi Jinpin ingin bekerja sama dengan dirinya dalam waktu yang lebih lama lagi yaitu di periode ke dua jabatan presidennya.

Dalam hal ini Bolton menulis " Xi menyatakan Amerika terlalu banyak pemilihan, oleh karena itu Xi tidak ingin bermitra Trump".  Pernyataan inilah yang menurut Bolton diterjemahkan Trump sebagai dukungan Xi Jinping padanya untuk menjabat sebagai presiden yang kedua lainya.

John Bolton memang tampaknya secara sistematis mengangkat isu ini mengingat Trump kini sedang dalam tahap melakukan kampanye untuk pemilihan presiden periode keduanya.

Dalam kasus etnis minoritas Uighur  di China, Bolton menulis bahwa Trump menyetujui apa yang dilakukan Presiden Xi dalam mengkonsentrasikan etnis Uighur.

Ditulis dalam bukunya bahwa Trump menyatakan "Presiden Xi sebaiknya meneruskan membangun tempat penampungan khusus untuk etnis Uighur dan langkah  ini sudah benar"

Salah satu isi buku lainnya dinilai oleh Bolton sebagai "campur tangan" masalah hukum melalui otoritas Trump.  Peristiwa ini diceritakan Bolton dalam bukunya  ketika Wahington Post berseteru dengan Presiden Turki Recep Endogan.  Saat itu Presiden Turki menulis memo mengeluhkan publikasi negatif  tentang Turki dan dirinya di Washington Post.

Dalam kasus ini menurut Bolton, dirinya diperintahkan Trump untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara menjelaskan bahwa jaksa penuntut dalam kasus Ini  bukanlah orangnya Trump, namun orangnya Obama.  Masalah ini dapat diselesaikan jika jaksa penuntut ini diganti dengan orang Trump.

Kebijakan luar negeri Trump lainnya yang diungkapkan oleh Bolton dalam bukunya adalah terkait dengan Arab Saudi.

Bolton mengulas pernyataan dan sikap kontroversi Trump di bulan  November 2018 lalu ketika Trump membela Pangeran Muhamad bin Salman dalam kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi dengan ungkapan "Dunia memang tempat yang sangat berbahaya, ada kemungkinan pengeran terlibat, namun ada juga kemungkinan lain pangeran Mohamad bin Salman tidak terlibat".

Bolton menulis bahwa pernyataan Trump ini menyangkut pengalihan isu yang saat itu lagi hangat dibicarakan yaitu menyangkut anaknya  Ivanka yang menggunakan email pribadi dalam berkomunikasi. 

Selain menulis hal negatif  yang terkait  dengan kebijakan Trump, Bolton juga mengungkapkan ketidak harmonisan para penasehat utama dengan Trump.

Bolton mengungkapkan bahwa dia menerima memo dari Mike Pampeo setelah Trump bertemu dengan pimpinan Korea Utaran Kim Jong Un yang isinya menyatakan "He is so full of Shit".  Dan dipertemuan yang kedua dengan pimpinan Korea Utara Mike Pampeo menyatakan " Zero probability od success".

Bolton dalam bukunya juga seolah ingin mengungkap minimnya pengetahuan Trump sebagai presiden, karena Tump menyatakan bahwa Finlandia itu merupakan bagian dari Rusia.  Minimnya pengetahuan Trump ini juga terungkap  dari percakapan Trump dengan mantan Perdana Menteri Inggris Theresa May dengan menyatakan "Oh, are you a nuclear power?

Terakhir yang diungkapkan oleh Bolton yang merupakan bagian dari buku yang  kontroversil adalah penyataan Trump yang dimuat Washington Post bahwa Trump menyatakan bahwa "sangat menarik jika Amerika melakukan invasi ke Venezuela karena negara ini memang bagian dari Amerika"

Jika dilihat dari isi bukunya dan juga timing peluncurannya yang dilakukan di saat Trump akan mulai kampanyenya untuk jabatan presiden yang kedua kalinya ini, dapat dikatakan bahwa peluncuran buku ini merupakan tindakan "balas dendam"  Bolton atas pemecatan dirinya dan menginginkan Trump merasakan dampak dari apa yang ditulisnya.

Terlepas dari akurasi apa yang ditulis oleh Bolton dalam bukunya yang kini masih dalam tahap sengketa dengan Trump, buku yang ditulis oleh Bolton yang diklaimnya sebagai saksi mata memang terlanjur menjadi kontroversi.  

Namun di lain pihak sikap Bolton mempublikasikan hal yang bersifat rahasia yang merupakan bagian dari sumpah jabatan Bolton dapat saja menjadi bumerang  bagi dirinya yang akan dicap sebagai "pengkhianat".

Rencana penerbitan buku senilai US$21 juta ini dapat saja kandas pada tahap hukum berikutnya yang masih berlangsung jika Bolton dianggap membocorkan rahasia negara dan melanggar kontrak dalam proses penerbitan buku yang sudah menjadi isu hangat di tengah masyarakat Amerika dan dunia sebelum diterbitkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun