Ketika pakar Kesehatan terperangah mendengar pengakuan Presiden Trump bahwa dirinya telah mengkonsumsi Hydroxychloroquine yang selama ini digunakan untuk pengobatan malaria untuk mencegah terjangkit Covid-19,  timbul pertanyaan yang mendasar mengapa berbagai obat obatan yang sudah lama digunakan untuk penyakit lain selama  ini kini dicobakan untuk menyembuhkan penderita Covid-19?
Tidak hanya Hydroxychloroquine,  Remdesivir yang juga selama ini digunakan sebagai anti virus untuk penyakit lainnya yang disebabkan oleh virus. Jepang misalnya juga mengujicobakan Avigan yang merupakan obat flu yang selama ini sidah umum digunakan.
Uji Coba
Belum adanya pengobatan standar bagi penderita Covid-19 menimbulkan pertanyaan  mengapa  para pakar  pengobatan dan kesehatan seolah olah  tampak sedang melakukan coba coba?
Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, karena menurut publikasi  terbaru di  the journal Science Translational Medicine menunjukkan bahwa  sejak merebaknya Covid 19 paling tidak sudah dicobakan 200 obat obatan termasuk hydroxychloroquine, remdesivir  dan Avigan yang disebutkan di atas.
Obat obatan ini telah diujicobakan melalui 1.100 percobaan dan penelitiian di seluruh dunia. Â Bahkan badan Kesehatan dunia WHO mencobakan dalam sekala besar beberapa obat obatan yang sudah ada ini.
Pertanyaan yang paling mendasar bagi kita semua adalah mengapa sampai saat ini belum ditemukan obat yang jitu untuk menyembuhkan penderita Covid-19?
Belum ditemukanya obat untuk mengatasi Covid-19 Â sebenarnya dapat dimengerti secara Ilmiah karena obat obatan yang selama ini diujicobakan adalah obat obat lama yang diharapkan dapat efektif mengatasi Covid-19 yang lebih canggih dan kompleks.
Sebagian besar obat yang diujicobakan ini memang terbukti aman dan  efektif pada penderita penyakit tertentu seperti misalnya malaria dan rematik, HIV, namun ketika diuji cobakan pada pendeirta Covid 19 situasinya menjadi berbeda karena virus yang dihadapi berbeda alamiah, prilaku dan patogenitas nya.
Rumitnya meracik obat Covid-19
Menurut Prof Sharon Lewin dari Doherty Institute, Covid-19 lebih kompleks jika dibandingkan dengan virus HIV sekalipun karena menurutnya virus ini merusak sistem kekebalan tubuh penderita dengan cepat dengan tingkat kerusakan yang sangat besar dan berakibat fatal.
Jika dilihat dari data empiris memang beberapa obat obatan lama yang diujicobakan menunjukkan hasil yang positif pada penderita penyakit yang memiliki kemiripan dengan COVID-19 yaitu SARS dan MERS. Namun ternyata efektivitasnya berbeda ketika diujicobakan pada penderita Covid-19.
Melihat kompleksnya Covid-19 ini, maka untuk mengatasinya tidak dapat hanya mentarget satu kondisi pasien saja, namun paling tidak pengobatan harus mengatasi tiga  kondisi pasien agar efektif menyebuhkan penderita.
Ketiga target yang harus dipenuhi oleh kandidat obat Covod-19 adalah : mematikan dan menghentikan penggandaan virus di dalam tubuh penderita, meningkatkan kekebalan  tubuh dan mengatasi komplikasi yang ditimbulkan oleh virus ini seperti penggumpalan darah.
Jadi memang dapat dimengerti letak kerumitan menghasilkan obat yang dapat mengatasi Covid-19 ini karena obat yang nantinya digunakan harus mampu mengatasi tiga kondisi yang telah diuraikan di atas.
Data empiris menunjukkan bahwa Hydroxychloroquine merupakan obat lama yang terbukti efektif untuk mengatsi penyakit malaria dan lupus.  Dalam ujicoba di laboratorium memang menunjukkan hasil yang positif dalam mengatasi virus. Namun yang mengkhawatirkan adalah efek samping penggunaan obat ini yang dapat menimbulkan serangan jantung pada pasien.  Oleh sebab itu WHO saat ini menghentikan percobaan penggunaan obat ini untuk penderita  Covid-19.
Obat lain yang kini sedang digadang gadang sebagai salah satu kandidat untuk mengatasi Covid 19 adalah Remdesivir yang merupakan obat anti virus.
Remdesivir memang sudah diujicobakan untuk mengobati penderita Covid-19 dan dianggap aman karena tidak menyebabkan efek samping, dan efektivitasnya dalam  mengurangi waktu infeksi Covid-19 juga cukup menggembirakan. Hasil ujicoba obat ini pada jumlah pasien Covid 19 di Amerika menunjukkan pengurangan waktu infeksi virus korona dari 15 hari menjadi 11 hari saja.
Walaupun Remdesivir memberikan harapan, seperti yang disebutkan di atas untuk mengatasi virus korona tidak dapat hanya digunakan obat dengan fungsi tunggal saja dengan tujuan mengatasi virusnya saja  karena disamping virusnya, dampak virus Covid-19 ini salah satunya adalah menurunkan secara drastis  kekebalan tubuh dan efek lanjutan berupa penggumpalan darah.
Pengobatan penderita Covid-19 menurut pakar kesehatan harus melibatkan juga terapi antibodi dengan tujuan meningkatkan antibodi agar secara alamiah dapat bertahan menghadapi virus yang mematikan ini. Terapi antibodi yang sudah diujicobakan meliputi plasma convalescent,  hyperimmune globulin, monoclonal dan polyclonal therapies.
Pada dasarnya terapi plasma ini melibatkan penggunaan plasma yang diambil dari penderita yang telah sembuh dari Covid-19 dan memberikannya pada penderita Covid-19.
Kendala utama terapi antibodi saat ini adalah tidak cukupnya persediaan plasma yang diambil dari penderita Covid-19. Di Laborarotium untuk menghasilkan plasma diperlukan waktu yang lama sehingga dikhawatirkan Covid-19 mengalami  telah mutasi sehingga kalaupun plasma  berhasil dibuat  di laboratorium menjadi tidak efektif lagi untuk melawan virus yang bermutasi ini.
Cara lain yang saat ini dilakukan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh penderita Covid-19 adalah Interferon yang berfungsi untuk meningkatkan respon kekebalan tubuh terhadap infeksi yang ditimbulkan oleh virus ini.  Interferon merupakan protein yang dihasilkan oleh sel yang terinfeksi virus korona yang akan memberikan peringatan pada sistem kekebalan tubuh agar sel sel lainnya siaga untuk mempertahankan diri.
Kondisi lain yang harus diatasi pada penderita Covid-19 adalah penggumpalan darah. Saat ini memang sedang dilakukan percobaan obat obatan apa saja yang efektif digunakan untuk mengatasi kondisi ini pada penderita Covid-19.  Salah satu obat lama yang digunakan adalah heparin yang selama ini terbukti efektif untuk mengencerkan darah yang biasanya digunakan untuk penderita penyakit jantung dan stroke. Namun untuk mengatasi penggumpalan darah pada penderita Covid-19 perlu dicari obat yang lebih spesifik dan efektif.
Jalan Panjang
Menghasilkan obat bagi penderita Covid-19 menamg tidaklah mudah karena paling tidak harus mentargetkan virusnya, meningkatkan sistem kekebalan dan mencegah penggumpakan darah.  Oleh sebab itu melihat kerumitan meracik kombinasi obat obatan ini para pakar memperkirakan paling tidak akan memerlukan waktu 12-24 bulan lagi sampai ditemukannya obat obatan  yang efektif untuk menyembuhkan penderita  Covid-19.
Memang dilihat dari waktu yang diperlukan dianggap lama karena penderita Covid-19 terus bertambah secara siknifikan dan korban jiwa  juga terus memingkat, namun upaya keras penemuan obat untuk meningkatkan angka penyembuhan penderita Covid-19 ini mau tidak mau harus dilakukan karena waktu yang diperlukan untuk menghasilkan vakin akan lebih lama lagi.
Rujukan: satu, dua, tiga, empat,lima, enamÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI